Kalijaga.co – Penafsiran Al-Qur’an mulai berkembang di Nusantara diperkirakan pada abad ke-20. Hal itu ditandai dengan banyaknya karya-karya tafsir yang mulai bermunculan dan berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan tafsir Al Quran itu menurut KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) membawa pengaruh pada kondisi Indonesia yang damai.
“Indonesia yang damai ini tidak terlepas dari peran kitab-kitab tafsir yang datang ke Indonesia,” kata Gus Baha dalam acara Ngaji Bareng bersama Prof. Quraish Syihab & Gus Bahadi Universitas Islam Indonesia, pada Senin (4/12).
Di masa-masa awal perkembangan tafsir di Indonesia, para mufassir menulis kitab tafsirnya dengan tujuan untuk membangkitkan semangat bangsa untuk lepas dari penderitaan. Namun, hal tersebut sempat menjadi problematika tersendiri. Sebab kitab tafsir itu masih banyak yang menggunakan Bahasa Arab.
Menurut Quraish Syihab, di Indonesia memang sudah banyak tafsir karya ulama Indonesia. Akan tetapi, tidak banyak yang komplit 30 Juz dan yang dituliskan dalam Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.
“Turjuman Al-Mustafid fi Tafsir Al-Qur’an Al-Majid karya Syaikh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri Al-Sinkili, itu dinilai sebagai kitab tafsir pertama berbahasa Melayu,” katanya.
Meski begitu, masih banyak perbedaan pendapat mengenai tafsir pertama berbahasa Melayu ini. Sebagian ulama menilai bahwa kitab tafsir ini merupakan terjemahan dari tafsir Al-Baidawi. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa itu adalah terjemahan dari tafsir Al-Jalalain.
Kendati demikian, terlepas dari perbedaan pendapat itu, Turjuman Al-Mustafid merupakan kitab tafsir pertama yang menjadi pembuka pengembangan ilmu tafsir Al-Qur’an di Indonesia sampai saat ini.
Penafsiran Al-Qur’an di Indonesia, menurut Quraish, sejatinya mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu disebabkan salah satunya karena Al-Qur’an itu memiliki sifat demokratis, sehingga dianggap sesuai dengan keadaan di Indonesia.
Selanjutnya, Gus Baha’ menuturkan alasan mengapa kita perlu untuk meneladani tafsir yang ada di Indonesia. Menurutnya, salah satu alasannya karena untuk menguatkan akidah bangsa Indonesia.
Ia juga mengutip satu penjelasan dalam kitab Tafsir Al-Munir karya Syaikh Musthofa Wahbah Az-Zuhaili tentang mengapa Al-Qur’an diawali dengan lafadz ‘bismillahirrahmanirrahim’ serta mengapa lafaz tersebut diawali dengan huruf ba’ yang hanya memiliki satu titik.
Menurutnya itu menunjukkan bahwa segala sesuai dimulai dari satu titik. Gus Baha menganalogikan sebuah gambar. Apapun yang akan digambar, entah hasilnya baik ataupun buruk, itu semua tetap berasal dari satu titik. Artinya, takdir apapun yang akan kita jumpai nanti, entah baik ataupun buruk, itu semua berasal dari nuqtoh wahidah (satu titik), Allah SWT.
Reporter: Izza Aziza Queen Sophia | Editor: Aji Bintang Nusantara