Setiap tiba bulan September, Indonesia diingatkan oleh tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang banyak terjadi di bulan September, sehingga bulan ini memiliki julukan “September Hitam”. Eko Prasetyo sebagai pendiri Social Movement Institute dan seorang aktivis HAM mengklaim bahwa tragedi-tragedi pelanggaran HAM di bulan ini merupakan catatan hitam dalam penegakan HAM di Indonesia.
“Karena semua kejahatan HAM di bulan September berkaitan dengan keputusan politik negara, cara aparat negara memperlakukan rakyatnya dan betapa mudahnya wewenang lembaga negara diselewengkan,” terang Eko saat diwawancarai lewat WhatsApp pada (17/09/2024).
Asfinawati, yang akrab disapa dengan julukan Asfin, aktivis sekaligus direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tahun 2017 – 2021 juga berpendapat bahwa pada bulan September ini banyak jejak pelanggaran HAM berat yang tidak pernah dibongkar, Asfin mengambil contoh Tragedi Gerakan 30 September (G30S).
“September memiliki sejarah pelanggaran HAM sejak ’65. Dan peristiwa 65 punya banyak jejak kepada pelanggaran HAM selanjutnya. Jejak ini adalah tidak pernah dibongkarnya struktur pelanggaran HAM tersebut termasuk aktor-aktornya,” jelas Asfin saat diwawancarai lewat WhatsApp pada (16/09/2024)
Muhammad Islah Satrio dari KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Divisi Riset dan Dokumentasi juga menjelaskan alasan penyebutan bulan September ini dengan “September Hitam” di kalangan para pegiat HAM, ialah karena adanya berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di bulan September, baik yang terjadi di masa lalu, maupun masa kini.
“Makanya kita sebut sebagai September Hitam karena kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran HAM itu terjadi salah satunya di bulan September dan cukup masif yang dilakukan oleh negara secara langsung. Di mana negara secara aktif melakukan tindakan kekerasan terhadap para warga sipil yang terjadi di bulan September,” ungkap Satrio saat diwawancarai online pada (17/09/2024)
Mengutip informasi dari Kompas.com, September Hitam mencakup beberapa tragedi pelanggaran HAM berat yang dimulai dari peristiwa kelam G30S PKI yang terjadi pada tahun 1965, tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984, tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, pembunuhan Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM pada 7 September 2004, pembunuhan Salim Kancil pada 26 September 2015, penembakan pendeta Yeremia di Papua pada 19 September 2020, peristiwa reformasi dikorupsi pada 24 September 2019, hingga Rempang 7 September 2023.
Eko juga menjelaskan bahwa dampak dari tragedi September Hitam ini berimbas kepada upaya rekonsiliasi dan juga transparansi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan. Para korban yang semakin lama terabaikan dalam mendapatkan keadilan akan semakin kehilangan harapan.
“Kalau setiap kejahatan HAM dibiarkan terjadi bahkan kejahatan bisa terulang kembali karena tidak ada sanksi atas kejahatan HAM sebelumnya. Kita malah berada dalam lingkaran setan kejahatan HAM yang siklusnya terus berulang,” tegas Eko.
Satrio juga memaparkan bahwa beberapa pelaku pelanggaran HAM bahkan divonis bebas dan tidak mendapatkan ganjaran hukum di pengadilan oleh negara lewat Presiden Joko Widodo.
“Jokowi tidak menyebutkan empat kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diadili itu ada Abepura, kasus Timor-Timur, ada Tanjung Priok, dan Paniai. Dalam empat kasus itu semua pelaku di persidangan itu divonis bebas, seluruh korban di dalam kasus pelanggaran HAM berat tersebut tidak mendapatkan reparasi yang sesuai,” ungkap Satrio.
“Dan juga Jokowi tidak menyebutkan, jika tidak menyebutkan maka Jokowi tidak mengakui bahwa pelanggaran HAM itu ada padahal pelanggaran HAM yang berat dari empat kasus itu memang ada dan itu harus diakui secara legitimate oleh negara lewat presiden. Tapi pada akhirnya Jokowi tidak menyebutkan empat kasus yang sudah diadili di pengadilan,” jelasnya.
Asfin juga berpendapat terkait para pelaku pelanggaran HAM yang tidak diadili tersebut. Ia beranggapan bahwa adanya impunitas dan tindakan tidak tegas oleh negara menyebabkan para pelaku pelanggaran HAM ini masih terus berkeliaran dan dapat terus mengulangi perbuatannya.
Tentang para pelaku pelanggaran HAM ini, Eko juga memberikan tanggapan bahwa pemerintah seharusnya memberi pengadilan untuk para pelaku, menurut Eko, tanpa proses peradilan HAM, kasus ini hanya akan terkubur hingga akan menimbulkan bencana di masa depan.
“Sekarang ini ada berbagai upaya politik untuk menghindari tanggung jawab dengan memberikan kompensasi pada korban. Di mana hal itu malah jadi bumerang karena pemerintah dianggap melindungi pelaku. Sulit bagi pemerintah jika tidak punya rencana dalam penanganan persoalan HAM sebagaimana yang sudah disediakan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam soal HAM pemerintah malah tidak patuh pada aturan yang dibuatnya sendiri,” kritik Eko.
