Kalijaga.co- Peran ulama perempuan di Indonesia terus mengalami transformasi memperjuangkan kesetaraan dalam ruang agama dan kepemimpinan sosial. Namun, perjuangan ini tidak lepas dari tantangan baik internal maupun eksternal.
Iklilah Muzayyanah DF, dosen Universitas Indonesia yang juga tergabung dalam KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) menyoroti bahwa ulama perempuan sering kali ragu untuk mengenalkan diri mereka sebagai ulama. Hal ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang membentuk terminologi ulama dengan laki-laki.
“Perempuan dengan kapasitas keilmuan agama yang tinggi meski masih merasa ragu menyebut dirinya ulama perempuan. Ini karena lingkungan yang ada belum sepenuhnya mendukung mereka,” ujarnya pada diskusi Simposium Gusdurian hari ke-2, Jumat (15/11/24).
Menurut Iklilah, langkah awal yang perlu diambil adalah membangun kepercayaan diri perempuan.
“Mereka harus yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk kepemimpinan,” jelasnya.
Selain itu, penting juga menciptakan ekosistem yang mendukung misi mereka. Misalnya, dalam isu-isu yang berkaitan dengan perempuan, perlu ada rujukan kepada ulama perempuan, bukan hanya kepada laki-laki. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa panggung untuk ulama perempuan harus lebih disiapkan.
“kalau panggungnya nggak disiapin mau dia sekeren apapun itu nggak akan dilihat dunia,” katanya.
Akan tetapi,gerakan ulama perempuan juga tidak lepas dari tantangan besar. Sebagian ulama laki-laki pasti akan melihat ini seakan-akan melawan teologi, bertentangan dengan nilai-nilai tafsir agama yang dianut dan tidak sesuai dengan ajaran yang sudah lama berlaku dimasyarakat. Selain itu, tantangan juga datang dari pihak perempuan. Banyak perempuan yang masih merasa segan untuk maju karena alasan tawadhu atau menghormati tokoh ulama laki-laki.
“Kehadiran ulama perempuan tidak bisa ditawar. Mereka diperlukan untuk menyuarakan persoalan spesifik perempuan yang tidak bisa mewakili laki-laki. Bagaimana mungkin kita bicara soal haid kepada seorang kyai?” jelas Iklilah.
Indonesia sebagai Contoh Inklusivitas
Indonesia sebagai salah satu negara dnegan mayoritas penduduknya islam menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam memberikan ruang bagi ulama perempuan. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menjadi wadah penting untuk membangun gerakan inklusif ini.
“Banyak aktivis dari negara lain datang ke KUPI untuk belajar bagaimana Indonesia bisa menginisiasi gerakan ini. Hal ini membuktikan bahwa secara sosial budaya, Indonesia memiliki DNA inklusif,” jelasnya.
Pendekatan yang dilakukan oleh gerakan perempuan di Indonesia dinilai strategis. Mereka bergerak perlahan namun efektif untuk menciptakan kesetaraan, bukan untuk menggantikan dominasi laki-laki.
Salah satu isu utama yang di advokasi KUPI adalah menghapus pandangan bahwa ulama perempuan hanya bisa berdakwah kepada sesama perempuan.
“Pandangan ini lahir dari tafsir agama yang membatasi ruang perempuan. Kini, ulama perempuan KUPI sudah sering diundang untuk berbicara kepada penonton campuran, laki-laki dan perempuan,” kata Iklilah.
Dalam forum yang sama, Fauzan Al Anshari, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk menghindari anggapan bahwa ulama perempuan adalah lawan dari ulama laki-laki.
“Gerakan ini bertujuan memajukan bangsa dan agama, bukan menciptakan persaingan. Kita sudah melihat contoh ulama perempuan seperti Ustazah Halimah Alaydrus yang dapat berdakwah secara inklusif,” katanya.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan, ulama perempuan Indonesia kini perlahan tapi pasti melangkah dari ruang-ruang terbatas menuju panggung universal. Gerakan ini menjadi bukti bahwa kesetaraan dalam kepemimpinan agama adalah keniscayaan.
Reporter : Agna Niha Azzahra | Editor : Najwa Azzahra