Sekilas Kisah dari Seorang Relawan PLD

0 0
Read Time:3 Minute, 35 Second

Kalijaga.co – Mutiara Medina, mahasiswa asal Pangandaran Jawa Barat yang sehari-hari belajar Sastra Arab tak pernah membayangkan akan mengajarkan ilmu coding, bagian dari Teknik Informatika. Niat hati ingin mencari pengalaman menjadi relawan difabel, apa daya malah harus mempelajari garis, angka, akar, desimal dan bilangan derajat. Ia yang biasa melihat aksara latin, aksara arab, dihari itu kepalanya dipenuhi dengan angka-angka yang sama sekali tidak ia pahami.

“Aku nggak ngerti sama sekali disitu. Padahal disana posisiku buat ngebantu, tapi aku malah nggak bantu apa-apa karena akunya nggak paham,” ujar relawan dari Pusat Layanan Terpadu (PLD).

Selain Teknik Informatika, Mutiara juga kesulitan menjadi pendamping kelas bahasa. Awalnya ia berfikir kelas ini menjadi mudah karena dirinya sendiri dari program studi Sastra Arab. Ternyata tantangannya ada diteman-teman difabel yang ia dampingi. Bukan karena kemampuan kognitif mereka memahami bahasa arab, melainkan kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan teman-teman difabel.

“Kalau bahasa inggris itu mereka pake namanya America Sign Languange (ASL). Itu bahasa isyaratnya luar negeri. Dan toh kalau mereka mau ke luar negeri pakenya ASL bukan bahasa inggris yang lisan. Mereka mau ke Arab ya pake bahasa isyaratnya disana, bukan pake bahasa arab,”ungkapnya.

Ia bahkan pernah menanyakan hal ini kepada ketua PLD.  “Jadi kenapa ada mata kuliah ini buat tuli? Aku selama satu semester dampingin mereka malah aku yang ngerjain tugas. Mereka juga yang bener-bener bingung gitu gak paham karena bukan budaya mereka,”tambahnya.

Mutiara menuturkan, selama tiga tahun menjadi relawan PLD di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta  ia mengaku tidak merasa terbebani. Walaupun dengan menjadi relawan ia harus masuk ke kelas lebih dari dua kali di luar jam kelasnya karena tugas pendampingan. Selama menjadi relawan ia belum pernah dibayar oleh kampus.

Tapi disamping itu, pihak PLD memberikan fasilitas kegiatan gratis untuk relawan seperti capacity building relawan dan malam keakraban.

“Jadi relawan itu memang nggak dibayar. Tapi kalau dari PLDnya juga ngasih beberapa fasilitas gratis pas kegiatan. Kita dapat kaos, penginapan, sama makan,”ujar Mutiara.

Selain menjadi relawan difabel, Ia juga menceritakan pengalamannya menjadi Juru Bahasa Isyarat (JBI). Menjadi JBI memang bukan hal yang mudah. Mutiara mengaku berlatih belajar bahasa isyarat itu menguras tenaga dan waktunya. Banyak orang yang hanya tertarik di awal, tapi tidak menyelesaikan sampai akhir.

“Kebanyakan kalau dari kelas bahasa isyarat itu pasti pertama banyak banget yang ikut.  Tapi yang bakal debut atau sampe akhir sampe jadi JBI itu kadang 7-10 per angkatan kelas isyaratnya” katanya.

Ikut kelas isyarat saja tidak cukup. Perlu adanya interaksi dengan teman-teman tuli untuk mengasah kemampuan seorang JBI. Karena belajar Bahasa tidak hanya teori tapi learning by practic.

Mutiara memaparkan bahwa belajar bahasa isyarat bukan seperti anak kecil yang belajar alpabhet atau menghafal kosakata saja. Bahasa isyarat itu tidak mengikuti panduan penulisan bahasa indonesia atau penyusunan kata. Bahkan sesederhana SPOK, subjek-predikat-objek-keterangan. Jadi untuk belajar bahasa isyarat guru terbaiknya adalah dengan orang-orang tuli.

“Belajar bahasa isyarat gak cuman gerakannya aja. Tapi kita perlu belajar budaya mereka, susunan isyarat kayak gimana” katanya.

Bahkan sesama difabel tuli juga harus menyesuaikan sesuai dengan daerahnya karena di tiap daerah memiliki isyarat yang berbeda. Misalnya orang Bandung akan berbeda bahasa isyaratnya dengan Jogja. Maka mereka sekarang juga masih belajar menyamakan persepsi bahasa isyarat di Jogja.

Beruntung bagi Mutiara karena ia belajar bahasa isyarat gratis di PLD. Tak hanya itu, ia juga dapat berinteraksi langsung dengan teman-teman difabel sebagai pendamping. Selain karena senang dapat mempraktikkan bahasa isyaratnya secara langsung, ia juga senang karena dapat membantu teman difabel dalam proses belajar.

“Aku punya prinsip ‘kalau kita bantu orang buat cari ilmu pasti Allah bakal mudahin buat cari ilmu dari situ terus jadi relawan. Pas udah masuk ke PLD itu seneng aja ngeliat orang-orang yang berbeda. Hati itu kayak terenyuh. Karena selama ini kita kayak terlena atau kurang ngerasa bersyukur,” ujar Mutiara.

Kemampuannya menjadi seorang JBI hari ini ternyata tidak datang begitu saja. Keinginan itu hadir saat ia melihat dunia yang berbeda dari dunianya selama ini. Lebih dari 15 tahun Mutiara melihat orang berjalan dengan kakinya, bukan tongkat atau kursi rodanya. Atau orang yang berkomunikasi dengan mulut dan lidah mengucapkan bahasa verbal, bukan dengan kedua tangannya.

“Awalnya aku gak terlalu berambisi buat belajar bahasa isyarat cuman ingin bisa interaksi sama difabel Karena kadang orang mandang sebelah mata,” pungkasnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *