Oleh: Yustika Nicky*
Siapa sangka keasyikan scroll instagram bisa membuatku mencicipi rasanya menjadi mahasiswa pertukaran ke kampus lain?
Program pertukaran mahasiswa adalah salah satu program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini mulai disosialisasikan pada tahun 2020 lalu oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Adanya program pertukaran mahasiswa diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswa di seluruh penjuru negeri untuk melebarkan relasi dan memperbanyak pengalaman serta pengetahuan sebanyak-banyaknya.
Sebagai salah satu peserta program pertukaran mahasiswa MBKM, aku ingin berbagi sedikit pengalamanku sebagai wujud rasa syukur karena sudah diberi kesempatan mengikuti program ini. Dengan sekilas kisahku, semoga teman-teman pembaca dapat mengambil baiknya dan lebih dapat memanfaatkan banyak peluang saat duduk di bangku kuliah.
Perkenalkan, namaku Yustika Nicky, mahasiswa Program Studi Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya. Aku adalah mahasiswa pertukaran di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Saat ini, terhitung sudah hampir empat bulan lamanya aku berada di lingkungan kampus Islami – lingkungan yang terasa asing buatku. Ada banyak hal di sini yang menurutku berbeda dengan tempat asalku dan memiliki keunikan tersendiri. Mulai dari teman-teman sejurusanku serta lingkungan kampusnya.
Semua pengalaman spektakuler yang kurasakan bermula dari media sosial. Saat sedang asyik-asyiknya scroll instagram, tiba-tiba, sebuah postingan mengenai MBKM ini muncul. Rasa penasaranku datang. Segera saja ku cari tahu seluruh informasi terkait MBKM ini.
Bu Citra adalah salah satu dosen yang banyak membantuku. Ia banyak memberiku informasi dan dukungan saat mengetahui diriku tertarik mengikuti program pertukaran mahasiswa. Setelah melalui banyak pertimbangan, obrolan, dan masukan dari kawan-kawan serta beberapa dosen – seperti Bu Nara, Bu Hajidah, dan Pak Insan – ku putuskan untuk mengikuti program ini.
Singkat cerita, setelah melalui banyak proses, tibalah aku bersama tiga orang teman: mahasiswa UNTAG, di Yogyakarta – yang jika dibandingkan dengan Surabaya, udara di sini lebih sejuk dan dingin. Sejenak, aku pejamkan mata dan menarik napas, ‘hmm, bau yang ku rindukan. Jauh dari perkotaan, hanya ada bau kesederhanaan, dari kota yang katanya istimewa’.
Apakah aku bisa beradaptasi di sini?
Jawabannya bisa jadi tidak. Terbukti beberapa hari tinggal di Jogja aku sakit perut dan tubuhku mulai tidak enak. Makanan-makanan Jogja kurang masuk di lidahku. Di sini rasa masakan dominan manis. Seperti makanan yang ku makan pertama kali di Jogja, oseng-oseng sambel goreng kentang dan sayur asem, makanan yang menuruku memiliki rasa di luar pakem. Kedua makanan itu dominan manis rasanya. Padahal, seharusnya sayum asem itu ya ‘asem’. Namun, beda dengan sayur asem yang ku makan ini. Sambel goreng kentangnya pun tak sedemikian akrab dengan lidahku.
Suhu udara yang berbeda, rasa makanan yang asing di lidah, dan gaya hidup orang Jogja yang sedikit berbeda dengan orang Surabaya, membuat tubuhku sedikit kaget dengan tempat baru ini. Sampai-sampai aku tidak masuk kuliah selama beberapa hari.
Namun, itu adalah beberapa waktu lalu. Saat ini, aku merasa jauh lebih baik. Teman-teman KPI sangat membantuku dalam beradaptasi. Mereka ramah, terbuka, perhatian, dan selalu mengajakku dalam setiap kegiatan. Mereka membuatku merasa lebih mudah untuk menyesuaikan diri di sini.
Setelah beberapa bulan berkuliah di KPI, tibalah aku di bulan Oktober, bulan yang sangat berwarna selama ku disini. Selama bulan Oktober, November, hingga awal Desember, kami mendapatkan tugas produksi dengan dua penjurusan, broadcasting dan jurnalistik. Mahasiswa yang mengambil penjurusan broadcasting ditugasi membuat film pendek, sedangkan mahasiswa yang mengambil penjurusan jurnalistik ditugasi membuat video dokumenter. Aku mengambil penjurusan broadcasting.
