Kalijaga.co – Suara kidung rohani menggema dari balik dinding-dinding kokoh GPIB Marga Mulya Yogyakarta, Kamis (29/05). Mengiringi umat Kristiani yang berdo’a khidmat menciptakan cahaya pelangi di ruang do’a. Hari itu, mereka memperingati peristiwa suci kenaikan Isa Al-Masih ke surga, sebagai simbol kebangkitan dan keselamatan bagi dunia.
Kenaikan Isa Al-masih menjadi momen penting dalam kalender liturgi umat Kristiani, kenaikan Isa Al-Masih yang jatuh 40 hari setelah Paskah, diyakini sebagai momen ketika Yesus Kristus naik ke surga setelah kebangkitan-Nya dari kematian. Peristiwa ini tidak hanya dimaknai sebagai akhir dari kehadiran fisik Yesus di dunia, tetapi juga sebagai simbol kemenangan atas maut, serta awal dari pengutusan para murid.
Ibadah kenaikan tersebut dilaksanakan dua kali yakni pada pagi hari tepatnya pukul 09.00 WIB hingga sekitar pukul 10.30 WIB, dan sore hari dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 18.30 WIB.
Lonceng gereja berdentang pelan mengiringi iringan paduan suara jemaat. Suasana di dalam gereja terasa begitu khidmat dan menyentuh hati. Lagu-lagu pujian mengisi udara, menghadirkan keteduhan di antara bangku-bangku kayu yang telah menjadi saksi banyak perayaan iman umat Kristiani.
Dibalik mimbar, Pendeta Boydo Rajiv E. D. Hutagalung menyampaikan khutbah yang mengajak jemaat merenungkan makna terdalam dari peristiwa kenaikan.
“Yesus diangkat ke surga karena itu adalah rumahnya, Yesus adalah bentuk dari firman Allah, yang mana berarti panggilan bagi umat percaya untuk meneruskan misi pelayanan Yesus di dunia,” tutur Pendeta Boydo dengan suara mantap.
Pendeta juga menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan anak Allah bukanlah anak secara biologis. Akan tetapi untuk memberikan contoh akan sikap anak yang baik dan benar, yaitu yang selalu patuh dan melaksanakan firman Tuhan.
Kenaikan Kristus bukanlah perpisahan, melainkan janji akan kehadiran-Nya dalam bentuk yang baru. Dia naik ke surga, tetapi Roh-Nya tinggal di hati kita, memampukan kita untuk hidup dalam kasih, pengharapan, dan keberanian di tengah dunia ini.
Di tengah percakapan hangat usai ibadah, Pendeta perlahan membuka pandangannya tentang makna kenaikan Isa Al-Masih. Dengan nada tenang dan tatapan yang teduh, beliau menyampaikan sebuah refleksi yang menghubungkan iman dengan keberagaman.
“Kenapa Yesus digambarkan naik begitu, karena dia kembali kepada kemuliannya, karena dia kembali kepada sorga, karena sorga kan digambarkan sebagai tempat yang tinggi, yang mulia. Itu simbolisasinya seperti itu, ya mungkin dalam bahasa lain ya walaupun definisinya tidak sama ada sedikit konsep yang mirip dengan peristiwa Isra’ Mi’raj, kan naik juga kan, tapi tentunya ceritanya narasinya berbeda kan, ada makna kemulian di situ di dalamnya,” tutur Pendeta Boydo kembali.
Keduanya merupakan perjalanan agung yang sama-sama menggambarkan hubungan manusia dengan Yang Ilahi, sebuah pengangkatan suci menuju hadirat Tuhan.
Pesan – pesan dari pendeta itu tampaknya menggema dalam hati banyak jemaat. Laras salah satu jemaat yang merupakan seorang mahasiswi dari Universitas Mercu Buana, mengungkapkan perasaannya dengan mata yang berbinar serta suara yang hangat.
“Saat merayakan kenaikan ini rasanya senang begitu, karena merupakan hari yang ditunggu-tunggu juga,” Ungkapnya dengan senyum diakhir.
