Kalijaga.co – Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pasti tahu, bahwa di kampusnya menerima mahasiswa yang memiliki keterbatasan fisik. Kita kenal sebagai mahasiswa difabel. Sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, kita sering melihat mahasiswa difabel yang berangkat menuju kelas seperti mahasiswa lainnya.
Dengan melihat situasi seperti itu, pasti ada dari segelintir mahasiswa yang timbul akan pertanyaan terkait kesetaraan. Apakah sistem akademik mahasiswa difabel dan mahasiswa reguler sama?.
Berbicara terkait kesetaraan, dalam dunia akademik bukan sekedar wacana, melainkan komitmen nyata terhadap nilai keadilan dan inklusivitas. Di kampus UIN Sunan Kalijaga, semangat ini tampak jelas dengan adanya Pusat Layanan Difabel (PLD) yang menjadi ruang dukungan bagi mahasiswa difabel untuk memperoleh hak pendidikan yang setara dengan mahasiswa reguler.
Untuk memahami lebih dalam, saya berinisiatif untuk menanyakan opini dari relawan di Pusat Layanan Difabel (PLD), terkait kesetaraan akademik antara mahasiswa difabel dan mahasiswa reguler, kenapa saya tertarik meminta opini dari mereka, karena yang pastinya mereka para relawan PLD lebih dekat dan lebih faham dengan mahasiswa difabel.
Mufid Mafendi, mahasiswa BKI, salah satu relawan aktif Pusat Layanan Difabel (PLD) dari divisi tim pendampingan. Ia lah yang akan beropini terkait kesetaraan sistem akademik mahasiswa difabel dan juga harapan Pusat Layanan Difabel (PLD) untuk kedepannya.
Menurut Mufid peran utama Pusat Layanan Difabel (PLD) adalah memberikan fasilitas dalam hal akademik.Hal pertama adalah pendampingan perkuliahan untuk temen-temen tunarungu. Kedua adalah membantu pendampingan mobilitas untuk temen-temen netra. Serta memberikan pendampingan pada temen-temen tunarungu dan netra, juga memberikan pendampingan temen-temen yang terkendala intelektual dan autisme. Dan yang terakhir memberikan pendampingan yang disebut dengan note taker atau tim pencatat, mendampingi waktu temen-temen difabel dalam menjalankan perkuliahan.
Pertanyaan kedua, mengenai kesetaraan, yang bagaimana kondisi mahasiswa difabel dalam kegiatan akademik kampus, ia beropini. “Kalau melihat dari segi kesetaraan tentu masih banyak hal yang perlu dievaluasi, karena mahasiswa difabel memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing, apalagi temen-temen yang autis dan temen-temen yang terkendala intelektual, otomatis cara berpikirnya itu berbeda, ada yang lebih lambat ataupun yang lebih cepat dari orang orang non difabel, jadi kesetaraannya itu, kami relawan PLD mengusahakan dan mempertahankan kesetaraan itu, contoh, mahasiswa difabel di PLD di fasilitasi berbagai UKM, diantaranya seperti Gita Givana, Podcast PLD, dan Maunly Kafibility”.
Dari pertanyaan kedua tersebut dapat disimpulkan, jadi setara itu bukan berarti sama. Ibarat kata, ada anak TK dan ada juga anak SMA, keduanya ingin mengambil mangga, tentunya anak TK harus di kasih kursi untuk bisa menggapainya, anak SMA tidak perlu dikasih kursi, karena anak SMA sudah pasti nyampe.
Namun, kalau setara itu dimaknai hal yang sama, keduanya di kasih kursi. Maka hasilnya yang anak TK dapet mangga, dan yang SMA malah ketinggian yang berlebih, yang justru bakalan mubazir. Jadi setara dalam hal ini bukan berarti menyamakan.
Contoh mahasiswa non difabel memiliki target IPK 3,9. Mahasiswa difabel yang IPK nya di atas 3 dan di atas 3,5 itu sudah bagus. Kemudian jika mahasiswa non difabel berada di fase bisa mempraktekan, sedangkan mahasiswa difabel bisa di fase memahami dan bisa menjelaskan, itu juga sudah bagus, jadi tidak banyak tuntutan untuk temen-temen mahasiswa difabel, yang penting bisa mengikuti alur perkuliahan dengan baik.
Dikarenakan mahasiswa difabel memiliki kelebihan dan kekurangannya masing masing, maka cara menyetarakan hal itu, dengan kita melihat kemampuan mereka. Selagi mereka mengikuti perkuliahan dan PLD tetap memberikan pelayanan yang baik.
Di akhir Mufid memberikan harapan untuk PLD kedepannya, ia mengatakan. “Kita harus berbenah, dan berharap PLD ini lebih dianggap lagi oleh kampus, lebih difasilitasi oleh kampus, karena masih perlu adanya penambahan dan juga perbaikan dalam segi fasilitas, agar PLD ini memiliki kekuatan dan memberikan hal-hal baru”. Ungkapnya pada (20/10).
Harapan tambahan dari ketua Pusat Layanan Difabel (PLD), bernama Dr. Asep Jahidin, mengatakan. “Harapan kami, ekosistem inklusif di UIN Sunan Kalijaga dapat terus dibangun dengan lebih baik. Ekosistem inklusif mencakup aksesibilitas fisik, seperti fasilitas PLD, dan aksesibilitas non fisik, yaitu cara pandang seluruh civitas akademika terhadap mahasiswa difabel. Bukan sebagai objek kasihan, melainkan sebagai sesama manusia. Jika cara pandang ini sudah benar, maka tercipta ruang-ruang yang ramah difabel, dan segala bentuk aksesibilitas lainnya akan lebih mudah terwujud.” Ungkapnya pada (20/10).
Oleh sebab itu, UIN Sunan Kalijaga menjadi kampus yang inklusif menjadi simbol kepedulian, yang menerima calon calon mahasiswa dari latar belakang, mau itu orang yang berasal dari daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), ataupun dari agama non muslim.
Dan yang paling penting kampus ini menerima mahasiswa difabel yang pasti adanya kesetaraan dalam sistem akademik, dengan arti bukan menyamakan, karena mahasiswa difabel terkendala dengan hal yang Istimewa. Saya dan seluruh civitas akademika UIN sunan Kalijaga, diharuskan menggunakan cara pandang yang baik terhadap mahasiswa difabel.
Seperti itulah opini dari salah satu relawan dalam melihat sistem akademik antara mahasiswa difabel dan mahasiswa non difabel, dan ada juga harapan dari Mufid itu sendiri dan juga Dr. Asep Jahidin, untuk Pusat Layanan Difabel (PLD) untuk kedepannya.
Penulis: Alfath fadhiilah | Editor: Khoirunnida