Keresahan Terhadap FEMISIDA: Akibat Ketidakserasian Peran Gender

0 0
Read Time:3 Minute, 7 Second

Kalijaga.co- Panggilan Solidaritas “Nyala Untuk Nia” dilaksanakan pada Minggu (15/9/2024). Aksi tersebut bentuk solidaritas para aktivis dan pembela hak perempuan dalam membela Nia, seorang perempuan yang menjadi korban atas kekejaman pelaku femisida (kejahatan pembunuhan oleh laki-laki terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan). Juga menjadi sarana untuk menyuarakan keresahan perempuan atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan respon aparatur negara dalam menanganinya.

Dalam orasinya, Anindya Vivi, seorang aktivis Feminist Jakarta mengatakan, kasus femisida kebanyakan dialami dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang selalu disepelekan dalam masyarakat umum. Mereka yang melapor (korban kasus KDRT) ujung-ujungnya malah disuruh rujuk (oleh aparatur negara), karena terlalu menganggap sepele. Maka dari itu para korban cenderung mengalami reviktimisasi (menjadi korban kembali) dan akan selalu terulang tindak kekerasan terhadap korban dan keluarga.

“Sebetulnya kan banyak banget ya kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang tidak terungkap. Jadi memang basisnya (pelaku feminisida) gak suka terhadap identitas perempuan. Makanya itu jadi sumber masalah yang terus menerus. Bahwa kekuatan atau nilai-nilai patriarki, masih sangat kental di Indonesia. Aku sangat berharap ada pembelajaran tentang isu-isu gender, isu tubuh dan pendidikan kesehatan reproduksi di masyarakat secara luas dan merata. Paling tidak kita bisa meminimalisir kekerasan terhadap perempuan, kalau perlu dihilangkan.” ucap Jessica Ayudya Lesmana, peserta Panggilan Solidaritas “Nyala Untuk Nia”.

Ia juga mengatakan pemerintah tidak sigap menanggapi masalah femisida terutama terhadap korban dan keluarga korban.

“Saya merasa ketimpangan, secara seksualitas itu kan ada jantan dan betina. Nah yang laki-laki (menganggap) boleh berkuasa atas perempuan, malah dibenarkan. Termasuk yang kurasakan dirumah. Harusnya dirumah, bapak gak anti terhadap pekerjaan domestik. Bukan malah menganggap itu sebagai tugas perempuan. Jadi peran bapak itu hilang karena itu (kekeliruan peran gender). Akhirnya jadi merembet kemana-mana, laki-laki jadi gak tau penempatan diri dalam menghadapi perempuan. Aku merasa juga pemahaman terhadap gender masih sering keliru.” ucap Ketut Telik Satya, anggota Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Yogyakarta.

Ketut menjelaskan bahwa realisasi (gender) tidak seimbang, karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan dinomor duakan. Tidak masalah perempuan lebih maskulin dan sebaliknya. Selagi berjalan dengan seirama, tidak perlu dipaksakan. Karena semua orang tetap campuran, mempunyai kedua sisi (feminin dan maskulin) entah kadarnya berapa. Tidak harus yang berkelamin laki-laki maskulinnya lebih tinggi.

Lebih jelasnya, dalam orasi yang disampaikan oleh para aktivis feminis dan pejuang hak-hak perempuan. Mereka adalah manusia-manusia yang merasakan kemarahan, kekecewaan dan keresahan atas sikap pemerintah. Sebagai yang mengatur negara, pemerintah tidak seharusnya menyepelekan, menganggap tidak serius atas kasus Kekerasan Berbasis Gender Seksual (KBGS) yang korbannya kebanyakan dari anak-anak, remaja dan perempuan. Keresahan yang disampaikan merupakan bentuk protes mereka terhadap aparatur negara, lembaga khusus yang menangani masalah perempuan dan anak, atas becusan mereka dalam menangani femisida.

Seperti yang disampaikan oleh Kalis Mardiasih, moderator Panggilan Solidaritas “Nyala untuk Nia” dalam wawancaranya.

“Ada banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk puncak kejahatan tertinggi perempuan yaitu femisida, tetapi sengaja tidak dilakukan oleh pemerintah dan juga pihak-pihak yang memiliki kuasa dan kapasitas dalam kasus tersebut. misalnya pemberian pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM), pendidikan kesetaraan gender, penyediaan ruang aman untuk korban kekerasan atau bahkan sistem hukum untuk penangan korban kekerasan. Kemudian yang membuat sangat sedih adalah kenapa hal-hal yang bisa dilakukan dan berbiaya murah (hanya butuh keberpihakan terhadap korban) tidak dilakukan.”

Keresahan yang timbul dan diutarakan dalam kegiatan Panggilan Solidaritas “Nyala untuk Nia”, membuktikan masih banyak kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan yang harus dicabut keakar-akarnya. Perempuan semakin dijadikan objek oleh laki-laki dalam hal apapun. Perempuan tidak diizinkan untuk sekedar merasa aman, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Perempuan dibekap dengan norma, adat, dan aturan yang merugikan perempuan. Tidak ada keadilan terhadap perempuan.

#NyalaUntukNia#AkhiriFemisida#KejahatanPembunuhanPerempuan

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *