Nasib Pegawai Muslim di Gerai F&B Non-Halal: Dilema Pekerjaan dan Kepercayaan

0 0
Read Time:8 Minute, 3 Second

F&B (Food & Beverage) adalah sektor industri yang terus mengalami perkembangan di Indonesia. Saat ini, gerai F&B telah menjamur di berbagai sudut tempat. Dilansir dari data Badan Pusat Statistika (BPS), terdapat lebih dari 430.000 gerai F&B di Indonesia yang mempekerjakan sekitar 3,5 juta pegawai.

Namun, di balik kilauan kemajuan industri ini, terdapat kisah-kisah yang menarik seperti perjuangan owner membangun restorannya, restoran dengan menu otentiknya, dan pegawai dengan kelus kesahnya.

Salah satu cerita yang jarang terekspos adalah nasib pegawai muslim yang bekerja di gerai-gerai non-halal. Pada kenyataanya, banyak di antara mereka yang menghadapi berbagai tantangan dan dilema antara pekerjaan dan kepercayaan.

Bagaimana mereka menjalani hari-hari mereka di lingkungan kerja yang tidak selalu sejalan dengan prinsip agama mereka? Apa saja keluh kesah yang mereka rasakan?

Kisah ini datang dari pemuda bernama Bagus Ahmad Nugraha. Iamerupakan orang Jambi yang merantau ke Yogyakarta. Kini ia bekerja di restoran ramen khas Jepang yang cukup ternama di Indonesia, namun belum mendapatkan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“1,5 tahun di sana, tiap harinya gak bakalan lepas dari olahan daging babi. Tekanan batin tuh terasa terus selama bekerja. Tapi mau gimana lagi, Saya berada di posisi yang penting bisa dapet cuan,” ungkap Bagus kepada Kalijaga.Co pada Sabtu (8/6/2024).

Banting Setir ke F&B

Pada tahun 2018, Bagus lulus dari UIN Sulthan Thaha Saifuddin setelah 4,5 tahun menimba ilmu di jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Dengan modal gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan), Bagus langsung mencoba bekerja di pendidikan.

Namun setelah 2 tahun menjadi guru honorer, Bagus memutuskan untuk berhenti karena alasan gaji.

“Gaji guru honorer kan gak seberapa, belum cukup menutupi kebutuhanku, ditambah aku punya adik yang mau masuk kuliah,” ujarnya.

Seperti ketiban durian jatuh, pada saat bersamaan, Bagus mendapatkan tawaran kontrak 2 tahun untuk bekerja sementara di Pemda bidang pertanahan yang sedang mengalami krisis tenaga kerja karena covid-19. Ia tak pikir panjang untuk menerima pekerjaan itu.

Sambil bekerja di Pemda, Bagus juga mencoba peruntungan dengan mengikuti ujian masuk PNS. Namun, takdir berkata lain. 2 kali mencoba, 2 kali pula ia gagal.

“Setelah 2 kali gagal PNS, kontrak juga habis. Saya coba kerja serabutan aja. Dari mulai ngojek, sampe pernah jadi tukang kuli bangunan,” kata Bagus.

Di usia yang sudah 27 tahun, Bagus mulai memikirkan nasib kedepannya. Ia harus mempunyai pekerjaan tetap yang bisa berlangsung lama. Sebagai lulusan di bidang pendidikan, Bagus justru enggan untuk kembali menjadi guru honorer, karena gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarga.

Pada akhirnya Bagus ditawari oleh temannya untuk bekerja di F&B, sebuah perusahaan yang terlibat dalam produksi, pengolahan, distribusi, dan penjualan makanan, salah satunya mie ramen.

“Dipikir-pikir tuh, saya gak punya banyak keahlian dan gak tau passion saya itu dimana. Akhirnya beraniin diri buat banting setir ke F&B, dengan modal suka masak sendiri di kosan,” ujarnya.

Bergelut Dengan Barang Haram

Saat pertama kali Bagus memutuskan untuk menerima tawaran dari temannya, sebenarnya ia sudah mengetahui latar belakang gerai ramen tersebut. Pria 27 tahun ini akan bekerja di restoran non-halal yang menyajikan ramen dengan olahan babi.

Meski demikian, saat masa training, Bagus tetap mengalami culture shock karena benar-benar harus bergulat dengan barang-barang non-halal setiap harinya. Bekerja di bagian produksi, Bagus harus menyibukkan diri dengan potongan-potongan daging babi dan botol alkohol (sake).

