Kalijaga.co — Tatkala cahaya mentari mengintip dari balik pegunungan, dedaunan berwarna keemasan indah menyinari kesibukan warga Kalurahan Wonolelo, Pleret, Bantul. Jalan-jalan mulai ditutup dan dialihkan di sekitar Sungai Sedang atau biasa disebut Sungai Pesing. Jika biasanya pagi hari jalan jalan desa terasa lenggang dan hanya diisi dengan warga setempat, hari itu berderet deret kendaraan menuju jalan utama. Kali ini lorong-lorong kampung ramai oleh tawa anak-anak, pemuda-pemudi tampil seperti di pertunjukan kolosal Jawa, dan para orang tua yang sibuk berdandan mengenakan kostum tradisional.
Hari itu adalah momentum istimewa karna Grebeg Syawal, tradisi tahunan yang menjadi momentum untuk bersilaturahmi warga Kalurahan Wonolelo serta ajang untuk melestarikan budaya Jawa.
Tradisi Grebeg Syawal di Wonolelo memang terbilang baru, namun sarat akan makna. Berawal dari tahun 2010, saat terjadi perpindahan balai desa dari Guyangan ke Purworejo. Kala itu, warga mengadakan kirab balai desa sebagai bentuk syukuran. Sejak saat itu, kirab berkembang menjadi Grebeg Syawal yang rutin dilaksanakan setiap minggu terakhir bulan Syawal, sekaligus menjadi ajang halal bihalal akbar seluruh warga kelurahan.
Tradisi Grebeg Syawal di Kalurahan Wonolelo bukan sekadar seremoni budaya, melainkan sebuah perjalanan spiritual dan sosial yang diwariskan sejak 2010. Bermula dari perpindahan balai desa dari Guyangan ke Purworjo, tradisi ini kemudian berkembang menjadi agenda tahunan yang dinanti-nantikan. “Dulu hanya kirab balai desa, sekarang jadi ajang halal bihalal sekelurahan. Ini tradisi yang menyatukan warga dari berbagai generasi,” ungkap Akhmad Furqon, Lurah Wonolelo pada 27 Mei lalu dengan penuh kebanggaan.
Lebih dari sekadar berkumpul, Grebeg Syawal adalah wujud nyata dari semangat nguri-uri budaya Jawi (melestarikan budaya Jawa), menjaga warisan leluhur agar tak lekang oleh zaman.
Grebeg Syawal dimulai dengan kirab gunungan hasil bumi. Warga berjalan mengelilingi desa dengan membawa gunungan berisi sayur mayur, buah-buahan, dan aneka hasil panen. Iringan gamelan mengalun lembut, menghidupkan suasana sakral sekaligus meriah.
Setelah kirab, acara berlanjut dengan pentas seni tradisional, mulai dari gejog lesung hingga tari-tarian rakyat. Tak jarang, gelak tawa pecah di tengah barisan, saat anak-anak kecil dengan polosnya menirukan langkah para penari atau saat para pemuda iseng menyapa penonton dengan guyonan khas Jawa yang mengundang senyum. Lalu, warga berkumpul di lapangan kalurahan untuk mengikuti doa bersama dan ikrar syawalan, memohon keberkahan dan memupuk rasa persatuan.
Puncak acara yang paling dinanti adalah rebutan hasil bumi dari gunungan. Begitu aba-aba diberikan, warga tumpah ruah berebut isi gunungan dengan penuh suka cita. Bukan semata mencari hasil bumi, namun lebih kepada mencari berkah. Tradisi ini diyakini membawa keberuntungan bagi siapa pun yang berhasil mendapatkan bagian dari gunungan.
“Bukan soal apa yang didapat, tapi rasa kebersamaan dan berkahnya itu yang penting, Baginya, tradisi ini menjadi pengingat agar masyarakat tak melupakan akar budayanya sendiri di tengah arus modernisasi,” kata Mbah Biran, seorang warga sepuh yang setiap tahun tak pernah absen mengikuti acara ini.
Tak berhenti di situ, pada hari berikutnya digelar pula kegiatan sholawat bersama agar semakin mempererat tali silaturahmi antar warga.
Tak hanya warga lokal, Grebeg Syawal Wonolelo juga menarik perhatian masyarakat dari luar kalurahan. Tahun lalu, sebanyak sepuluh mahasiswa asing dari berbagai negara turut serta dalam kirab, menyaksikan langsung kekayaan budaya Jawa yang sarat filosofi. Mereka belajar bahwa tradisi bukanlah sekadar masa lalu yang dipertontonkan, melainkan nafas hidup yang menyatukan manusia dengan alam, leluhur, dan sesamanya.
Nenek Semi, salah satu warga sepuh, menyampaikan harapannya agar Grebeg Syawalan terus dilestarikan. “Ini warisan leluhur. Harus tetap ada supaya anak cucu tahu adatnya sendiri,” ujarnya haru.
Di balik kemeriahan tradisi, Lurah Wonolelo, Akhmad Furqon menitipkan pesan penting kepada generasi muda. Ia berharap anak-anak muda Wonolelo bisa memanfaatkan peluang untuk menimba ilmu dan keterampilan, agar mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
“Jangan sampai anak muda terjerumus pada hal-hal yang membuang waktu. Manfaatkan masa muda untuk belajar, kuasai teknologi, karena pemuda adalah estafet masa depan. Jangan sia-siakan kesempatan,” tegasnya.
Grebeg Syawal Wonolelo bukan sekadar pesta rakyat. Ia adalah cerminan kearifan lokal yang hidup, menjadi tali pengikat generasi, sekaligus tameng agar budaya Jawa tetap tegak di tengah derasnya arus globalisasi. Grebeg Syawal Wonolelo menjadi bukti bahwa budaya Jawa tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman. Ia bukan sekadar perayaan, tapi juga media pendidikan karakter, ajang silaturahmi, dan sarana syiar kearifan lokal.
Dengan semangat nguri-uri budaya Jawi, warga Wonolelo mengajarkan kepada dunia bahwa tradisi adalah jati diri yang layak dirawat, bukan dilupakan.
Reporter Khoirunnida | Editor Najwa Azzahra