Kota Yogyakarta yang di gadang-gadang sebagai kota “istimewa”, membuat saya semakin penasaran dan ingin membuktikan hal apa yang menjadikan kota Yogyakarta hingga mendapat julukan tersebut. Karena sebagai mahasiswa yang telah menetap beberapa tahun di Jogja, saya belum menemukan hal yang membuat Jogja benar-benar istimewa. Tetapi terlepas dari hal itu, ada satu hal menarik yang saya dapatkan terkait sumbu filosofi Yogyakarta yang mungkin bisa menjadikan kota Jogja ini sebagai kota “istimewa” atau malah sebaliknya.
Sumbu filosofi ini menjadi isu yang hangat sejak tanggal 23 hingga 25 Agustus 2022, tim penilai dari UNESCO sedang melakukan pengecekan yang jika lolos pengecekan maka secara resmi sumbu filosofi Yogyakarta ini akan diakui sebagai warisan dunia. UNESCO juga bakal mengakui sumbu filosofi ini menjadi The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmark. Sangat memukau, benar-benar istimewa.
Sumbu filosofi Yogyakarta merupakan sumbu imajiner berupa garis lurus ditarik dari panggung krapyak, tugu pal putih, dan keraton. Sumbu filosofi didirikan pada tahun 1756 saat Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I memulai membangun ibu kota baru dan Keraton Yogyakarta.
Dalam membangun desain bangunan, letak bangunan, ruang dan jalan kota baru, Sultan Hamengku Buwono I menggunakan konsep hubungan antara dunia nyata (mikrokosmik) dan kehidupan setelah mati (makrokosmik), siklus hidup manusia (sangkan paraning dumadi), hubungan harmonis antara tuhan, manusia dan alam (hamemayu hayuning bawana), dan kesatuan tuhan dan manusia (manunggaling kawula gusti).
Benarkah Sudah Filosofis?
Jika melihat betapa betapa filosofisnya penataan kota Yogyakarta yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I, saya jadi berpikir bagaimana jadinya jika nilai-nilai filosofis ini juga diterapkan pada setiap sendi kehidupan pasti Jogja benar-benar menjadi kota yang istimewa.
Dimulai dari keturunan Sultan Hamengku Buwono I yang sampai sekarang menjadi gubernur untuk menjadikan filosofi tersebut sebagai tuntunan dalam mengatur pemerintahan kota, pasti hubungan antara tuhan, manusia dan alam akan harmonis, pemerintah dapat melakukan tugasnya dan dihormati oleh rakyatnya, alamnya akan lestari dan membawa keuntungan bagi rakyat, masyarakatnya sejahtera dengan mendapat gaji yang mencukupi kebutuhan hidupnya dan angka kemiskinanpun akan turun. Akan tetapi, pada kenyataanya angka kemiskinan Yogyakarta mengalami peningkatan, berdasarkan presentasi Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan DIY pada bulan September 2021 sebesar 11,91 persen lebih tinggi dari kemiskinan nasional yaitu 9,71 persen. Dilihat dari kondisi yang seperti ini, sepertinya keadaan kota Yogyakarta tidak sefilosofis penataan kotanya.
Pemahaman masyarakat juga diperlukan dalam membangun kota Yogyakarta agar seirama dengan filosofi penataan kotanya. Masyarakat harus tau bagaimana tempat yang ditinggalinya, jalan-jalan yang sering mereka lewati mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat luar biasa, agar mereka dapat menjadikannya sebagai panutan hidup.
Upaya Pemerintah dalam mengenalkan kepada masyarakata sekitar tentang sumbu filosofi melalui beberapa program, salah satunya dengan program pembelajajaran interaktif dari Dinas Kebudayaan DIY. Di sini peserta diajak berkeliling kawasan sumbu filosofi dengan bus yang unik dan seorang pemandu yang akan menjelaskan makna filosofi dari setiap kawasan sumbu filosofi.
Program ini bernama bus Jogja Heritage Track, dimana terdapat 2 armada bus heritage yang beroperasi 6 hari dalam seminggu kecuali hari minggu, dalam setiap harinya ada 3 kali pemberangkatan bus, khusus hari sabtu hanya 2 kali pemberangkatan. Selama 3 bulan masa percobaan, bulan juni lalu bus Jogja Heritage Track mencapai 1.500 peserta.
Dilihat dari banyaknya masyarakat yang berminat selama masa percobaan dan sampai sekarang selalu full boked, sepertinya dinas kebudayaan DIY belum siap mengenalkan sumbu filosofi kepada masyarakat. Dua armada bus terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat sekitar sumbu filosofi. Sehingga masih banyak masyarakat yang tidak tahu apa itu sumbu filosofi.
Malioboro: Korban Sumbu Filosofis
Jalan malioboro termasuk dalam sumbu filosofi, yang menghubungkan tugu pal putih dengan keraton. Untuk mendukung pengajuan sumbu filosofi menjadi warisan dunia, pada Februari 2022, pemerintah daerah (pemda) Kota Yogyakarta merelokasisasi Pedagang Kaki Lima (PKL) dari sepanjang trotoar malioboro menuju ke teras Malioboro 1 (bekas Bioskop Indra) dan teras Malioboro 2 (bekas Gedung Dinas Pariwisata). Berdasarkan pada data pemda DIY terdapat 1.836 pedagang kaki lima (PKL) yang direlokasi.
Dialihkannya PKL di jalan Malioboro di saat ekonomi PKL dalam masa pemulihan setelah pandemi dan penempatan lapak yang tidak tertata sehingga wisatawan hanya berkunjung bagian depan tidak sampai ke belakang, membuat pendapatan PKL menurun. Selain itu para pendorong gerobak yang membantu PKL menyiapkan barang dagangan juga kehilangan pekerjaan.
Melihat bagaimana sumbu filosofi menyengsarakan masyarakat terutama PKL dan pendorong gerobak, rasanya itu tidak sesuai dengan nilai-nilai filosofis sumbu filosofi. Padahal untuk mendukung pengajuan sumbu filosofi menjadi warisan dunia dapat dilakukan dengan memperindah dan menyeragamkan lapak PKL, tidah harus merelokasi PKL yang berakibat pada menurunnya pendapatan PKL dan hilangnya pekerjaan pendorong gerobak Malioboro.
Penulis: Nur Hanik | Foto: Annisa Auliya | Editor: Aji Bintang Nusantara