Terlibat dengan barang najis, Bagus harus menyiapkan perlengkapan tambahan untuk di bawa setiap kali bekerja.

“Yaudah kalau dari tempat asrama itu aku udah pasti bawa sarung, bawa baju ganti, terus pasti bawa kantung kresek. Jadi kan modelnya, masuk kamar mandi, baju yang bekas babi aku taru di kresek, ntar aku gantung di mana,” ujarnya.

Bagus merasa kesulitan dengan kebiasaan tambahan ini. Ia harus bersih-bersih badan dan pakaian selepas bekerja, bahkan setiap kali istirahat, karena harus melaksanakan shalat 5 waktu.

“Setiap hari saya bawa kantung kresek yang isinya tanah gitu. Karena ngilangin najis babi kan gak cukup pake air aja, toh. Ini yang bikin tambah repot,” terangnya.

Apalagi sekarang ia mendapatkan perubahan posisi menjadi bagian kitchen.

“Kalo sebelumnya cuman nyiapin barang mentahannya aja, sekarang malah merasakan langsung gimana ngolah babi dan alkohol itu, Jadi bakal bergelut dengan barang haram setiap harinya,” ujarnya.

Bagus juga menjelaskan restoran tempatnya bekerja itu termasuk gerai yang mencantumkan No Pork No Lard, dan ini belum bisa dianggap halal.

Yang pertama datang dari kuahnya. Kuahnya itu dari tonkutsu, biasanya berasal dari tulang babi yang direbus selama berjam-jam. Ada juga miso, ini tidak semuanya haram, tapi dari Jepangnya memang banyak yang pakai Alkohol.

“Terus masalah telurrnya. Tau gk telur ramen kenapa warnanya cokelat? Itu tuh karena direndem sama shoyu yang mengandung alkohol. Topping yang dagingnya itu juga, biasanya dimarinasi dengan arak masak, angciu, sake, sama mirin,” terang Bagus.

Saus-saus yang digunakan juga dicampur dengan alkohol. Semua masakan yang dicampurkan dengan alkohol akan direbus sampai kadar alkoholnya berkurang atau bahkan hilang.

“Kalo memang kegunaan alkohol itu untuk dihilangkan, yah terus ngapain pakai alkohol, kan gitu,” pikirnya. “Apa bisa barang yang udah mengandung alkohol itu kita rebus sampe, yang katanya kadar alkoholnya itu hilang. Tapi nyatanya, baunya tetap ada, meskipun samar,” tambahnya.

Bagus menambahkan, dari segi alatnya sudah tercampur semua. Alat yang dipakai untuk mengolah babi, digunakan juga untuk motong-motong ayam. Tempat rebusan juga tidak ada pemisah. Bahkan piring, mangkok, sendok, dan lainnya bercapur menjadi satu, dan dicuci ala kadarnya saja.

Setelah hampir satu tahun menjadi pegawai di restoran milik orang jepang ini, Bagus mendapatkan surat perpindahan tugas ke Yogyakarta. Ia bekerja di cabang restoran yang baru saja launching di dua tempat, yaitu Ambarrukmo Plaza dan Pakuwon Mall pada bulan ramadhan lalu.

“Saya kira cabang Jogja ini akan berbeda, karena tidak ada daging babi dalam menunya. Tapi ternyata sama aja. Karena semua bahan itu yah dikirim dari pusatnya di Surabaya,” ujar Bagus.

Sulitnya Mencari Waktu Untuk Sholat

Problem lain yang dihadapi bagus di F&B adalah sulitnya mencari waktu sholat. Sebagai seorang muslim, ia harus tetap menjalankan kewajiban shalat 5 waktu ditengah kesibukannya bekerja.

“Kalau kita minta waktu shalat tuh kadang susah. Apalagi pas lagi rame, sudah pasti gak bisa,” keluh Bagus.

Ia juga mengaku setidaknya harus meninggalkan shalat jumat 2 kali dalam sebulan.

“Apalagi jum’atan itu rawan tuh. Kalau udah masuk pagi dapet istirahatnya agak siang, gak ada yang nge-backing, yaudah kita kepaksa gak bisa shalat jumat,” imbuhnya.

