Kalijaga.co– Dalam kacamata fiqih, kesucian dan kebersihan adalah kesatuan yang berbeda, suci sudah tentu bersih, sedangkan bersih belum tentu suci. Air sebagai alat bersuci yang utama memegang peranan penting untuk sah atau tidaknya bersuci. Lain halnya dengan kondisi kamar mandi Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang terbilang “miris”. Pasalnya, di toilet FDK (Fakultas Dakwah dan Komunikasi) pemilihan letak ember terlalu rendah hingga sejajar dengan lantai kloset. Hal ini dapat berpotensi terkena percikkan air kencing, sehingga menyebabkan air dalam ember menjadi najis.
Tentu dalam hal ini menimbulkan kontroversi dari kalangan mahasiswa, dikarenakan menyangkut ranah kesucian diri. Kesucian sendiri menjadi suatu hal yang sangat urgent dalam konteks peribadatan, karena hal itu lah yang menjadi sebab sah atau tidaknya seseorang ketika beribadah (sholat).
Menanggapi hal tersebut, Akhyar, salah satu mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Angkatan 23 yang tegas mengenai kesucian mengatakan,
“Jadi aku itu orangnya semua harus diperhatikan dengan hati-hati. Dan yang paling dijaga adalah airnya itu sendiri. Karena sedikit saja tetesan air kencing masuk ke ember, maka semua airnya akan menjadi najis, apalagi ini embernya pendek banget.” tegas akhyar.
Sebagaimana yang diketahui akhyar, bahwasannya ukuran batasan air yang terkena najis itu menjadi najis, kalau air itu kurang dari 2 kullah (270 liter).
Untuk mengatasi persoalan itu, Akhyar berharap kepada pihak kampus untuk segera mengganti ember dengan yang lebih tepat demi menghindari hal buruk itu terjadi. Selain pemilihan ember yang kurang tepat sehingga berpotensi terkena najis, Akhyar juga mengungkapkan kekurang nyamanan dalam penggunaan ember tersebut. Menurutnya, ember yang terlalu kecil menjadi sulit saat dijangkau.
“Kalau bisa secepat mungkin untuk diganti dengan ember yang lebih tinggi. Supaya tidak terjadi hal-hal yang seperti itu.” Ucap Akhyar.
Berbanding terbalik dengan pernyataan salah satu dosen Fiqih KPI, Saptoni. Ia menyatakan bahwa tidak terlalu ekstrim dalam melihat hal-hal semacam itu. Selama hal itu tidak disengaja maka dianggap tidak apa-apa.
“Kalau misalnya buang air sudah di kloset kemudian tanpa disadari menyiprat kemana-mana, itu bagi saya sesuatu yang wajar. Kalau memang bisa di hindari ya baiknya di hindari. Tapi kalau itu tidak terlihat, juga tidak terantisipasi ya gapapa.” jelas Saptoni.
Ia menyatakan bahwasannya pemikiran orang sekarang terlalu berkutat kepada hal-hal yang kaku, dan tekstual. Menurutnya, tidak perlu terlalu ekstrim menanggapi aturan-aturan fiqih yang terlalu kaku.
“Loh, emang yang menentukan 2 kullah itu sebenarnya siapa? Ya Ketika mendengar 2 kullah itu kan sebenarnya adalah logika burhani pada masa itu. Ya kalaupun itu keputusan dari hadits misalnya loh ya. Itupun juga harus dipahami konteksnya. Karena kalau kita hanya melihat teks tadi, nanti akan terjebak kepada hal-hal yang formalitas tadi.” tambah Saptoni.
Saptoni juga mengkorelasikan persoalan ini dengan suatu momen di zaman Nabi Muhammad dulu. Bahwa ada salah seorang arab badui yang buang air kecil di masjid, kemudian untuk membersihkannya Nabi hanya sekedar memerintahkan para sahabatnya untuk menyiram najisnya dengan 1 ember air.
“Siapa yang bisa menjamin bahwa, air kencingnya orang Badui ini tidak nyiprat kemana-mana? Dan ketika itu disiram, apakah semua nya akan terbawa? Selama tidak terlihat oleh mata ya tidak masalah.” ungkapnya.
Saptoni sendiri juga tidak bermasalah apabila ada upaya untuk mengantisipasi itu. Ia juga menghormati dan tidak menyalahkan orang yang berpikiran semacam itu.
“Ya tapi misalnya kalau ingin berupaya untuk mengantisipasi ya silahkan, artinya itu menghormati orang yang berfikiran seperti itu. Saya menghormati cara berfikir orang lain yang seperti itu. Saya tidak menyalahkannya.”pungkas Saptoni.
Reporter : Ahmad Al Hafizh | Editor : Najwa Azzahra