Kalijaga.co – ISRA Institute menyelenggarakan kegiatan Forum Group Discussion yang bertajuk Perempuan Menyikapi Misinformasi dalam Pemilu. Kegiatan ini dilakukan secara daring melalui kanal Zoom Meeting pada kamis,11/01. Forum ini bertujuan untuk merespon beberapa kasus yang menghambat perempuan dalam keikutsertaannya pada pesta demokrasi rakyat. Berikut beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk sedikit demi sedikit mengikis judgment pada perempuan.
Olivia Chandidjah, wakil ketua Komnas Perempuan memaparkan bahwa pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengikis judgment misinformasi politik pada ranah perempuan. Pertama, pemerintah dan lembaga terkait harus mengakui bahwa kekerasan gender dalam politik merupakan kejahatan dan memberikan hukuman yang tegas terhadap pelaku. Kedua, internal partai politik dapat menerapkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender. Dan ketiga, media sangat berperan penting dalam membentuk opini publik.
“Misalnya dukungan terhadap liputan yang adil dan tidak diskriminatif,”ujar Olivia.
Intan Pratiwi, Jurnalis Republika menuturkan misinformasi ini merupakan hasil riset ISRA Institute bekerjasama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) dan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Sampel diambil pada aplikasi X saat pemilu 2019. Terjadinya misinformasi ini ternyata disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya maraknya buzzer, literasi rendah, dan pendeknya jadwal kampaye.
“Buzzer masih menjadi cyber crime dalam dunia media sosial, literasi rendah juga berpengaruh dengan adanya informasi yang hadir, juga jadwal kampanye yang singkat menyusahkan korban untuk memulihkan diri akibat misinformasi yang menyerang,” ujar Intan.
Olivia Chandidjah, kembali memaparkan bahwa budaya patriarki di indonesia masih sangat melekat. Apalagi ketika disandingkan dengan dunia politik yang terkenal dengan dunia laki-laki. Jika perempuan tidak mendapatkan ruang untuk bersuara maka, hal ini akan menjadikan politik berada dibawah ranah maskulinitas.
“Paradigma berfikir kita sangat patriarki, bahwa politik adalah dunia laki-laki dan hal itu memang sudah menjadi pandangan masyarakat besar di Indonesia,” ujar Olivia.
Selain itu, adanya labelisasi perempuan membuat strata perempuan rendah bahkan tidak pantas untuk maju ke ranah politik. Menurut Olivia, ini menjadi problematika bagi pemerintah dan partai politik, apakah membebaskan atau justru membatasi kehadiran perempuan dalam kontestasi politik.
“Justru tantangan terbesar datang di partai politiknya, apakah mereka sudah memaksimal kaderisasi politik ? bukan karena kebutuhan administratif saja,” imbuh Olivia.
Selain itu, Ahmad Taufiq selaku ketua ISRA Institute menuturkan bahwa mereka para perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin diranah politik sudah tidak asing lagi, ketika mendengar ejekan atau asumsi tentang dirinya. Hal ini sudah biasai dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
“Perempuan di ranah publik juga masih saja dinilai atas personal nya, misal cantik atau seksi, hal-hal remeh itu sebenarnya masih menjadi permasalahan,” pungkas Taufiq.
Melalui diskusi ini, para narasumber mengajak seluruh perempuan dan masyarakat melawan segala bentuk misinformasi jelang pemilu di platform digital maupun dunia nyata. Hal tersebut sebagai upaya menciptakan pesta demokrasi lima tahunan berjalan dengan damai. Selain itu, Kementerian Kominfo juga membentuk satuan tugas (satgas) anti hoax untuk mewujudkan pemilu damai 2024. Satgas ini nantinya bertugas untuk berkomunikasi dengan publik dan melabeli setiap informasi yang keliru sebagai hoax.
Reporter : Hadiyya Qurrata A’yyuun & Tsabita Sirly Kamaliya | Editor : Nanik Rahmawati