Selain waktu dan tingkat keramaian, emosional rekan kerja juga menjadi pertimbangan Bagus meninggalkan posisinya untuk shalat.

“Kalau temen banyak yang gak suka shalat, mohon maaf, enaknya kita bisa kapan aja izin, kalau mereka enak loh yah. Sisi lainnya kadang mereka ada kayak rasis sendiri sama kita yang suka shalat,” ungkap Bagus.

Bagus menyarankan untuk tidak memaksakan diri shalat di awal waktu. Cari waktu yang lenggang dan ada teman yang siap mem-back up kerjaan yang kita tinggalkan, barulah minta izin.

“Tapi kita juga harus tanggung jawab, jangan lama-lama. 10 menit cukup buat shalat, langsung balik lagi ke restoran,” ujarnya.

Dilema Antara Tuntutan Pekerjaan Atau Tuntunan Kepercayaan

“Tapi lama-kelamaan itu tekanan batin,” ucap Bagus dengan wajah yang sedikit muram.

Di balik segala usaha dan adaptasi yang telah dilakukan, Bagus terus menerus menghadapi dilema yang mengahantui pikirannya. Bagaimana ia bisa memastikan bahwa rezeki yang diperoleh adalah halal ketika ia bekerja di gerai non-halal?

‘Penghasilan yang sekarang aku dapat itu buat nyukupin keluarga. Kadang aku mikir, duit yang kadang aku kirim ke adik aku atau kedua orang tuaku ini halal apa haram yah. berkah atau gk yah, kan aku gak tau,” ucapnya.

Setiap hari, Bagus juga bergelut dengan rasa bersalah karena merasa turut andil dalam kebohongan ketika menjual makanan yang ia tahu tidak sesuai dengan prinsip keagamaannya. Ditambah dengan costumer muslim yang banyak berkunjung ke gerainya.

“Aku juga pernah ngeliat satu keluarga makan bareng yang disitu ada anak-anak kecil sama ibu terus ngeliat seneng karena makan enak. Wah, di situ aku udah kayak dosaku nih berapa yah? Apalagi aku yang tau persis, karena aku bagian dari produksi,” jelasnya.

Bagus melanjutkan, memang banyak muslim yang datang ke gerainya meski sudah tau apa yang terjadi. Tapi tidak sedikit pula, pelanggan muslim yang tidak tahu apa-apa, datang ke gerainya untuk makan.

“Walaupun mereka bertanya perihal kehalalan. Pasti pegawai kami bilang kalau semuanya sudah aman. Tempat masak, alat makan, proses memasaknya semua sudah dipisah antara olahan babi dengan daging yang lain. Tapi kenyataanya, semua sudah terkontaminasi. Kan ini kebohongan yang menjerumuskan muslim lain ke yang haram,” ujarnya.

Ibadah Bagus pun menjadi lebih berantakan karena jam kerja yang tidak menentu dan lingkungan yang tidak mendukung. Perasaan bersalah karena tidak dapat menjalankan ibadah dengan baik semakin memperburuk dilema yang dirasakannya.

Keinginan keluar dari pekerjaan ini sering muncul dalam benaknya. Namun, Bagus dihadapkan pada kenyataan bahwa ia merasa puas dengan pengahsilannya di F&B.

“Sebetulnya, susahnya tuh begini, aku udah ngerasa penghasilan di F&B ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan aku bisa ngasih adik aku juga. Gaji enak, dapet makan enak juga. Jadi, dilema mau keluar,” ujar Bagus.

Kenyataan bahwa sulitnya mencari pekerjaan baru, ketidakpastian tentang masa depan, dan tanggung jawab untuk menghidupi dirinya dan keluarga membuat keputusan untuk keluar menjadi semakin sulit.

Dilema antara pekerjaan dan kepercayaan ini sudah menjadi bagian dari perjuangan batin yang terus-menerus bagi Bagus. Setiap hari, ia berusaha mencari jalan tengah, berdoa untuk petunjuk, dan berharap ada solusi yang bisa membantunya menemukan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan spiritualnya.

“Benar apa kata Abah Yai-ku waktu aku mondok, sering-sering doa dari sekarang. Minta ke Gusti Allah agar diberikan pekerjaan yang bukan cuman halal, tapi lingkungannya juga baik. Minta juga pekerjaan yang bisa buat kita tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Karena yang seperti itu langka, susah dicari,” pungkas Bagus.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *