Kalijaga.co – Pernah nggak sih kalian sadar kalau playlist remaja zaman sekarang didominasi sama lagu-lagu melankolis? Coba deh cek Spotify atau playlist temen-temen Gen Z di sekitar kita. Banyak banget lagu-lagu slow, sedih, yang bikin hati ikut bergetar. Mulai dari lagu-lagu Nadin Amizah, Tiara Andini, Tulus, sampai Bernadya mereka kayaknya lebih populer dibanding musisi yang bawain lagu energik dan ceria.
Bukan cuma lagu aja sebenernya. Film dengan sad ending, anime yang bikin nangis, drakor yang endingnya bikin patah hati, semua jadi konsumsi favorit anak muda. Seolah-olah mereka punya magnet khusus sama konten-konten yang “nyesek” gitu.
Kenapa Generasi Z Jatuh Cinta sama Kesedihan?
Mungkin ini bukan sekadar hobi atau tren belaka. Ada yang lebih dalam dari fenomena ini. Gen Z itu generasi yang lahir di tengah ekspektasi tinggi dari orang tua mereka generasi milenial yang udah duluan merasakan susahnya hidup. Jadinya, tekanan buat “sukses muda” atau “jadi anak yang membanggakan” itu berat banget di pundak mereka.
Belum lagi di dunia kerja. Banyak Gen Z yang baru masuk dunia profesional langsung dikasih label “manja,” “gampang resign,” atau “kerja setengah hati.” Padahal mungkin mereka cuma butuh adaptasi, dukungan, dan sedikit pengertian aja. Tapi apa yang mereka dapet? Kritik habis-habisan dan tuntutan untuk langsung jadi sempurna.
Nah, di sinilah lagu-lagu sedih jadi semacam teman curhat yang nggak pernah men-judge. Ketika hidup terasa terlalu berat, dengerin Nadin Amizah nyanyi “Bertaut” atau Bernadya dengan “Sialnya Hidup” rasanya kayak ada yang ngerti banget sama apa yang lagi dirasain.
Pelarian Emosi yang Sehat?
Dengerin lagu sedih itu sebenernya bisa jadi bentuk pelarian emosi yang cukup sehat loh. Coba bayangin: ketika pikiran lagi kacau balau, beban kerja numpuk, atau hati lagi galau, terus kita play lagu yang liriknya nyentuh banget rasanya kayak ada yang ngasih pelukan virtual.
Yang unik, lagu-lagu sedih ini malah bisa jadi katarsis. Nangis sambil dengerin musik itu kayak proses “detox” emosi. Setelah nangis sepuasnya, rasanya lega dan lebih ringan. Kayak ada beban yang udah dikeluarin lewat air mata.
Beda dengan generasi sebelumnya yang mungkin lebih suka memendam perasaan atau mencari pelarian lewat hal-hal lain, Gen Z malah lebih terbuka sama perasaan mereka. Mereka nggak malu ngakuin kalau lagi sedih, stress, atau butuh waktu buat “healing.”
Musik sebagai Cermin Kehidupan
Lagu-lagu yang lagi hits di kalangan Gen Z juga banyak yang liriknya relate banget sama kondisi mereka. Kayak lagu-lagu Tulus yang sering bahas soal perjuangan hidup, atau Nadin yang sering ngangkat tema quarter-life crisis. Ini bukan kebetulan, tapi emang karena musisi-musisi ini berhasil menangkap zeitgeist atau “roh zaman” yang lagi dialami generasi muda.
Mereka nyanyi tentang kebingungan, tentang tekanan jadi dewasa, tentang rasa enggak pede, tentang mimpi yang belum kesampaian semua hal yang bener-bener dirasain sama anak muda zaman sekarang. Jadi wajar aja kalau musik kayak gini jadi soundtrack hidup mereka.
Bukan Cuma Pelarian, Tapi Juga Penyembuhan
Yang menarik, lagu-lagu sedih ini enggak cuma jadi tempat “berkeluh kesah” saja. Banyak juga yang memberikan perspektif atau pesan optimis di balik kesedihannya. Kayak pengingat bahwa “ini semua akan berlalu” atau “kamu nggak sendirian ngerasain ini.”
Jadi, apakah lagu sedih di playlist remaja itu hiburan atau pelarian emosi? Jawabannya mungkin keduanya. Ini hiburan yang punya fungsi terapeutik, pelarian yang justru membantu mereka menghadapi realita dengan cara yang lebih sehat.
Jadi.. intinyaaa
Daripada kita judge Gen Z yang suka lagu-lagu melankolis, mungkin lebih baik kita coba pahami bahwa ini adalah cara mereka cope dengan tekanan hidup. Mereka punya cara sendiri buat mengolah emosi, dan musik jadi salah satu medium yang paling efektif.
Yang penting, selama “pelarian” ini enggak merugikan diri sendiri atau orang lain, kenapa nggak? Lagi pula siapa tau dari mendengarkan lagu-lagu sedih ini, mereka jadi lebih empati sama orang lain, lebih peka sama perasaan, dan lebih kuat mental karena udah terbiasa “berhadapan” sama emosi-emosi yang kompleks. Jadi next time kalau denger anak muda play lagu sedih, jangan langsung bilang “ih, kok suka yang sedih-sedih sih?” Mungkin itu cara mereka buat tetap waras di tengah dunia yang kadang enggak masuk akal ini.
Penulis Maslikhatul Masitah