Culture Shock Mahasiswa Luar Pulau Jawa di Yogyakarta

1 0
Read Time:3 Minute, 36 Second

Yogyakarta kerap dijuluki ‘Kota Pelajar’ menjadi salah satu incaran para calon mahasiswa di Indonesia. Kota yang kaya akan budaya dan seni ini menarik banyak mata dari berbagai penjuru Nusantara, Sabang hingga Merauke. Sementara itu, Indonesia memiliki banyak kekayaan budaya, suku, dan bahasa yang berbeda-beda tiap daerah termasuk Yogyakarta. Perbedaan budaya tersebut dapat menjadi culture shock bagi mahasiswa perantau, terutama luar Pulau Jawa. Berikut merupakan empat hal yang sering menjadi culture shock mahasiswa perantauan di Jogja.

Selera Makanan 

Cita rasa yang dituangkan dalam makanan dapat berbeda di tiap daerah. Yogyakarta yang terkenal dengan Gudeg sebagai makanan khasnya menjadi salah satu kuliner yang unik bagi mahasiswa perantau. “Kalau makanan ya, lebih ke selera sih, ya mungkin karena saya dari Kalimantan lebih biasa dengan rasa gurih,” ujar Laili Nur, mahasiswa asal Kalimantan Timur. Ia mengungkapkan bahwa ia terkejut dengan cita rasa makanan yang ia temui di Yogyakarta cenderung manis. 

Hal tersebut turut dialami oleh Nahdlotul Olumiah, mahasiswa asal Kepulauan Bangka Belitung. Olum mengungkapkan bahwa masakan di daerah asalnya dominan gurih, asin, dan pedas. “Jadi untuk satu bulan pertama di Jogja saya masak terus.” Ujarnya. 

Tutur Bahasa

Hingga saat ini tercatat Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Dan Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang kerap digunakan di Tanah Air termasuk di Jogja. Namun suatu bahasa yang akrab bagi sekumpulan orang dapat menjadi bahasa yang asing bagi sekumpulan orang lainnya. “Masih bisa mengerti bahasa jawa karena biasanya ada interaksi dengan orang-orang luar lewat media sosial, tapi kalau udah bahasa jawa halus atau bahasa jawanya full dan kek keseluruhan itu biasanya udah gak ngerti,” ungkap Olum. 

Olum mengungkapkan, ia sempat kesulitan ketika belanja di pasar. “Jadi tuh kalau beli, ‘Mbah beli’, nanti mbahnya atau mbak-mbaknya balasnya pakai bahasa jawa, nah biasanya aku tuh gak ngerti,” lanjutnya. 

Selain dari bahasa, nada bicara atau intonasi juga cenderung berbeda. Perbedaan tersebut menjadi culture shock satu sama lain baik bagi orang Jogja ataupun orang luar Pulau Jawa. “Orang Sumatera itu kalau nada bicara tuh 1 sampai 10, orang Jawa itu di 5, orang Sumatera itu di 7,” jelas Olum. Ia menyebutkan bahwa nada bicara di daerah asalnya cenderung tinggi dan membuat orang yang ia temui di Jogja kaget “Mereka itu jadi kek hah gitu, kok kenceng banget suaranya.” Lanjutnya. 

Kebiasaan 

Setiap daerah memiliki kebiasaannya tersendiri baik dilakukan secara individu maupun kelompok masyarakat. “Di sini (Jogja) warga-warganya sangat ramah dan sangat santun sekali,” ujar Laili. Ia acap kali menyaksikan warga yang saling gotong royong dan juga gemar menyapa. 

Hal serupa juga dialami oleh Olum. “Kalau di sini kita lewat itu permisinya sangat-sangat permisi,” ujarnya. Olum menjelaskan bahwa di tempat asalnya juga melakukan permisi tapi tidak sampai menunduk terlalu bawah. Awalnya ia merasa hal tersebut melelahkan karena harus selalu menyapa meskipun saat sedang berkendara motor. “Kalau di tempatku kalau mau lewat, lewat aja.” Lanjutnya. 

Selain itu, Olum mengungkapan rasa terkejutnya melihat banyaknya perayaan-perayaan kebudayaan yang diadakan di Jogja dari perayaan besar tahunan hingga acara keagamaan rutinan tiap pekan. “Aku juga pernah ikut yasinan di sini, ternyata kayak structural secara mereka yasinan juga beda gitu ternyata,” ujarnya. Lebih lanjut Olum mengungkapkan perbedaan itu walau pun terlihat kecil namun dapat membuat terkejut bagi orang yang baru pertama kali ke luar daerah. 

Arah Mata Angin  

Sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat Jogja, bahwa arah mata angin sebagai penunjuk arah. Namun bagi mahasiswa rantau, hal tersebut dapat membingungkan. “Di tempat saya kalau menunjukkan arah tinggal kiri, kanan, lurus, kalau di sini ada Utara Selatan Timur gitu,” ujar Laili. 

Hal tersebut juga turut dirasakan oleh Olum saat sedang tidak menggunakan Google Map, sedang bingung atau saat sedang bercerita dengan teman-teman. “Kalau tanya sama orang Jogja ‘Bu kalau mau ke Gunung Kidul arahnya mana?’ nanti mereka bilang ‘itu ke Selatan’ seperti itu,” ujarnya. Olum mengungkapkan meski pun sudah cukup lama di Jogja namun ia tetap tidak mengerti dengan arah mata angin. “Itu sangat membingungkan buat aku.” Jelasnya. 

Nah itu dia tadi empat hal yang sering menjadi culture shock mahasiswa luar Pulau Jawa saat pertama kali datang ke Yogyakarta. Culture shock merupakan hal yang wajar terjadi dalam masyarakat terlebih di Indonesia yang memiliki beragam budaya. Dan ingatlah selalu peribahasa “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi”

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *