Gerakan 1998 : Sebuah Riwayat Yang Belum Tuntas

2 0
Read Time:4 Minute, 52 Second

Kalijaga.Co – “Mereka disekap, disiksa, bahkan ada beberapa yang hilang dan tak pernah pulang.” Sebuah deskripsi singkat tentang nasib aktivis mahasiswa yang menjadi korban penculikan pada rentang periode 1997-1998. Mereka adalah kritikus pemberani yang menolak, merenung dibalik tirai penindasan dan ketidakadilan di era orde baru. Namun naasnya, sampai hari ini nasib mereka masih menjadi tanda tanya.

Dilansir dari Kompas. com, periode 1998 adalah tahun dimana kajian politik menjadi monoton, ketika kediktatoran pemerintah orde baru selalu mencoba mengontrol pendapat publik, membungkam suara kritis, dan menjadikan kampus-kampus hanya sebagai makam kebijakan politik yang mati. Semua orang dituntut untuk tunduk dan menunjukkan loyalitas kepada kekuasaan yang ada.

Berbagai problematika pun muncul, salah satu yang terbesar dampaknya adalah krisis ekonomi. Pada saat itu banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang kehilangan pekerjaan, sebanyak 16 bank dilikuidasi, dan berbagai proyek besar dihentikan. Dalam sistem dan keadaan seperti itu, pertanyaan muncul dari sejumlah mahasiswa, “Kenapa begini ?”.

Berangkat dari kegelisahan itulah, pembacaan mengenai situasi dan kondisi mulai gencar di diskusikan. Sampai akhirnya melahirkan berbagai pergerakan dari kalangan intelektual. Aksi unjuk rasa terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Puncaknya terjadi ketika aksi yang dilakukan telah memakan banyak korban, bahkan sampai menewaskan empat  Mahasiswa Trisakti Jakarta akibat tertembak oleh aparat kepolisian.

Tewasnya keempat mahasiswa ini membuat amarah masyarakat kian berkobar. Gerakan aktivis mahasiswa mekar seperti bunga liar yang terhentikan. Berbagai aksi perusakan dan pembakaran menjadi pemandangan yang tak layak dipertontonkan. Maraknya gejolak aksi membuat pemerintah mulai gusar dan menganggap ini sebagai suatu ancaman yang akan meruntuhkan kedigdayaannya.

Untuk memadamkan kobaran tersebut, pemerintah mencoba menekan mereka secara brutal dengan melakukan penculikan mahasiswa. Beberapa dari mereka ada yang ditahan untuk diinterogasi, dipukul, dan disiksa, sementara yang lain menghilang tanpa jejak. Sehingga , meninggalkan luka dan rindu yang mendalam bagi keluarga dan teman-teman mereka.

Riwayat Yang Belum Tuntas

Laksana semburat jejak usang di halaman waktu, isu tentang kejadian 1998 seolah tidak relevan lagi bagi sebagain orang. Isu-isu baru yang berlalu lalang di berbagai headline media kemudian turut mereduksi peristiwa itu ke dalam bayangan yang semakin kabur. Padahal jika telusuri, kisah para aktivis mahasiswa yang terjadi di tahun 1998 masih mewarisi banyak permasalahan.

Menurut Leila. S.Chudhori, penulis novel laut bercerita, yang juga memberi banyak perhatian perihal sejarah 1998, masih banyak yang harus dipertanyakan dan dipermasalahkan. Mulai dari siapa saja yang disalahkan?, sudahkah ada hukuman bagi mereka ?, bagaimana nasib para korban?, jika masih hidup, dimana tinggalnya?, jika sudah meninggal, dimana kuburannya?, dan masih banyak lagi yang harus dipertanyakan.

“Menurut saya kita harus mempertanyakan, karena ini hak kita untuk bertanya, karena saya terus terang belum selesai dengan cerita-cerita yang menyangkut 1998 yang selama ini belum diselesaikan. Ini gak boleh terulang lagi, sama sekali gak boleh terulang,” ujar Leila.

