Kalijaga.co – Berangkat dari keresahan saya beberapa waktu lalu, ada fenomena yang cukup menarik untuk diulas dengan pandangan yang lebih luas. Agama yang seharusnya menjadi panduan moral, akan tetapi di era ini menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan dengan meraup keuntungan yang banyak. Fenomena ini seringkali disebut dengan komodifikasi agama. Agama bukan lagi sebagai praktik spiritual, namun dijadikan simbol sebagai ladang bisnis. Fenomena ini perlu dikaji lebih lanjut.
Pengklaiman makam Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat yang dianggap sebagai Habib Hasan bin Thoha bin Yahya (Syekh Keramat Jati) sempat ramai di media sosial. Makam yang sebenarnya berada di Jejeran Bantul diklaim berada di Semarang. Hal ini memuai pro-kontra dimana sebenarnya lekat dari makam tersebut dan akhirnya ditemukan bukti sejarah yang tertulis di Babad Bedhah ing Ngayogyakarta karya Pangeran Panular menjelaskan secara detail kematian panglima perang pemberani tersebut da di makamkan di Jejeran, Pleret, Bantul.
Lalu apa hubungannya dengan komodifikasi agama? Sebelum kasus ini ramai diperbincangkan, banyak masyarakat yang ziarah di makam yang berada di Semarang dan pihak yang klaim makam tersebut mendapat setoran uang lima karung uang tunai setiap tahun dari bisnis makam keramat palsu berdasarkan informasi yang dikutip dari kanal youtube Tarbiyah Daily. Kasus ini menjadi refleksi penting mengenai bagaimana agama dapat dijadikan alat dalam ekonomi simbolik, sekaligus menunjukkan bagaimana media sosial mempercepat penyebaran dan legitimasi praktik semacam itu. Tulisan ini akan menganalisis fenomena tersebut dengan menggunakan pandangan dari Sigmund Freud dan Émile Durkheim.
Pandangan Sigmund Freud tentang Psikologi dan Agama
Sigmund Freud dalam The Future of an Illusion mengatakan agama sebagai “ilusi psikologi kolektif” hal ini disebabkan karena “neurosis kolektif’ mekanisme pertahanan psikologis terhadap sesuatu yang belum pasti. Pandangan Freud disini dapat digunakan untuk memahami bagaimana simbol-simbol dalam agama digunakan untuk tujuan tertentu. Tentunya ini juga menjelaskan bagaimana kebutuhan spiritual masyarakat dapat dieksploitasi melalui simbol tersebut yang dianggap sakral.
Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa praktik seperti pemujaan terhadap tokoh agama, atau bahkan ziarah ke makam yang belum terbukti keasliannya (dugaan pemalsuan), bisa dianggap sebagai bentuk ilusi yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan emosional. Ketika praktik religius dijadikan sarana untuk mengisi kekosongan psikologis, maka muncul celah untuk eksploitasi oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas simbolik.
Pandangan Durkheim: Agama dan Masyarakat
Berbeda dengan Freud, Émile Durkheim memandang agama sebagai refleksi dari kesadaran kolektif masyarakat. Dalam The Elementary Forms of Religious Life, ia menyatakan:
“Ide tentang masyarakat adalah roh agama.”
Praktik keagamaan yang terjadi dalam masyarakat merupakan representasi dari nilai-nilai sosial masyarakat itu sendiri. Dalam kasus pemalsuan makam, bisa dilihat bagaimana masyarakat/tokoh agama mengkonstruksi nilai kesakralan tidak berdasarkan keaslian sejarah/klaim makam palsu, tetapi berdasarkan otoritas yang diberikan oleh komunitas terhadap seorang tokoh. Sehingga masyarakat tidak tertuju pada fakta sejarah, melainkan hanya terfokus pada tokoh yang mereka anggap sebagai panutan.
Dengan kata lain, makam itu dianggap “suci” bukan karena keberadaannya sebagai fakta sejarah, tetapi karena masyarakat mengakui nilai spiritual dari tokoh yang diasosiasikan dengan makam tersebut. Maka, ketika masyarakat mempercayai sesuatu yang secara objektif bisa dipertanyakan, mereka tetap akan membelanya sebagai bagian dari identitas kolektif. Durkheim menyebutnya sebagai “hasil konstruksi sosial” masyarakat mengakui kesakralan dengan identitas kolektif.
Pandangan Durkheim membantu untuk memahami bahwa masyarakat membentuk kesakralan karena pengakuan kolektif, bukan berdasarkan fakta sejarah. Sebab itulah masyarakat terjebak dalam kesadaran kolektif tanpa memikirkan kebenaran yang objektif. Dalam kondisi seperti ini, agama menjadi “produk” yang laku dijual, bukan lagi jalan spiritual. Maka, tak heran jika praktik-praktik keagamaan diselewengkan demi keuntungan finansial atau politik, seperti yang terlihat dalam kasus dugaan makam palsu ini.
Media sosial berperan besar dalam memperkuat atau meruntuhkan otoritas keagamaan. Di satu sisi, platform ini memungkinkan tokoh agama untuk menyebarkan ajaran mereka dengan lebih luas. Namun di sisi lain, media sosial juga memungkinkan dekonstruksi terhadap simbol-simbol agama. Dalam konteks pemalsuan makam, media sosial menjadi sistem pengawasan. Bagaimana bisa? Dengan adanya media sosial, pemalsuan makam bisa terungkap karena hal ini menjadi perdebatan hingga ditemukan fakta sejarah yang asli.
Fenomena komodifikasi agama di media sosial membuka ruang diskusi penting tentang relasi antara agama, otoritas, dan ekonomi. Ketika simbol-simbol religius digunakan untuk meraup keuntungan, maka batas antara spiritualitas dan kepentingan duniawi menjadi kabur. Freud melihat ini sebagai bentuk ilusi yang mengganggu rasionalitas manusia, sementara Durkheim melihatnya sebagai wujud dari realitas sosial yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, masyarakat perlu lebih kritis dalam memaknai praktik keagamaan bukan hanya berdasarkan simbol dan otoritas, tetapi juga dari aspek rasional, etika, dan transparansi. Media sosial, sebagai ruang baru peredaran nilai-nilai agama, seharusnya menjadi alat pencerahan, bukan ruang komodifikasi belaka.
Penulis Ahmad Anwar Nafiil Husna | Ilustrator Fatah Elhusein