Laras juga mengungkapkan bahwa kita tidak perlu merasa sendiri, sebab Tuhan tidak pernah meninggalkan kita sendirian, Tuhan selalu memihak dan berada di dekat kita, dan kita bisa mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara berdo’a.
Peringatan Kenaikan bukan sekadar mengenang peristiwa bersejarah, tetapi juga peneguhan akan janji keselamatan.
Setiap rumah ibadah menyulam makna Kenaikan dengan caranya masing-masing. Khusus di GPIB Marga Mulya sendiri, ekspresi iman itu menjelma dalam sebentuk salib kayu yang berdiri kokoh di depan altar, tampak sederhana, namun menyimpan makna yang mendalam. Kain putih disilangkan lembut di lengannya, melambai tenang seperti nafas surgawi yang turun menyapa bumi. Warna putih yang melambangkan kemurnian, kemuliaan, dan kemenangan, seolah mengisyaratkan bahwa Sang Juru selamat telah kembali ke pangkuan kekekalan. Tak ada kata-kata, hanya simbol yang berbicara, diam, namun menyentuh relung jiwa jemaat yang memandangnya dalam hening.
Namun, makna kenaikan tidak hanya hadir lewat simbol-simbol visual yang menyentuh mata dan hati. Ia juga hidup dalam tindakan nyata, salah satunya melalui persembahan. Sebuah ungkapan kasih melampaui rupa, menjelma menjadi bentuk kepedulian yang mengalir dari jemaat kepada sesama.

Lebih dari sekadar ritual, persembahan di gereja ini adalah wujud kasih yang nyata di tangan-tangan yang memberi bukan karena berlebih, tetapi karena ingin menjadi berkat. Dialirkan kepada mereka para janda, anak-anak yatim, dan saudara-saudara yang hidup dalam kekurangan. Sebagian lagi ditujukan bagi para rasul (pelayan-pelayan Tuhan) yang berjalan dari kota ke kota, menabur kebaikan dan menyalakan pengharapan di hati banyak orang. Mereka yang tanpa lelah mengajar, mendengar, dan memeluk luka-luka umat. Di tangan merekalah kasih itu diteruskan, menjangkau lebih jauh dari yang tampak di mata.
Persembahan menjadi jembatan antara iman dan tindakan, antara syukur dan kepedulian. Di balik jumlah yang tak selalu besar, terkandung cinta yang tak ternilai.
Di balik setiap perayaan liturgi, terselip harapan yang tak henti disemai. Ari Lumankun selaku Kepala GPIB Marga Mulya, dalam keteduhan suaranya juga turut menyampaikan harapannya terhadap GPIB kedepannya.
“Sebagai warga jemaat saya tidak muluk-muluk ya, yang penting bisa beribadah itu saja. Tapi kalau sebagai pegawai, ya saya juga menjiwai nilai-nilainya GPIB itu, kalau bisa lebih banyak terlibat di luar,” ujar Ari.
Dengan nada penuh kepedulian, Ari menyampaikan bahwa GPIB terus berupaya menghadirkan kasih yang nyata melalui berbagai program bantuan salah satunya adalah penyediaan air bersih ke daerah-daerah. Sebuah bentuk pelayanan yang tak menanyakan siapa dan dari iman apa, karena bagi mereka, kasih sejati mengalir melintasi batas agama dan keyakinan.

Hingga tibalah waktu malam untuk menjeput akhir pertemuan. Dari altar gereja hingga jalan-jalan pelayanan sosial, semangat kenaikan itu tak berhenti naik ke langit, melainkan turun ke bumi melalui kasih yang terus dibagikan. Sebab bagi mereka yang percaya, Kenaikan bukanlah akhir, melainkan awal dari panggilan untuk hidup dalam pengharapan dan membawa terang bagi sesama.
Reporter Siti Fatimah dan Qisthiyatun | Editor Adelia Mehra Fakhrina