Hujan kembali menyapa, menjadi hujan pertama ditahun ini. Hembusan angin terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Percikan air jatuh mengenai lantai, membuat basah separuh balkon. Sudah lebih dari satu jam aku berdiri di pintu balkon, menikmati suasana hujan yang telah lama tidak aku rasakan, meskipun percikan air hujan mulai membasahi sebagian bajuku. Kost sudah lenggang dari tiga jam yang lalu. Sepi. Hening menyelimuti.
“Pulang, bang. Lo udah pergi terlalu jauh”
Aku menghembuskan nafas berat. Untuk kesekian kalinya kalimat itu terngiang kembali dipikiranku. Kalimat yang disampaikan oleh seorang pria yang bahkan tidak aku kenal tiga hari lalu.
Tanganku mengacak kasar rambutku. Kepalaku terasa berat. Mencoba kembali mengingat darimana awal perjalananku ini, sehingga aku tidak kunjung pulang. Melupakan rumah yang selama ini kusingggahi. Melupakan pemilik rumah itu. Dan pada akhirnya, aku kembali mengingat masa itu. Masa yang menjadi awal dari perjalananku.
***
Juli 2020
“Berarti ini lo yang buat metode penelitiannya kan, Naf?” tanya teman sekelasku memastikan, Faza. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Ya udah lah ya, gua mau pulang dulu deh, gua lanjutin di kost tugasnya” Sahut Ila, satu-satunya perempuan dalam kelompok kami. Gadis itu lalu berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan kami setelah sempat berpamitan. Menyisakan aku dan ketiga temanku.
Jam menunjukkan pukul 14.58 ketika adzan Ashar mulai terdengar sayup-sayup. Semakin lama semakin terdengar jelas dan saling bersahutan. Aku menyimpan ponselku, beranjak berdiri, berniat untuk melaksanakan ibadah sholat Ashar.
“Sholat dulu, yuk” ajakku pada yang lain. Tak ada yang menjawabku, masing-masing masih fokus pada ponsel mereka. Aku mulai berjalan, memutuskan untuk membiarkan mereka yang mungkin masih ada kerjaan.
Sekitar sepuluh menit kemudian aku sudah menyelesaikan ibadahku, kembali bergabung dengan yang lainnya.
“Kalian ga sholat dulu? Keburu sore” ucapku.
Faza mengambil satu batang rokok. Membakar ujungnya dan mulai menyesapnya.
“Kenapa lo sholat?” tanyanya tiba-tiba membuatku sediki terkejut. Bukan, bukan sedikit, tetapi sangat terkejut. Pasalnya ia menanyakan sesuatu yang menurutku sangat retoris, alias tidak perlu jawaban.
“Ya karena saya Islam” jawabku akhirnya.
Faza terkekeh pelan, mengetukkan ujung batang rokok ke asbak sebelum kembali menyesapnya, “lo masih percaya Allah?”
Aku terdiam, masih tidak percaya dengan apa yang pria itu tanyakan.
“Masihkan? Terus ngapain lo masih sholat disaat lo masih percaya Allah? Dengan lo masih iman sama Allah itu masih buat lo Islam kok. Cukup iman sama Allah, toh hakikat sholat itu berdo’a, mengagungkan dan menyembah Allah kan? Iman udah termasuk mengagungkan dan menyembah, dan berdo’a bisa lo lakuin kapanpun.” ucapannya membuatku terdiam. Pikiranku masih mencoba untuk mencerna setiap katanya.
“Lo kayaknya perlu adaptasi deh, Naf, sama kita” sahut Dika. Memang benar, selama 4 semester ini aku tidak pernah satu kelompok dengan mereka, membuatku jarang berbincang panjang bersama.
“Gini deh, lo pernah tanya sesuatu ga sih ke diri lo sendiri? Tanya kenapa lo bisa bersaksi atas keberadaan Tuhan yang jelas-jelas belum pernah lo saksikan secara langsung seumur hidup lo. Lo pernah tanya gitu?” Irfan mengambil cangkir kopinya. Bertanya seolah itu adalah pertanyaan yang biasa.