Banyak Aktivis HAM, keluarga, hingga kerabat dari para korban pelanggaran HAM berat ini terus menuntut pertanggungjawaban negara dalam menangani kasus-kasus yang bertahun-tahun. Hal ini tergambar dari rutinitas Aksi Kamisan yang telah berdiri selama 17 tahun dan telah berada lebih dari 50 kota di Indonesia. Saat ditanya terkait upaya apa yang telah dilakukan oleh para aktivis HAM, Eko mengaku bahwa selama ini selalu menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dengan rutin mengadakan Aksi Kamisan.
“Sebagai sebuah gerakan protes ini aksi yang bertahan lama dan memberikan ingatan permanen pada publik tentang kejahatan HAM yang terjadi di negeri ini,” jelas Eko.
Sependapat dengan Eko, Asfin juga menyebut bahwa Aksi Kamisan adalah kegiatan konsisten yang dilakukan oleh para keluarga dan juga korban pelanggaran HAM dalam menuntut pertanggungjawaban negara untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
“Kamisan tentu salah satu upaya konsisten korban, seperti yang dilakukan Bu Sumarsih (seorang ibu dari korban Tragedi Semanggi I) di PTUN kepada jaksa agung,” imbuh Asfin.
Selain Aksi Kamisan, Satrio juga menjelaskan beberapa upaya penanganan yang selama ini telah dilakukan oleh KontraS untuk kasus pelanggaran HAM ini. Ia menerangkan bahwa hingga saat ini masih terus berkomunikasi dengan para korban dan melakukan pendampingan untuk mendorong hak mereka.
“Kami mendampingi korban, ada yang juga kami mendorong Komnas HAM untuk menetapkan beberapa kasus, sebagai kasus pelanggaran HAM berat,” kata Satrio.
Satrio meluruskan pula terkait upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini harus secara yudisial maupun non yudisial. Penyelesaian secara yudisial adalah penyelesaian secara hukum harus sesuai dengan proses-proses mekanisme hukum. Sedangkan penyelesaian secara non yudisial adalah bantuan sosial yang diberikan oleh negara kepada korban berupa rehabilitasi dan bantuan-bantuan lainnya di luar jalur hukum.
“Kita mendorong bahwa negara harus melakukan penyelesaian secara yudisial kepada korban dan itu harus berdampingan nggak ada diprioritaskan satu atau satunya saja. Karena korban juga butuh adanya pengungkapan fakta, korban juga butuh adanya pengungkapan keadilan di muka hukum dan itu harus sesuai dengan proses-proses mekanisme hukum yang ada,” terang Satrio
“Jadi yang kami kritik adalah bahwa yudisial dan non yudisial itu harus berjalan beriringan dan bebarengan. Negara harus memprioritaskan pendekatan tersebut,” tegasnya.
Hal ini Satrio kritik karena pada tahun 2022 dan tahun 2023 negara membuat Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang di mana negara memprioritaskan untuk melakukan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM lewat jalur non yudisial. Jalur non yudisial itu jalur non hukum, lewat bantuan bantuan sosial rehabilitasi tanpa proses pendekatan hukum.
“Jadi penyelesaian secara yudisial dan non-yudisial harus beriringan tidak memprioritaskan salah satunya saja tapi harus berjalan berdampingan. Negara juga harus punya andil dalam melakukan prioritas dari penyelesaian kasus secara yudisial,” lanjutnya.
Asfin menjelaskan beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh para aktivis dan juga para pegiat HAM di Indonesia dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masih perlu adanya penyadaran kepada khalayak luas agar mendapatkan perhatian lebih.
“Perlu penyadaran dengan berbagai cara termasuk budaya pop, misal film & isu yg dekat dengan generasi muda. Exposure juga penting, misal bertemu penyintas atau melihat situs-situs pelanggaran HAM,” jelas Asfin.
Selain upaya-upaya pendekatan, Asfin juga optimis melihat tingkat kesadaran generasi muda dalam gerakan jauh lebih baik daripada sebelumnya, dan perlu terus diperluas agar dapat sampai pada setiap lapisan masyarakat.
“Informasi begitu banyak dan saya menyaksikan teman-teman muda dari berbagai tingkat sosial ada saja yang tergerak dalam isu HAM ini. Pesan saya, jangan pernah berhenti karena jika kita berhenti pasti kita kalah. Sejarah mencatat perubahan pasti terjadi, tinggal cepat atau lambat,” imbuh Asfin.
Selain banyaknya informasi pada saat ini, yang membuat perluasan penyadaran isu HAM ini menjadi lebih mudah, Eko juga menyinggung tentang betapa pentingnya peran anak muda untuk menjadi penerus aktivis-aktivis HAM yang kini mulai banyak kehilangan sosok-sosok pemberani yang mau menyuarakan suara-suara para korban.
“Pelajaran pentingnya adalah makin urgennya untuk menjadi aktivis HAM. Berbagai pelanggaran HAM yang terjadi sekarang ini memerlukan para aktivis yang dapat membela, melindungi dan menuntut hak korban. Perjuangan HAM kehilangan banyak aktivis yang berani menentang kesewenang-wenangan negara bahkan berani untuk mengoreksi langkah negara,” kata Eko.
“Berani membela perkara kemanusiaan, peduli atas soal-soal kemanusiaan dan akan selalu punya pandangan progresif tentang nilai-nilai kemanusiaan,” pungkasnya.
Reporter : Olivia Subandi I Editor : Tsabita Sirly Kamaliya