Kalijaga.co- Film animasi Indonesia Jumbo menjadi sangat menarik dibahas karena menjadi film
dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa di Indonesia dengan jumlah penonton
mencapai 10.076.973 pada Senin (2/6). Tidak sedikit reviewer film yang membahas film ini,
salah satunya adalah Timothy Fidealo, pemilik channel YouTube Ngelantur Indonesia.
Disokong lebih dari 400 insan kreatif dan disutradarai oleh Ryan Adriandhy, Jumbo
menunjukkan adanya upaya serius untuk meningkatkan kualitas animasi lokal ke tingkat yang
lebih kompetitif. Satu kalimat menarik dari hasil review film Jumbo oleh channel YouTube
Ngelantur Indonesia.
“Bangga harus, Puas jangan.”
Video yang dirilis tanggal 9 April 2025, review film Jumbo di channel Ngelantur
Indonesia sudah ditonton lebih dari 628 ribu penonton. Video berjudul PR KITA MASIH
BANYAK…. | REVIEW NON SPOILER “JUMBO” (2025) ini menyajikan ulasan film Jumbo dari perspektif sang kreator.
Dimensi menarik lainnya muncul ketika pandangan dari channel YouTube Ngelantur
Indonesia dipertemukan dengan berbagai respon pro dan kontra dari netizen Indonesia.
Dalam wawancara yang dilakukan pada 2 Juni 2025, beberapa mahasiswa yang juga
akrab dengan dunia perfilman turut memberikan pandangan mereka terhadap review film
jumbo oleh Ngelantur Indonesia.
Sebelumnya, perlu disorot kembali secara ringkas, Film Jumbo bercerita tentang Don,
bocah 10 tahun bertubuh gemuk yang hidup sebagai yatim piatu. Ia punya satu benda berharga:
buku dongeng warisan orang tuanya yang penuh imajinasi. Don ingin membuat pertunjukan
dari cerita dalam buku itu, tapi semuanya berubah saat bukunya dicuri. Dalam proses
pencariannya, ia bertemu peri kecil bernama Meri yang juga sedang mencari keluarganya.
Petualangan pun dimulai, dan di situlah Don menemukan makna keberanian, persahabatan, dan
berdamai dengan diri sendiri.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana audiens merespons konten review Ngelantur
Indonesia, penulis melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa yang memiliki latar
belakang berbeda, mulai dari perfilman, teater, hingga penikmat film biasa. Hasilnya
menunjukkan bahwa resepsi terhadap review ini sangat beragam, mulai dari yang sepenuhnya
mendukung, menegosiasikan isi, hingga yang bersikap netral namun tetap terbuka.
Dhihan Hanifa Putra, seorang mahasiswa program studi Ilmu Hadist UIN Sunan
Kalijaga yang sering terlibat dalam produksi film, menyatakan bahwa ia sudah lama mengikuti
channel Ngelantur dan menilai review mereka sangat objektif dan berbasis pengetahuan teknis.
“Saya suka karena Ngelantur terasa objektif dan jujur. Dia menyampaikan kritik keras tapi fair.
Tidak kelihatan setingan atau kayak dibayar,” ungkapnya.
Menurut Dhihan, gaya penyampaian Ngelantur yang berani dan tidak dibuat-buat membuat kontennya terasa autentik dan kredibel.
Senada dengan itu, Muhammad Akmal Ihsan, seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
program studi Ilmu Tafsir Qur’an yang juga memiliki ketertarikan pada dunia film, menyebut
bahwa ia menyukai review yang dibumbui opini pribadi karena film adalah sesuatu yang sangat
subjektif.
“Ketika orang menonton, pasti akan mengaitkan dengan pengalaman dan
perasaannya sendiri. Di situlah letak manusiawinya sebuah opini,” jelasnya. Ia lebih suka menonton film terlebih dahulu, kemudia menyimak review untuk melengkapi penilaiannya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Farra Ismarosa Tuzzahra, mahasiswa program
studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga yang terjun dalam dunia teater,
mengaku menyukai gaya bahasa santai dan realistis dari Ngelantur.
“Rasanya kayak diajak nongkrong, tapi tetap dapat ilmunya,” tuturnya. Ia menilai konten Ngelantur mampu menjangkau penonton awam tanpa harus mengorbankan kedalaman analisis.
Sementara itu, Rafa Raisul Umam, mahasiswa program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga lebih menyoroti keberagaman karakter reviewer. Ia
menyukai reviewer film yang jujur dan blak-blakan, namun tetap menyisipkan opini pribadi
yang masuk akal.
“Ngelantur itu to the point, tidak menjilat, dan bahasanya mudah diikuti,” katanya. Rafa juga menilai bahwa review Ngelantur mengangkat hal-hal yang jarang dibahas
reviewer lain, seperti konteks industri, proses kreatif, dan kaitan dengan kebijakan produksi
film lokal.
Temuan dari wawancara ini menguatkan penerapan teori resepsi audiens, khususnya
dari Stuart Hall, yang membagi respons audiens ke dalam tiga kategori: dominant hegemonic
(menerima penuh), negotiated (menerima sebagian, namun dengan penyesuaian), dan
oppositional (menolak).
Dari narasumber yang diwawancarai, sebagian besar menunjukkan posisi dominant
hegemonic dan negotiated. Mereka menghargai cara Ngelantur menyampaikan kritik secara
lugas dan informatif, namun tetap menyaringnya melalui pengalaman dan preferensi pribadi
masing-masing. Ini menunjukkan bahwa audiens bukanlah penerima pasif, melainkan aktif
membentuk makna berdasarkan latar belakang dan nilai mereka sendiri.
Dengan melihat respons ini, dapat disimpulkan bahwa konten review milik Ngelantur
Indonesia bukan hanya berperan sebagai penyampai informasi seputar film, tetapi juga sebagai
ruang dialog yang menghasilkan tafsir beragam. Audiens tidak hanya menonton, tapi juga
menegosiasikan makna, membandingkan pengalaman, dan bahkan membentuk opini baru.
Inilah yang membuat proses resepsi menjadi dinamis, seperti sebuah negosiasi sosial
antara teks, kreator, dan penonton. Maka, konten kritik film yang disampaikan dengan gaya
khas seperti milik Ngelantur berpeluang tidak hanya mengedukasi, tapi juga membentuk
budaya apresiasi yang lebih kritis terhadap karya-karya dalam industri film lokal.
Penulis Davi Muh Azita Rifa’i | Youtube