“Ibarat lo dibilangin kalau ada seorang cewek cantik di desa sebelah, lo ga akan percaya itu sebelum lo lihat sendiri kenyataannya, lo ga akan bersaksi ada cewek cantik di desa sebelah sebelum lo menyaksikannya sendiri. Terus gimana lo bisa bersaksi atas adanya Tuhan ketika lo ga pernah menyaksikannya sekalipun”
Aku masih terdiam ketika Faza beranjak dari duduknya, menepuk bahuku pelan, “kita pamit duluan ya, Naf. Ada urusan” ucapnya lalu pergi bersama Dika dan Irfan.
Aku mendengus kasar, mencoba menghilangkan segala pertanyaan tidak masuk akal yang mengusik pikiran. Namun semakin aku berusaha untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan itu justru pertanyaan baru kembali muncul membuat pikiranku semakin runyam.
Suara adzan maghrib terdengar sayup-sayup, semakin lama semakin jelas dan bersahutan. Beberapa orang masih sibuk dengan pekerjaannya, tidak ada satupun yang beranjak dari duduknya seperti yang ia lakukan di penghujung Ashar tadi.
Aku terdiam sejenak, sebelum pada akhirnya tanganku menyambar kunci motorku dan dengan cepat meninggalkan tempat dudukku. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak melakukan satu kewajiban paling utama dalam hidupku. Kewajiban yang selalu diingatkan oleh Ibuku sedari kecil kala adzan mulai berkumandang.
***
September 2023
Tidak ada yang spesial dari tiga tahun ini, semuanya tetap berjalan dengan semestinya. Aku sudah menyelesaikan kuliahku satu setengah tahun yang lalu. Dan kini, aku masih mencoba mencari lowongan pekerjaan yang cocok denganku.
Dering ponsel mengalihkan fokusku. Tanganku meraih benda pipih itu yang ada disaku bajuku. Menatap nama yang tertera dilayar. Rifqi. Teman baru yang satu kost denganku.
“Assalamu’alaikum, Ahnaf. Kamu masih cari lowongan kerjakan? Ini ada tawaran, kamu mau ngga?” ucap Rifqi. Ini yang aku suka pada Rifqi, dia tidak suka bertele-tele seperti kebanyakan orang.
“Wa’alaikumsalam, iya, Rif. Tawaran pekerjaan apa?” tanyaku sembari berjalan menyebrangi jalan dengan map disatu tanganku.
“Guru mengaji, kamu bisakan?”
Langkahku terhenti sebelum Rifqi kembali melanjutkan kalimatnya,
“…hitung-hitung buat ngisi sebelum kamu dapat pekerjaan yang tetap, nanti kalau seandainya sudah dapat kamu boleh resign dari sini, aku sudah bilang ke pengurusnya tadi, gimana, Naf?”
Hening. Aku masih terdiam. Guru mengaji. Kata itu tiba-tiba saja berputar dikepalaku. Seperti ada yang menyapaku setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Terasa begitu asing.
“Ahnaf ? Gimana?”
Suara Rifqi menyadarkanku. Aku menghembuskan nafas pelan,
“Aku pikirkan dulu ya, Rif. Terimakasih atas informasinya”
“Baiklah, nanti kalau kamu menyetujuinya hubungi saja aku. Assalamu’alaikum”
Panggilan itu terputus setelah aku menjawab salam Rifqi. Aku terdiam, mencoba menetralisir degup jantung yang tiba-tiba saja terasa begitu cepat.
Allahu Akbar. Allahu Akbar.
Dug!
“Maaf, mas” Ucap seorang laki-laki kecil yang tidak sengaja menabrakku. Ia sedang berlari menuju masjid, bermain kejar-kejaran bersama teman-temannya. Sebuah sarung tersampir dipundaknya serta peci yang terpasang sedikit miring di atas kepalanya.
Aku menatap masjid yang ada di depanku, serta orang-orang yang mulai berdatangan, menyempatkan diri untuk melaksanakan kewajibannya di tengah kesibukannya. Aku menoleh ke samping ketika sebuah tangan merangkul pundakku.