Hadirnya tugas di Oktober inilah yang membuat hariku penuh warna: suka-duka saat membuat project, rumitnya rapat pra-produksi, keseruan saat produksi, letihnya bolak-balik shooting, dan beberapa kendala yang tak jarang membuat badmood.
Kendala itu misalnya saja, pada pembuatan naskah film pendek yang kelompokku buat, ternyata sudah pernah ada yang mengambil cerita itu. Mau bagaimana lagi, kami harus memutar otak dan mendiskusikan kembali cerita yang akan diangkat. Padahal, sudah H-1 pengumpulan naskah. Meski begitu, aku dan kawan- kawanku tidak putus asa, kami berusaha sekeras mungkin untuk membuat naskah dengan konsep yang berbeda dari konsep awal.
Kendala berikutnya datang dari beberapa teman kelompok. Mereka mempunyai banyak ide untuk pembuatan film, jadi terkadang sulit untuk berada dalam satu ide cerita. Tetapi itu bukan penghalang untuk kita membuat film perdana kita, dengan saling menguatkan satu sama lain dan menyatukan ide-ide kita akhirnya kita menemukan titik terang dari semua masalah yang kita hadapi.
Dalam tugas kali ini, meskipun aku mengambil penjurusan broadcasting, tetapi aku juga berkesempatan ikut dalam pembuatan video dokumentar anak jurnalistik. Kelompok jurnalistik yang aku ikuti mengangkat isu terkait penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bergabungnya aku di kelompok tersebut berawal dari rasa penasaranku terkait penghayat kepercayaan. Aku sebelumnya sudah sedikit mengerti tentang apa itu penghayat kepercayaan, tetapi istilah itu yang cukup asing di telingaku. Aku lebih akrab mendengarnya dengan sebutan ‘kejawen’.
Tiba di suatu momen saat Bapak Irawan, dosen Manajemen Redaksi Berita, mengulas tentang tugas dari mahasiswanya, termasuk tugas dokumenter soal penghayat kepercayaan tersebut. Di momen itulah aku dan temanku, Ajeng – dia juga mahasiswa UNTAG sepertiku – bertanya-tanya apa sih itu penghayat. Kita ingin lebih tau tentang penghayat dan akhirnya bapak Irawan menawarkan “apakah kalian mau bergabung?” dan dengan senang hati kita menjawab “ iya, Pak, kita ingin bergabung,“. Itulah awal cerita di mana kita bisa bergabung dengan tim jurnalistik.
Saat aku mengikuti teman-teman jurnalistik, aku mendapat banyak pengalaman baru: pengetahuan tentang penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta mengerti bagaimana perjuangan para penghayat tersebut untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara. Banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil dari cerita-cerita mereka, seperti rasa pantang menyerah yang selalu ada dalam diri mereka untuk terus berjuang.
Salah satu yang tidak akan terlupakan ialah pengalaman ketika aku dan teman-teman jurnalistik pergi ke UNTAG Semarang untuk mewawancarai mahasiswa Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Prodi yang hanya satu-satunya di Indonesia, bahkan dunia. Perjalanan panjang yang kita lalui membuat ku mengerti apa itu arti kebersamaan dan kesabaran.
Melalui kegiatan-kegiatan yang ku ikuti selama MBKM ini, aku bisa memperbanyak relasi dengan orang-orang baru, bertemu dengan teman-teman yang menerima keberadaan ku disini. Banyak sekali pengalaman yang sangat luar biasa dalam 4 bulan ini.
Begitulah sedikit cerita yang bisa kubagi dengan teman-teman pembaca. Ku harap dengan kisahku ini memotivasi pembaca untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa atau program lainnya yang sudah disediakan kampus untuk mahasiswa. Dengan mengikuti banyak kegiatan di kampus, semakin banyak benefit yang kita dapat. Mulai dari pengalaman baru, relasi baru, fikiran menjadi lebih terbuka, hingga membuat kita melihat lebih banyak keberagaman di luar sana.
* Penulis adalah mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya yang tengah mengikuti program pertukaran mahasiswa MBKM di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. | Editor: Aji Bintang Nusantara