Kalijaga.co – ISRA Institute menyelenggarakan kegiatan Forum Group Discussion bertajuk Strategi Perempuan Menyikapi Misinformasi Dalam Pemilu, yang dilaksanakan secara daring melalui kanal Zoom Meeting pada Selasa, (16/01). Acara ini membahas setidaknya empat poin, yaitu tentang persoalan wanita, persoalan politik, bahasa, dan persoalan perkembangan teknologi informasi.
Acara ini dihadiri oleh beberapa narasumber seperti Shinta Cahya Ningrat selaku Divisi Kesetaraan dan Inklusi Southeast Asia Freedom Of Explassion (Safe Net), Iriani Pramastuti selaku Kandidat Perempuan Legislatif DIY, Khoirul Fahmi selaku Pakar Hukum Pemilu Universitas Andalas (UNAND), dan Indah Fajar selaku dosen Ilmu Komunikasi IBN.
Menurut Shinta Cahya Ningrat, Misinformasi atau berita bohong ialah informasi salah yang disebarkan oleh orang-orang yang mempercayainya sebagai hal yang memang benar adanya, jenisnya seperti konten yang menyesatkan.
“Ketika kita menerima misinformasi, maka kita kemungkinan besar akan melihat hal tersebut yang mungkin valid untuk beberapa orang dan itu akan melekat pada pikiran mereka” ujar Shinta.
Ia juga menambahkan bahwa perempuan jadi pihak yang paling dirugikan dalam misinformasi, khususnya pada masa pemilu. Dampaknya terhadap Perempuan dalam politik yaitu adanya pencemaran karakter ,stigma ,dan stereotipe.
Iriani Pramastuti mengatakan bahwa seharusnya parlemen-parlemen dan tokoh masyarakat agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat khususnya perempuan, tentang bagaimana meningkatkan kapasitas komunikasinya, terutama di Yogyakarta yang mana budayanya masih melekat begitu kuat, bahkan tak jarang pilihan masyarakat ditentukan oleh laki-laki.
“Misalnya dalam berumah tangga istri harus mengikuti pilihan suami,” ujar Iriani.
Dirinya juga berharap agar 30% kuota yang diberikan untuk mengisi parlemen dapat dimaksimalkan dengan baik agar kebijakan kebijakan yang diberikan tidak hanya dari satu arah saja, karena salah satunya banyak permasalahan permasalahan wanita yang belom terselesaikan.
“Keterwakilan Perempuan di parlemen itu sangat sangat bisa memberi warna dalam kebijakan publik,” imbuh Iriani.
Khairul Fahmi menyoroti peran media sosial sebagai sarana kampanye yang tidak bisa dikontrol dengan baik. Menurutnya, hal ini masih menjadi PR bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang bagaimana mengawasi kampanye di media sosial termasuk isu-isu tentang perempuan didalamnya.
“Kita secara regulasi belum memiliki ketentuan yang cukup memadai untuk mengelola bagaimana kampanye di media sosial, undang-undang tidak mengatur secara detail tentang itu, sehingga media sosial secara bebas memberikan informasi-informasi yang tidak jelas sumbernya darimana,” ujar Khairul.
Indah Rosalina, menjelaskan bahwa beberapa report dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) menemukan ada sekitar 11.357 kasus hoax dari bulan Agustus 2018 sampai Maret 2023 mulai dari kasus kesehatan pada pandemi Covid-19 sampai kasus politik pemilu 2019.
“Berita hoax ini secara konsisten akan menimbulkan spiral of silence yang mana bisa membungkam opini atau asumsi kebanyakan dari orang lain,” ujar Indah.
Indah menegaskan bahwa masalah misinformasi dalam politik tidak hanya dari elemen masyarakat saja bahkan semua jajaran pemerintah harus ikut andil agar terciptanya kondisi yang aman dan nyaman serta menjadikan politik yang sehat.
“Kita perlu ada dukungan dari semua lini, masyarakat perlu ada literasi digital, pemerintah perlu ada penegakkan hukum dan kontrol sosial terhadap informasi, termasuk juga tokoh tokoh poltik perempuan,” pungkas Indah.
Reporter : Fatah Elhusein | Editor : Ilham Dwi Rahman