“Ayo, Nak. Kita sholat berjama’ah.” ajak seorang pria paruh baya yang tadi merangkulku.
Entah apa yang aku pikirkan, aku mengangguk pelan dan ikut masuk ke dalam masjid, mengambil air wudhu, dan menempatkan diri dishaf paling depan. Masih bersama pria paruh baya itu. Tanganku sedikit bergetar ketika imam memulai sholat dan aku mengikutinya. Siang itu, setelah sekian lamanya, aku kembali menyapa hal-hal yang sudah terasa asing selama bertahun-tahun ini.
***
“Kenapa kamu sholat?” tanyaku pada seorang pria yang baru saja menyelesaikan ibadah sholatnya. Ukiran hitam hampir memenuhi setiap jengkal kulitnya. Matanya menatapku terkejut.
“Gimana bang?” tanyanya memaksaku untuk mengulang pertanyaan.
“Kenapa kamu sholat?”
Pria itu terkekeh pelan, tubuhnya perlahan menghadapku sempurna, satu tangannya menepuk-nepuk pelan bahuku.
“Bang, gua tau kok kalau gua itu orang yang sangat buruk. Gua tau kok, kalau gua itu manusia yang ahli maksiat. Gua tau kok bang, sangat tau” Ia menahan kalimatnya, matanya menatapku dalam, sebuah senyum terukir dibibirnya,
“tapi gua tetep percaya bang, kalau Allah itu Tuhan gua”
Aku terdiam, masih menunggu kalimat selanjutnya.
“Kalau lo tanya kenapa, jawaban gua itu bang. Gua tetep percaya kalau Allah itu Tuhan gua. Gua tetep percaya kalau Sholat itu tiang agama, kaya yang dibilangin sama guru ngaji gua waktu kecil”
“Tapi kenapa Allah yang kamu percaya?” tanyaku lagi dan pria itu juga terkekeh kembali.
“Bang, pertanyaan lo lucu. Kalau lo tanya kenapa gua akan jawab dengan realistis aja, ya karena gua Islam”
“Tapi kenapa kamu tetap melakukan hal-hal yang katamu buruk tadi padahal kamu masih yakin kalau Allah itu Tuhan kamu?”
Hening menyelimuti kami beberapa detik, hingga pada akhirnya pria didepanku itu kembali menghela napas pelan.
“Bang, lo suka baca buku cerita? Atau novel gitu? Sejarah?” tanyanya tiba-tiba membuatku mengerutkan kening, lalu mengangguk pelan.
“Lo tau sejarah dan cerita-cerita novel itu ada penulisnya?”
“Iya, saya percaya. Ga mungkin sebuah cerita muncul tanpa ada yang membuatnya”
“Nah, terus lo pernah ga ngerasa kalau alur cerita yang lo baca itu ngga sesuai dengan apa yang lo inginkan? Lo pernah ga ngerasa pengen banget ngerubah alur cerita itu kaya yang lo pengen?”
“Pernah”
“Tapi lo pernah mikir ga kalau alur yang udah dibuat dicerita-cerita itu tuh sebenarnya adalah alur yang paling baik yang sudah dipikirkan sama si penulis?”
Aku menggeleng pelan. Pria itu tersenyum tipis.
“Sama halnya dengan Tuhan dan kita bang. Lo bilang ga mungkin sebuah cerita ada tanpa ada yang membuatnya kan? Sama kaya kita, kita ga mungkin ada tanpa adanya sang pencipta, dan pencipta itu adalah Tuhan, Allah. Allah itu ibarat udara yang kita hirup, Ia tidak tampak tapi kehadirannya selalu membersamai kita, Ia merupakan satu hal paling penting dalam kehidupan kita, tanpa-Nya, kita tidak akan pernah bisa bertahan hidup.”
Pria itu menahan ucapan nya sebentar sementara aku masih penasaran kelanjutan kalimat yang akan ia sampaikan.
