Kalijaga.co – Jaringan Masyarakat Peduli Iklim (JAMPIKLIM) Yogyakarta menggelar Rembug Perempuan yang dihadiri oleh para Direktur Bank Sampah di Kota Yogyakarta. Diskusi kali ini bertajuk “Zero Waste, Zero Emission untuk Yogyakarta benar-benar Nyaman” pada kamis, 08/05. Bank sampah yang berdiri dimasing-masing wilayah warga seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah, seperti mendapatkan pendanaan yang layak untuk kelancaran kegiatan dan kesejahteraan pengurus Bank Sampah. Namun, hingga kini kelompok paling terdampak yakni perempuan karena masih menjadi masalah.
Sana Ulaili selaku pemandu diskusi menuturkan kondisi Bank Sampah warga utamanya di wilayah kota Yogyakarta terbilang belum sejahtera. Pasalnya mereka harus mati-matian mengelola secara mandiri. Mulai dari tenaga, pikiran, pendanaan, dan mengambil waktu istirahat.
“Apalagi ibu rumah tangga, waktu rehat diambil untuk Bank Sampah. Mengurus masalah dimana negara belum mampu mengatasi persoalan,” tutur Sana.
Ida Ariastuti selaku Direktur Bank Sampah Surolaras, menuturkan kesejahteraan pengurus Bank Sampah perlu menjadi perhatian. Penyetoran sampah dilakukan satu minggu sekali setiap hari Senin. Tiap penimbangan mulai dari pagi pukul 10.00 hingga sore hari, untuk biaya konsumsi di ambil dari kas jikalau ada, tetapi jika tidak ada maka konsumsinya mandiri.
“Disini kan ada teman-teman, minimal ada konsumsi minum atau makan, kasihan karena sudah melewati makan siang. Mulai jam 10 cepet-cepetnya selesai jam 2 kadang pernah sampek magrib,” tutur Ida.
Selain itu, perekrutan kader juga masih sulit. Kegiatan yang dilakukan sukarela ini terkadang bukannya menguntungkan pekerja malah sebaliknya. Maka, selain kegiatan penimbangan sampah juga membuka training pelatihan terkait edukasi pengelolaan sampah. Kegiatan ini berbayar mulai edukasi juga fasilitas makan, minum dan hasil karya untuk peserta.
“Ada timnya sendiri. hasilnya ini sebagai penunjang kesejahteraan pengurus,” imbuh Ida.
Tri Noviana, perwakilan dari JAMPIKLIM memaparkan pengelolaan sampah tidak berhenti hanya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tidak selesai disitu tapi bagaimana upaya pemerintah untuk menyelesaikannya, misalkan menggunakan ekskalator atau yang lain. Sekarang bukan lagi perubahan iklim melainkan krisis iklim, krisis pangan, dan air bersih. Maka proses diskusi kali ini menjadi salah satu perubahan nyata dalam upaya mitigasi dan krisis iklim.
“Hasil diskusi kali ini tidak berhenti disini, besar harapannya untuk dibawa di pertemuan dengan skala lebih besar yakni pemimpin mendengar,” harap Novi.
Ida berharap anggaran lomba bank sampah lebih baik di bagi secara merata. Jumlah hadiah besar hanya dinikmati oleh 1-3 bank sampah, sedangkan bank sampah yang lainnya kekurangan pendanaan. Setiap Bank Sampah juga dimintai data oleh pemerintah tapi mengapa tidak ada memfasilitasi kegiatan berikutnya.
“Padahal aktivitas bank sampah semua sama. Mending sedikit-sedikit tapi dapat pendanaan semua. Kalau kegiatan pertemuan-pertemuan itu yang menikmati cuman ketua, pengurus lain ngga,” ujar Ida.
Yuliana Rini dari Komunitas Sanggar Pawuhan memaparkan ketika desakan telah disampaikan, jangan pernah merasa lelah dan terus beraktivitas. Aktivitas Bank Sampah ini penting untuk dipublikasikan baik lewat media sosial atau website. Dengan demikian apa yang dilakukan semacam gerakan kecil-kecil tapi masif.
“Karena dengan semangat yang sama, maka gerakan akan terkoneksi bersama,” ujar Rini.
Oleh demikian para perempuan di Kota Yogyakarta menyatakan sikap mendesak pemerintah kota Yogyakarta agar memberikan insentif atau dana yang layak untuk mendukung pengelolaan Bank Sampah yang mayoritas anggotanya adalah perempuan pra lansia dan lansia.
Reporter : Nanik Rahmawati I Editor : Tsabita Sirly Kamaliya