Fahruddin Faiz Jelaskan Integrasi Filosofi Stoikisme dengan Ajaran Islam untuk Jalan Mencapai Ketenangan Hidup di Era Ketidakpastian

Kalijaga.co – Kata Ibnu sina, sejak zaman dulu era Nabi Adam sampai hari ini, manusia itu hidup dalam ketidakpastian. Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Filsafat sekaligus Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada kegiatan Taskia (Tausiah & Zona Kajian Menjelang Azan) Ramadhan Bil Jami’ah, Masjid Sunan Kalijaga, pada Selasa (4/3/2025).

“Kalau kata orang Stoic, hidup ini isinya cuma dua hal, ada senang, ada sedih, ada sukses, ada gagal. Jadi kalau kita masih mengalami kegagalan, ya wajar, kita masih hidup, hidup itu kalau tidak sukses ya gagal. Jadi kalau filosofi stoic badan kita siap menghadapi apapun yang terjadi.”

Dalam peribahasa jawa ada istilah “Ojo gumunan, ojo kagetan” yang artinya jangan kamu kaget, biasa kok di dunia begitu.

Menurut Fahruddin, manusia dapat menghadapi ketidakpastian hidup dengan sikap bijak, yaitu memahami pola hidup (sunnatullah), menerima segala kemungkinan tanpa putus asa, selalu melakukan kebaikan, dan memiliki ketahanan mental untuk bangkit kembali setelah mengalami kegagalan (resiliensi). 

“Jadi kalau kita punya empat hal ini, insya Allah hidup kita lebih tenang. Jadi orang tenang itu bukan orang yang gak pernah punya masalah, atau enak terus, nyaman terus, ga ada orang seperti itu, kalau kalian ingin hidup ini ga ada masalahnya, ga bisa.” Tutur Fahruddin

Wasiat dari Imam Syafi’i “jasad kita ini berharga ketika ada jiwanya, kenapa? Ya kalau ga ada jiwanya, jasad ini namanya jenazah.” Maka jasad ini masih berharga selama masih ada jiwanya.

“Jiwa ini berharga kalau ada ilmunya” ilmu itu yang membuat kita manusia menjadi mahluk yang berilmu,

يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ

Artinya: “Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Jadi kita tidak hanya jasad dan jiwa, tapi jasad jiwa yang berilmu.

“Ilmu itu berharga kata Imam Syafi’I kalau ada amalnya. Tidak ada gunanya menumpuk-numpuk ilmu, tapi hidup kita tidak jadi lebih baik.” Pung

Pada akhirnya amal itu berharga kalau ada ikhlasnya, kita melakukan kebaikan berdasarkan ilmu, itu kurang berharga kalau tidak ikhlas. Tidak ikhlas menurut Fahruddin, bisa jadi disebabkan ada pamrih dan ada tujuan yang kurang baik.

Fahruddin mengakhiri sesi materi dengan kesimpulan wasiat dari Imam Syafi’I yang bahwasanya,

“Jasad ini berharga kalau ada amalnya, maka jangan berhenti belajar. Ilmu itu berharga kalau ada amalnya, maka jangan berhenti berbuat baik sesuai ilmu yang kita punya. Dan amal itu berharga kalau ada ikhlasnya, lakukan kebaikan sebanyak mungkin dan ikhlaslah, maka akan lebih menenangkan dan lebih membantu kita.” Pungkas Fahruddin Faiz.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *