Kalijaga.co – Tahun 2024 ini Indonesia berada pada tahun yang panas. Dimana pada tahun ini, suara rakyat akan menjadi penentu masa depan negara selama lima tahun kedepan. Sebuah keputusan akan diambil untuk mengangkat sosok pemimpin baru. Pesta demokrasi dilaksanakan secara besar-besaran oleh para tokoh masyarakat. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan bahwa seorang kiai ikut andil dalam pesta demokrasi tersebut, terlebih ketika kita mengingat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia sendiri juga tidak luput dari peran para kiai terdahulu.
Kiai dan politik. Dua kata yang jika dilihat sekilas akan menimbulkan sebuah persepsi bahwa keduanya saling bertolak belakang. Ibarat dua titik berbeda yang saling bertemu namun tidak bisa menyatu, dimana kiai berada pada titik putih dan politik yang berada pada titik hitam. Sosok Kiai yang dipandang sebagai sosok panutan bagi banyak orang dianggap tidak pantas untuk masuk dalam dunia politik yang kerap diartikan sebagai sesuatu yang kotor. Namun terlepas dari persepsi tersebut, benarkah demikian ?.
Apa itu Politik ?
Sebelum kita membahas lebih jauh maka perlu bagi kita untuk tahu makna dari politik. Dikutip dari Wikipedia, Politik merupakan proses pembentukan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam sebuah Negara. Dalam Islam sendiri politik merupakan salah satu hal yang perlu dipelajari oleh umat muslim, hal tersebut sudah tercantum dalam surah An-Nisa’ ayat 59 yang memiliki arti: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) diantara kamu.” Dalam ayat lain juga disebutkan yakni dalam surah Ali Imran ayat 159: “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut”.
Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai umat muslim selain diperintahkan oleh Allah SWT untuk menaati sosok pemimpin juga diperintahkan untuk mengerti permasalahan-permasalahan politik, bermusyawarah dengan para pemimpin demi mencapai tujuan bersama dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Adanya politik sangatlah penting dalam suatu negara. hal itu disebabkan karena politik sendiri merupakan salah satu unsur agar sistem pemerintahan sebuah negara berjalan dengan baik. Jika suatu negara tidak memiliki sistem berpolitik, maka akan terjadi ketidakseimbangan, negara tidak akan teratur. Ibarat sebuah kebijakan peraturan dalam sebuah sekolah dimana semua muridnya harus menaati peraturan tersebut. Jika tidak ada peraturan yang berlaku maka murid akan berperilaku seenaknya, akan banyak pelanggaran yang terjadi dalam sekolah tersebut. Begitu pula dengan politik. Ada politik saja masih terdapat banyak pelanggaran, bagaimana jika tidak ada.
Kiai dalam Konsep Pusat-Pinggiran
Dalam beberapa tahun ini banyak sekali kalimat yang mengatakan “kiai kok ikut politik” terlebih ketika salah satu kiai besar menjadi wakil presiden dari negeri ini. Tak sedikit orang yang mengakatan bahwa kiai kini telah menjadi boneka negara. Pada masa menuju pemilu ini tak jarang kita melihat banyak dari tokoh masyarakat yang terlibat dalam pemilihan tersebut mendatangi para kiai untuk mendapatkan suara. Hal ini semakin menguatkan argumen-argumen masyarakat tentang sosok kiai yang seharusnya menjadi penutan bagi orang banyak justru menjadi boneka negara. Namun benarkah demikian
Dalam kondisi ini sejatinya para kiai berada pada titik serba salah. Dimana ia sebagai sosok yang paham agama diwajibkan untuk menaati pemerintah, menegakkan nlai-nilai agama dengan cara amal ma’ruf nahi munkar. Disisi lain, ia yang juga sebagai elit sosial menjadi panutan sekaligus pelindung bagi masyarakat. Multiperan inilah yang terkadang menimbulkan benturan antara kiai dengan masyarakat ketika masyarakat memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah. Seorang kiai yang membela pemerintah akan dijauhi oleh para pengikutnya karena dianggap telah menjadi boneka negara.
Namun kendati demikian, mari kita mencoba untuk melihat sisi lain dari hal tersebut. Mari kita mencoba menjawab pertanyaan yang sering kali muncul di benak kita, mengapa kiai menjadi salah satu sasaran dari diadakannya pesta demokrasi ini. Apakah benar jika kiai kini sudah menjadi boneka negara? Jika melihat konsep pusat-pinggiran, maka kiai disini menempati titik pusat dan pengikutnya yakni masyarakat sekitar dan para santrinya melengkapi pada titik pinggiran. Konsep ini menunjukkan bahwa kiai sebagai pusat sosial, panutan, tokoh masyarakat dimana ketika seorang kiai melakukan satu hal, maka para pengikutnya akan mengikutinya. Maka tidak heran jika banyak dari tokoh yang terlibat dalam pemilihan tersebut menjadikan kiai sebagai sasaran untuk mendapatkan suara, karena kuatnya pengaruh kiai dalam masyarakat. Hal ini juga bukan berarti bahwa kiai telah menjadi boneka negara karena ikut menyuarakan pilihannya. Disisi lain, bukankah pemilu juga diadakan dengan tujuan mencari suara ?
Kiai disini bukan menjadi boneka negara, namun menjadi tokoh yang membantu dalam melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara untuk mencapai negara yang berdemokrasi. Dengan seorang kiai menyuarakan pilihannya, maka itu akan membuka pandangan para pengikutnya dalam memilih pemimpin bagi bangsa ini, serta akan meminimalisir adanya golput sehingga terlaksanalah ciri negara Indonesia sebagai negara demokrasi. Lalu bagaimana jika terdapat unsur suap dalam mendapatkan suara kiai tadi ?. Terlepas dari bagaimana cara tokoh negara untuk mendapatkan suara kiai, kita seharusnya bisa menjalankan kewajiban sebagai warga negara Indonesia dengan ikut ambil andil dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara. Dan kiai seharusnya lebih tahu mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan oleh agama dalam menjalankan tugasnya sebagai tokoh masyarakat.
Reporter : Izza Aziza Queen Sophia | Ilustrator : Izza Aziza Queen Sophia | Editor : Najwa Azzahra