Kalijaga.co- Progam studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) pada dasarnya berbeda dengan progam studi Ilmu Komunikasi. Meskipun keduanya sama-sama berbasis komunikasi, tetapi kata Islam yang tersemat diakhir progam studi KPI menjadi pembeda diantara keduanya.
Kata islam seharusnya menjadi nilai tambah bagi mahasiswa yang ada di prodi KPI. Namun pada kenyataannya tidak sedikit dari mahasiswa yang menjadikan label Islam tersebut sebagai beban moral pada dirinya.
Salah satu mahasiswa KPI, Muhammad Akhyar Kaddafi menuturkan bahwa label Islam menjadi beban baginya karena mata kuliah yang dikaji menjadi tidak maksimal ketika kita belajar keduanya. Antara komunikasi juga Islam hanya dikaji setengahnya, tidak keseluruhannya.
“Kalau ditanya berasal dari prodi mana, pasti jawabnya komunikasi aja tanpa ada embel-embel Islamnya,” tutur Akhyar.
Hal itu kemudian mendapat tanggapan dari Saptoni, Kepala Progam Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menuturkan bahwa label Islam pada akhir Prodi KPI memang menjadi beban bagi mahasiswa yang memang menganggapnya beban. Beliau juga menuturkan bahwa nilai Islam pada Prodi KPI saat ini memang sudah sedikit menurun.
“Bukan tidak ada ya, tetapi kurang maksimal. Yang saya rasakan terutama ketika kita bicara skripsi misalnya, atau tugas akhir itu. Ketika kita bicara skipsi, temen-temen ini mulai bergeser dari kajian-kajian komunikasi dakwah ke komunikasi umum. Meskipun tidak semuanya.” tutur Saptoni saat diwawancarai di University Hotel, Maguwoharjo pada Selasa (22/10/2024).
Saptoni juga mengungkapkan bahwa sebenarnya mahasiswa KPI sudah memahami fenomena perspektif masyarakat muslim dan sudah memenuhi syarat material dengan melibatkan kajian keislaman. Akan tetapi, dari sisi keilmuan, perspektif, juga teoritis, para mahasiswa belum bisa merefleksikan sebagian dari pengembangan studi komunikasi Islam.
Hal itu disebabkan mahasiswa yang hanya fokus pada kebutuhan pasar dan juga hanya memakai teori komunikasi murni tanpa ada unsur keislaman.
“Kalau yang dipake perspektifnya ya perspektif komunikasi murni. Maka untuk memahami fenomena komunikasi masyarakat muslim itu sudah, tetapi untuk refleksi sebagai bagian dari pengembangan studi komunikasi islam, itu yang belum,” jelas Saptoni.
Komunikasi Islam tidak hanya sekadar ilmu, tetapi juga memiliki nilai. Nilai-nilai keislaman yang dibawa oleh pengembangan ilmu komunikasi yang dipelari oleh para mahasiswa KPI sudah seharusnya terceminkan. Tidak hanya mengikuti perkembangan teknologi media dan informasi, tetapi juga tetap membawa nilai-nilai keislaman di dalamnya.
Saptoni berpesan agar mahasiswa KPI tidak malu menyandang status sebagai mahasiswa Islam. Jika masih merasa malu berarti ada yang salah dari mahasiswanya atau bahkan andil prodi di dalamnya.
“Sampeyan juga harus membranding diri sebagai seorang muslim, seorang muslimah yang bisa menyampaikan pesan-pesan itu yang tetap membawa nilai-nilai Islam itu. Sehingga keislaman itu tidak perlu sampeyan tutupi. Sampeyan harus mengembangkan potensi, membekali diri sampeyan. Nah Prodi dituntut untuk memberi bekal itu” pesan Saptoni di akhir wawancara.
Reporter Izza Aziza Queen Sophia | Editor Fatah Elhusein