“Lo bilang lo pernah pengen untuk ngerubah alur dari cerita yang lo baca, lo ga puas, lo ga suka. Sama halnya juga dengan kehidupan ini bang. Gue pernah ngerasa kalau alur hidup gua itu sangat buruk, pengen rasanya ngerubah, nemuin Tuhan buat protes sama alur hidup gua” pria itu tertawa pelan sebelum melanjutkan kalimatnya,
“tapi gua sadar bang, seburuk apapun alur cerita menurut pembaca, itu adalah alur terbaik bagi penulisnya. Seburuk apapun alur yang udah gua jalanin, itu hanya menurut sudut pandang gua, tapi menurut Allah, itu adalah alur terbaik bagi gua. Bukannya penulis pasti menulis ceritanya dengan sebaik mungkin? Lalu mengapa Allah tidak?”
Aku terdiam, berusaha mencerna apa yang ia katakan.
“Tentang kenapa gua ngelakuin hal-hal buruk padahal gua masih percaya Allah, gua juga ga tau bang, ego gua terlalu tinggi. Anggap aja ini sebagai konflik dari sebuah cerita, dan sekarang gua baru mencari solusi dari konflik itu, biar akhir cerita gua baik.”
“Gua sekarang mikir gini bang, kenapa kita ga ngelakuin sesuatu yang diperintahkan oleh pemilik kita. Syukur-syukur masih dikasih umur sampai sekarang, lalu apa salahnya kita ngelakuin perintahnya? Bukannya itu wajib? Ya meskipun, yang gua lakukan cuma sebatas perintah paling utama aja. Selebihnya gua masih berusaha”
Hening kembali menyelimuti.
“Lo bukannya anak Kyai ya bang?”
Aku terdiam, menatap pria itu terkejut, “tahu dari mana?”
Pria itu tersenyum lagi.
“Terus kenapa lo ragu sama Tuhan lo bang? ilmu agama lo lebih tinggi daripada gua, kenapa lo malah meragukan pencipta lo?” ucapnya tidak menjawab pertanyaanku.
Pria itu tersenyum kembali, kali ini senyum yang tampak sangat tulus. tangannya menepuk bahuku pelan sebelum akhirnya berdiri dan mengucapkan kalimat yang membuatku terdiam seribu bahasa.
“Pulang bang, lo udah pergi terlalu jauh. Lo boleh main kemanapun lo pergi, lo boleh main ke rumah temen lo satu-satu. Tapi inget bang, rumah paling nyaman dan aman adalah rumah lo sendiri. Pulang bang, Tuhan lo udah nunggu”
***
Aku menghembuskan nafas kasar ketika rangkaian memori itu berakhir. Hujan masih turun meskipun tidak selebat beberapa jam yang lalu. Tiga hari ini aku mencari kebenaran atas segala sesuatu yang telah terjadi. Tiga tahun ini aku mencari jawaban atas segala pertanyaan yang selalu berputar dikepala. Sederet pertanyaan yang justru membuat pikiranku semakin runyam ketika kuberusaha untuk menyingkirkannya. Sederet pertanyaan yang membuatku pergi dari rumahku.
Aku melirik jam tangan yang melingkar ditangan kiriku. Pukul 02.15, masih ada dua setengah jam lagi sebelum orang-orang bangun dari tidurnya dan melaksanakan kewajiban fajarnya. Aku menghela nafas pelan lalu dengan yakin berjalan menuju kamar mandi, mengambil wudhu dan melaksanakan ibadah malam yang masih terasa asing hingga detik ini. Mencoba memanggil kembali memori-memoriku bersama-Nya.
Pada akhirnya sejauh apapun aku berusaha melangkah pergi, rumah sendiri adalah tempat ternyaman bagi jiwa ini. Pada akhirnya aku tau, bahwa selama ini aku bukan mencari kebenaran, melainkan mencari pembenaran atas segala logika yang tak bisa kukendalikan. Tuhan, aku pulang.
Penulis : Izza Aziza Queen Sophia | Editor : Najwa Azzahra
masyaallah, menyentuh, kak. Trims inspirasinya.