Ia juga mengkhawatirkan apa yang menimpa aktivis mahasiswa 1998 dapat terulang lagi di kemudian hari. Itulah mengapa ia menekankan perlu untuk menindaklanjuti secara serius dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

“Dan salah satu cara agar ini tidak terulang lagi adalah dengan menyelesaikannya. Karena kalo gak diselesaikan, takutnya ini bakal terulang lagi. Karena orang Indonesia akan menyangka dulu aja kejadian 1998, kejadian 1965 dan sebagainya gak papa tuh, maksudnya 1998 siapa yang dihukum?. Orang jadi menganggap ini gak ada punishment,” tegasnya.

Meredupnya Api Sejarah

Pengawalan mahasiswa dan generasi muda terhadap isu-isu masa lalu menurut beberapa pihak dinilai seakan sudah memudar atau bahkan seolah melupakan. Leila menilai, bahwa salah satu sebab menipisnya ingatan generasi muda tentang peristiwa 1998 dikarenakan kurangnya pelajaran sejarah diajarkan di sekolah.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar generasi muda banyak menggali reruntuhan sejarah yang terpendam lewat media informasi yang sekarang sudah semakin maju. Dari pengetahuan tentang sejarah inilah kemudian dapat membawa generasi muda untuk melihat bahwa masih banyak isu-isu lama yang harus dikawal dan ditindaklanjuti proses penyelesaiannya.

“Saya ingin mencoba simpati dan paham, karena memang pelajaran sejarah di Indonesia itu, kurang oke, jadi saya cuma bisa mengimbau kepada kawan-kawan yang muda-muda ini bahwa sekarang udah ada internet dan dunia digital, jadi tolong dimanfaatkan untuk mencari informasi yang menarik tentang sejarah kita”, ujar Leila.

Istiqbalul Asteja, alumni mahasiswa Universitas Negeri Semarang, berpendapat bahwa meskipun banyak yang seakan kurang peduli dengan sejarah, bukan berarti semua anak muda dan mahasiswa tidak mengikuti perkembangan sejarah. Masih banyak juga generasi muda yang mempertanyakan tentang apa yang pernah terjadi di masa lalu hingga kelajutannya di masa sekarang.

“Ada beberapa pihak yang menganggap generasi sekarang gak melek sejarah, padahal gak juga. Masih banyak mahasiswa yang berpikir kritis dan merasa harus mengawal sejarah, ” ungkap Isti.

Menjadi Penerus Riwayat

Melihat betapa beratnya perjuangan mahasiswa di tahun 1998, seharusnya menyadarkan kita tentang pentingnya suatu perubahan ke arah yang seharusnya. Mahasiswa sebagai agent of change dituntut untuk mengambil peran penting dalam menyelesaikan berbagai problem perubahan sosial.

Perubahan dimulai dari setetes konsistensi, hingga menjadi ombak besar yang membawa perubahan masif dan berdampak baik bagi masyarakat. Meski melakukan hal ini bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi harus di rencanakan dan dilaksanakan, agar dapat menekan isu-isu sosial yang akan terus ada dari masa ke masa.

“Kita harus mencoba berbuat sesuatu, biarpun kecil dan gak kelihatan sama orang. Dan kalaupun gagal, kita lakukan terus. Biarpun cuma selangkah, biarpun cuma dua langkah, In life minimal kita harus mencoba kata pertama kita, dan lama kelamaan menjadi kalimat dan jadi suatu karya. Nah, didalam hidup ini begitulah kita harus melakukan tugas kita sebagai manusia”,  pesan Leila kepada generasi muda.

Apalagi melihat realita hari ini, musuh yang dihadapi semakin plural, mulai dari kebijakan pemerintah yang mencekik rakyat, hukum yang tajam kebawah tumpul ke atas, sampai penyebaran isu-isu palsu yang berdansa di media sosial. Berbeda dengan yang terjadi di tahun 1998 ketika musuh mereka hanya satu, yaitu pemerintah orde baru.

Oleh karena itu, mahasiswa harus mempersiapkan diri dalam berbagai hal, seperti ketajaman analisis sosial, memperkuat intelektual, memperkuat persatuan antar mahasiswa, dan memiliki kesadaran penuh terhadap peran dan tanggung jawab sebagai mahasiswa.

Reporter : Ilham Dwi Rahman | Editor : Nanik Rahmawati

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *