Kalijaga.co – Indonesia dikenal akan moderasi beragama di tengah keberagaman agama yang ada, hal ini tentunya menunjukkan adaya kesetaraan antar kelompok agama mayoritas dan minoritas. Namun kenyataannya pada forum simposium GUSDURian masih banyak isu terkait regulasi diskriminasi kelompok minoritas meliputi dibatasinya pendirian rumah ibadah, penolakan pemakaman beda keyakinan hingga hak fasilitas yang semestinya didapat.
Meski beberapa komunitas sudah bergerak, namun dirasa masih kurang untuk menuntut hak dan keadilan sebagaimana selayaknya, bahkan koalisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) saja belum bisa membantu banyak kesetaraan hak kelompok mayoritas dan minoritas, hal ini menjadi pertanyaan besar bagi kelompok-kelompok yang dirugikan.
Dian Jenni Cahyawati, selaku ketua Puanhayati menyampaikan bahwa usaha-usaha komunitas marginal atas ketidakadilannya terhadap kaum minoritas.
“Masih perlu banyaknya regulasi yang kemudian berakhir memberikan hak-hak lebih baik, yang lebih berperi kemanusiaan bagi kawan-kawan kelompok minoritas dalam latar belakang apapun,” terang Dian pada Kamis (14/11/2024).
Tak hanya perubahan regulasi, juga perlunya diiringi pembelajaran bersama tentang mindset masyarakat terhadap kelompok minoritas dan mengupayakan mengangkat kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warganya tanpa melihat latar belakang mereka.
Dian Jenni juga mengatakan bahwa perlunya memperbanyak atau membangun perjumpaan kelompok-kelompok mayoritas dan minoritas, membangun ruang-ruang masyarakat independent (social society), serta kampanye publik bisa dilaksanakan dengan menggunakan kemampuan media.
Hal ini bertujuan agar dapat saling sharing, memahami kebutuhan masing-masing, membangun forum toleransi sekaligus mengajak orang-orang yang peduli untuk bersuara. Maka perlu kesadaran diiringi dengan tindakan.
Imam Malik, salah satu Kyai dari Jawa Timur berpendapat yang sama bahwa isu KBB masih sedikit ada nafas segar mengenai moderasi beragama namun hal ini juga menjadi cukup sangat penting ketika keputusan KBB dan para mentri tetap mewajibkan syarat berdirinya rumah ibadah sebanyak 60-90 umat.
“Pemerintah harus kembali mengkaji ulang tentang aturan-aturan yang selama ini menjadi pijakan bagi kelompok-kelompok intoleran dalam menolak rumah ibadah atau sejenisnya,” ujar Malik.
Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi segenap pemuka agama dalam menyampaikan berapa pentingnya perilaku agama yang menghadirkan rasa aman dan nyaman bagi semua orang, termasuk Gen Z memiliki peran besar yang harus bisa memposisikan dirinya dengan isu keberagaman ini. Sehingga kedepannya mereka tidak akan mengalami diskriminasi di kemudian hari.
“Apapun agamanya kita tidak tau bagaimana perkembangan di sesi yang akan datang,” tambah Malik.
Reporter : Adelia Mehra Fakhrina | Editor : Najwa Azzahra