Kalijaga.co – Prawirotaman merupakan sebuah kampung yang menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Yogyakarta. Banyak hal yang ditawarkan ditempat ini, seperti kafe, restoran, sampai hal-hal yang berkaitan dengan sejarah yang ada di Yogyakarta. Sebelum Prawirotaman menjadi ranah pariwisata, kampung ini dijadikan sebagai tempat tinggal prajurit keraton Yogyakarta.
“Ya dulu tinggalnya prajurit itu disini, kalau di keraton kan gak mungkin. Lalu ditanah yang memang punya keraton ini dibangunkan barak. Barak itu seperti asramalah istilahnya,”ujar Maryanto, seorang tokoh masyarakat yang juga merupakan abdi dalem keraton Yogyakarta.
Nama Prawiratama berasal dari dua suku kata yaitu Prawira yang berasal dari Bahasa Kawi yang berarti berani dan Tama yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti utama. Prawiratama memiliki makna pasukan yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan.
Maryanto juga menjelaskan bahwaa ciri khas dari prajurit Prawiratama dapat dilihat dari seragam pakaian nya. Untuk panji (lurah) memakai topi berbentuk jangka dan memakai baju sikepan hitam, plisir kuning emas di bagian tepi baju dan lengan bawah kanan kiri. Kemudian memakai rangkepan kemeja berwarna putih polos serta memakai srempang warna kuning emas dilengkapi dengan krega di bagian belakang. Bagian bawahnya menggunakan celana pendek (tumpah) berwarna merah diluar celana panjang berwarna putih, lonthong cindhe kembang, kamus hitam budir kuning emas.
Sejarah perjuangan yang terkenal dari prajurit Prawiratama adalah ketika mereka tergabung kedalam sebuah laskar bernama “Hantu Maut”. Kisah ini terjadi ketika Agresi Militer Belanda II. Laskar Hantu Maut terkenal militan hingga membuat Belanda pada waktu itu merasa kewalahan. Jejak perjuangan Hantu Maut dapat dilihat dengan adanya monumen perjuangan Hantu Maut yang terletak di Jalan Prawirotaman No. 24-16.
Seiring berjalannya waktu, kampung Prawirotaman semakin berkembang pesat. Dengan izin keraton, kampung ini mulai dipadati oleh para pendatang. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pengusaha batik.
“Dulunya tuh terkenal dengan nama kampung batik, karena dulu banyak pengusaha batik Itu berjaan secara turun temurun, sampai sekitar tahun 1978, penjualan batik mulai lesu, banyak pengusaha batik beralih operasi menjadi pengusaha perhotelan”. Jelasnya.
Pada tahun 1978, kampung Prawirotaman mulai berkembang menjadi menjadi kampung turis, yang kedua setelah Sosrowijayan. Sebagai kampung turis, kampung Prawirotaman menjadi destinasi populer bagi wisatawan domestik dan internasional.
Pada tahun 2020 perkembangan kampung Prawirotaman sempat terganggu akibat munculnya pandemi Covid-19.
“Covid itu kan ada sekitar dua tahunan, itu bener-bener sepi. Kan ndak boleh to orang kumpul-kumpul gitu.. Baru tahun 2022 ke 2023 itu mulai agak bergerak lagi”. Ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa pandemi juga menjadi salah satu pemicu banyaknya properti dan bangunan yang dijual. Pemilik hotel dan kafe di Prawirotaman yang sebagian besar adalah pendatang, banyak mengambil alih properti tersebut dari penduduk asli. Meskipun demikian, hubungan antara penduduk lokal dan pemilik usaha di Prawirotaman tampak harmonis. Pemilik usaha diwajibkan melibatkan anak-anak muda dari kampung Prawirotaman untuk bekerja, agar penduduk setempat juga mendapatkan keuntungan materi dari bisnis mereka.
Menurut Maryanto, penduduk lokal merasa senang dengan terciptanya kesempatan kerja dan pendapatan tambahan. Meskipun ada beberapa perbedaan pandangan terkait dengan perubahan budaya berpakaian, keberadaan kampung prawirotaman sebagai destinasi wisata telah memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat khususnya dibidang ekonomi.
Tugu selamat datang dengan patung Prajurit/Bregada Prawirotaman yang menandakan bahwa kampung tersebut merupakan tempat tinggal prajurit
Via-via, salah satu café yang menjadi destinasi wisata di Prawirotaman
Via-via, salah satu café yang menjadi destinasi wisata di Prawirotaman
Tempo Gelato, salah satu tempat banyak anak muda Prawirotaman yang dipekerjakan.
Fotografer : Zidan Muhammad Fajri, Putri Inayatul Jannah, Syifa Ikhlatunnufus | Editor : Ilham Dwi Rahman