Fenomena Ceramah berbayar

0 0
Read Time:2 Minute, 41 Second

Kalijaga.co – Pernahkah kita memperhatikan bagaimana perkembangan dakwah di era digital saat ini? Banyak sekali pendakwah yang kini tampil bukan hanya di mimbar masjid, tetapi juga di media sosial baik itu YouTube, Instagram, hingga TikTok. Dakwah menjadi lebih luas jangkauannya dan menjadi lebih mudah untuk diakses.

Namun, dari sinilah muncul berbagai pandangan. Ada yang mulai mempertanyakannya termasuk saya sendiri, “Mengapa dakwah sekarang seperti ada tarifnya?” atau “Apakah wajar seorang ustaz menerima bayaran untuk ceramahnya?”. Lalu dari sinilah kita akan masuk pada topik yang sangat menarik akan tetapi sensitif, “Apakah ceramah yang bertarif itu benar atau salah?”.

Sebagian orang mungkin merasa aneh saat mengetahui bahwa seorang ustaz memasang tarif atau rate card atas ceramah yang disampaikannya. Mereka menganggap dakwah seharusnya dilakukan secara sukarela. Namun, penting untuk diingat bahwa seorang ustaz pun juga merupakan manusia biasa yang memiliki kebutuhan hidup. Mereka butuh makan, membayar tagihan, menafkahi keluarganya, apalagi kalau ceramah tersebut dilakukan secara profesional dengan adanya tim acara dari ustaz tersebut, maka wajar saja jika mereka mendapat apresiasi berupa honor ataupun memasang tarif untuk ceramahnya.

Dan juga para ustaz ini pun telah menuntut ilmu agama sejak muda dan kita tahu bahwa ilmu agama itu sangatlah mahal nilainya, maka dengan kita memberikan honor, itu juga merupakan suatu penghormatan atas ilmu agama yang telah diberikan oleh ustaz tersebut.

Meski demikian, persoalan ceramah berbayar ini memang tidak bisa dilihat secara hitam dan putih. Dalam wawancara saya dengan Wahyunianto, S.E., selaku bendahara MUI Kecamatan Pinang Kota Tangerang, menyampaikan bahwa praktik ini bisa dipandang dari dua sisi. Di satu sisi, tidak dapat disangkal bahwa ilmu seorang ustaz sangat berharga dan layak dihargai. Oleh karenanya, wajar jika ada bentuk apresiasi berupa honor. Terlebih lagi saat ini banyak ustaz yang memiliki tim dan manager sehingga sistem tarif menjadi hal yang umum.

Namun, Wahyunianto juga mengingatkan bahwa masyarakat perlu bijak dalam menyikapi hal ini. Jangan sampai semangat berdakwah tergeser oleh kepentingan komersial. Dalam banyak kasus, sekarang ini banyak orang-orang yang menjadikan agama sebagai komoditas sampai-sampai berkata bahwa “Jualan agama itu merupakan bisnis yang sangat laku.”, yang mana ini menjadi tantangan tersendiri, bahkan bagi lembaga seperti MUI sekalipun, karena menjual agama adalah hal yang sangat sensitif namun sulit untuk dikendalikan.

Wahyunianto juga menambahkan bahwa ada 3 tipe ustaz di era sekarang. Ada yang berdakwah sepenuhnya karena keikhlasan, ada yang memang sudah sering keluar masuk televisi dan terkenal di medsos serta memiliki timnya tersendiri sehingga memiliki tarif khusus, dan ada pula yang bukannya dibayar oleh jama’ah, melainkan malah penceramah tersebut yang memberikan uang dan hadiah kepada para jamaahnya.

Menurut Wahyunianto, jika ingin mengundang ustaz, penting bagi kita untuk memahami latar belakangnya dan menjaga adab saat membahas soal tarif yaitu dengan tidak menanyakan langsung kepada ustaznya akan tetapi melalui perantara yang mengundang ataupun panitia.

Pada akhirnya ceramah yang bertarif bukanlah hal yang secara otomatis salah atau benar. Semua kembali kepada niat, cara penyampaian, dan bagaimana masyarakat serta ustaz itu sendiri yang memposisikan dakwah di tengah zaman yang terus berubah. Selama nilai-nilai keikhlasan tetap dijaga dan agama tidak dijadikan alat untuk sekadar mencari keuntungan pribadi, maka dakwah akan terus menjadi cahaya yang menuntun umat, baik di hadapan jamaah secara langsung, di layar ponsel, maupun di dalam hati setiap pendengarnya.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *