Kalijaga.co – Pertengahan Maret lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan statemen larangan praktik impor pakaian bekas atau yang lazim disebut thrifting. Hal itu sontak membuat pedagang dan konsumen pakaian bekas ketar-ketir.
Kalijaga.co mencoba mengunjungi salah satu penjual pakaian impor bekas di Jalan Veteran, Pandeyan Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu lalu. Seorang pedagang enggan disebut identitasnya lantaran polemik yang tengah hangat di kalangan pecinta thrifting tersebut. Dia khawatir penyebutan identitas akan berpengaruh terhadap usahanya.
Sebut saja BA. Menurutnya kebijakan presiden terkait thrifting sudah tepat. Namun hal itu akan menyebabkan dia dan teman-teman sesama pedagang kehilangan pendapatan.
“Setuju nggak setuju, kita kan mencari nafkah ya, untuk menghidupi anak yang sekolah juga. Saya bekerja ini untuk menyambung hidup saya. Walaupun saya dapat sedikit-sedikit ya saya syukuri, itu udah membantu banget buat menyambung hidup,” katanya.
BA mengaku setelah beredarnya informasi larangan impor tersebut, toko miliknya menjadi tidak seramai biasanya. Antusias konsumen sempat mengalami penururan. Namun kini keadaan berangsur normal. Hingga kini pihaknya masih membuka lapak thrifting. Pihak pemilik tempat usaha juga masih memberi kesempatan pedagang untuk berdagang.
“belum ada tindak lanjut dari peraturan yang sudah ditetapkan, jadi masih berdagang seperti biasanya tanpa khawatir akan gulung tikar,” tegasnya.
Larangan impor pakaian bekas sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 47 tentang Perdagangan. Lembar legal tersebut menyebut jika setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadan baru. Hal itu ditegaskan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Pasal 3 ayat (3). Di dalamnya mengatur larangan impor kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
“kadang-kadang saya suka nge-thrift. Kalau soal setuju-gak setuju, saya sebenarnya fifty fifty. Setujunya itu karena memang ada penyakit kulit yang dapat menular melalui pakaian thrift,” jelas Vania Safir, salah satu pengunjung thrift di XT Square Yogyakarta.
Senada dengan Vania, Sekar Wangi, salah satu penikmat thrift juga setuju dengan peraturan tersebut, “karena kita juga ngga tau dari mana asal baju impor itu sendiri. Kedua, adanya baju impor juga bisa mematikan produk lokal,” terangnya.
Bagi Sekar, harga baju thrift sekarang tidak beda jauh dengan harga baju lokal yang masih baru. “Cuma menang brand nya aja,” imbuhnya. Ia juga mengaku merasa kasian kepada pedagang karena akan mempersulit lapangan pekerjaan. (pgmi)
Reporter: Syalita Hilda Salsabila, Dewi Nurmalisa, Tantri Yuly Astuti I Editor: Aulia Rachmah