Kalijaga.co – Dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (Jampiklim) Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi dan launcing “Policy Brief penanganan sampah di DIY”. Kegiatan ini diadakan di Pendopo Yayasan LKIS Yogyakarta pada Senin (3/6/2024).
Acara yang dihadiri oleh komunitas ormas, mahasiswa dan masyarakat umum ini membahas tentang dampak pencemaran lingkungan akibat sampah yang dialami oleh perempuan, baik secara biologis atau domestik.
Nur Maulida dari SP Kinasih memaparkan bahwa kebijakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) terkait penanganan sampah di Yogyakarta dinilai tidak netral gender.
Ia menceritakan pengalamannya saat ia melakukan Musyawarah rencana pembangunan (Musrembang) dengan DLH, mereka menjelaskan bahwa sebagian besar penggerak kebersihan kebanyakan dari perempuan. Sebagian besar berasal dari ibu rumah tangga. Ibu-ibu itu harus mengangkat sampah berkilo-kilo sendiri. sedangkan laki-laki tidak ikut terlibat karena sudah berada di ruang publik.
“Dibawah naungan DLH saja kebijakannya tidak perspektif gender. Pemberdayaan perempuan itu hanya menjadi beban, pemindahan dari wilayah domestik ke publik,” jelas Nur dalam acara tersebut.
Padahal jika dilihat dari persepektif biologis, organ reproduksi perempuan paling berdampak dibandingkan laki – laki. Misalkan air yang kotor atau tidak jernih akan mempersulit perempuan seperti kesuburan janin terganggu, menstruasi dan nifas. Kemudian secara konstruksi sosial ketika terjadi pencemaan air yang pertama kali tahu adalah perempuan, karena air sangat dekat dengan wilayah domestik perempuan.
Nur juga menambahkan bahwa kegiatan rumah tangga, seperti merawat, membersihkan, mencuci dianggap tidak produktif karena tidak menghasikan ekonomi,sehingga perempuan dianggap tidak bekerja. Sehingga kebersihan hanya dibebankan kepada perempuan. Padahal jika dilihat dari perspektif gender, hal ini dianggap care ekonomi. Tidak ada penghargaan bagi mereka yang telah merawat ekonomi,
“Bayangkan saja tanpa jasa hidup bersih, bagaimana mungkin bisa mendukung. Di negara kita itu yang dihargai ketika ada pembangunan, eskploitasi, tambang, tapi untuk keberlangsungan lingkungan tidak dihargai,” ujar Nur.
Dari riset yang dilakukan SP Kinasih, sekitar 80% penggerak kebersihan adalah perempuan, baik yang diberdayakan oleh pemerintah maupun mandiri. Namun, karena tidak semua mendapatkan dana dari pemerintah, para penggerak ini pun harus mengeluarkan uang pribadi, seperti sistem bank sampah yang dibuat hasil dari volunteer.
Melihat kondisi ini Nur memaparkan rekomendasi kebijakan yang menggunakan gender perspektif.
Pertama harus ada data terpilah gender ditingkat kebijakan. Data ini digunakan untuk memastikan bahwa kerja dilingkungan tidak tumpang tindih.
Kedua, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, ketiga penghargaan terhadap perawatan ekonomi.
“Masa mereka harus menjadi tombak dan tombok gitu, padahal kalau ngomongin dampak lingkungan bersih kan untuk semua” pungkas Nur.
Reporter : Nanik Rahmawati | Editor : Ilham Dwi Rahman