Kalijaga.co – Semerbak aroma asam manis layaknya bau gula berhembus dari sebuah bangunan yang ada di Dukuh Sentul, Desa Bekonang, Sukoharjo. Bangunan itu adalah rumah produksi Gedang Klutuk Nusantara yang merupakan salah satu produsen ciu atau minuman beralkohol tradisional terbesar di daerah tersebut.
Bangunan itu dihiasi dengan ukir-ukiran bergaya Bali. Ada dua patung Dwarapala besar yang menunggu pintu masuk. Di sebelah kiri bangunan, terdapat sebuah area produksi. Tampak beberapa drum memenuhi hampir seluruh area. Didalamnya berisi cairan berbau menyengat khas fermentasi tetes tebu.
Di sudut lain, ada dua tungku api besar yang sedang melakukan proses perebusan. Ada juga selang-selang yang dipasang melengkung, menghubungkan satu drum ke drum yang lain, fungsinya untuk proses penyulingan.
Terlihat tiga orang tengah melakukan transaksi di tempat tersebut. Ada satu orang penjual dan dua orang pembeli.
“Kluthuknya tujuh, ketan hitamnya tiga ya mas,” kata salah satu pembeli.
Si penjual lalu menyodorkan sepuluh botol minuman sesuai pesanan. Jika dilihat dari warna, minuman itu terdiri atas dua jenis, ada yang berwarna merah kehitaman dan yang lain berwarna putih bening. Di bagian botol tertempel tulisan yang merupakan identitas minuman tersebut: Ciu Bekonang.
Ciu Bekonang bukanlah pendatang baru di dunia minuman beralkohol. Sebagaimana ciu pada umumnya, ciu Bekonang adalah minuman beralkohol tradisonal khas masyarakat Sukoharjo. Ciu Bekonang bahkan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Sabaryono, salah satu pengrajin ciu menceritakan kepada saya sejarah ciu Bekonang. Pria 50 tahun itu sudah lama bergelut dalam produksi minum beralkohon tersebut. Selain itu, ia juga merupakan ketua Paguyuban Ciu Desa Bekonang.
Menurutnya Ciu Bekonang telah ada sejak dekade 1940-an. Kala itu ciu Bekonang merupakan minuman yang wajib dihidangkan pada acara pesta rakyat. Lambat laun, mulai diproduksi sebagai barang dagangan. Namun, waktu itu proses produksi dan pemasaran masih dilakukan secara diam-diam. Hal ini karena pemerintah kolonial tidak senang jika masyarakat memiliki kesibukan.
“Mereka benci jika kita punya kesibukan. Mereka ingin kita jadi bodoh, makanya dilarang punya kegiatan.” Ujar Sabar.
Namun, hal ini tak membuat produksi ciu Bekonang menciut. Bahkan, masyarakat mulai melihat ciu Bekonang sebagai alternatif bisnis yang menguntungkan. Dari sini lah profesi sebagai pengrajin ciu mulai menjadi pilihan masyarakat Bekonang. Dari yang awalnya hanya ada sekitar tujuh pengrajin, sekarang terhitung sudah ada ratusan rumah produksi yang berdiri.
Seiring berjalannya waktu, ciu Bekonang kian popular di telinga para penikmat ciu. Tak hanya di daerah Sukoharjo, nama ciu Bekonang terkenal sampai ke luar Jawa Tengah. Kini, ciu Bekonang menjadi salah satu produk UMKM unggulan dan menjadi ciri khas daerah tersebut, sampai terkenal dengan sebutan kampung ciu.
Meski demikian, sejak 1970-an, Sabar menjelaskan bahwa produksi alkohol di daerahnya tidak hanya ditujukan untuk pembuatan minuman semata. Melainkan juga diproduksi untuk alkohol medis.
Justru, legalitas izin usaha ciu Bekonang ini adalah untuk produksi alkohol medis. Sabaryono menunjukkan beberapa dokumen yang berisi perizinan usahanya. Di antara banyak dokumen yang ia perlihatkan, salah satunya adalah legalitas yang diberikan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, mengatasnamakan usaha perdagangan eceran bahan kimia.
“Jadi kita izinnya buat alkohol medis, bukan miras,” kata Sabar.
Meski begitu, di samping produksi alkohol untuk medis, para pengrajin di tempat ini juga memproduksi ciu Bekonang tersebut. Sebab, kadar alkohol yang dihasilkan dari proses pembuatan ciu bisa ditambah atau dikurangi sesuai keperluan produksinya.
Sabaryono lalu coba menjelaskan tentang proses pembuatan ciu Bekonang. Bahan baku yang digunakan adalah tetes tebu. Mereka mendapatkannya dari beberapa pabrik gula yang ada di sekitar Sukoharjo.
“Pokoknya hasil bumi yang mengandung gula itu bisa diproses.” ujarnya.
Tetes tebu tersebut kemudian dicampur air, lalu difermentasi. Proses inilah yang paling menentukan hasil ciu baik atau tidak. Prosesnya bisa memakan waktu lima sampai enam hari. Lalu dilanjutkan dengan proses terakhir yaitu penyulingan. Proses ini bertujuan untuk menentukan kadar alkohol.
“Kadar alkohol ciu 35% standarnya. Untuk menaikkan atau mengurangi, melalui proses penyulingan. Bisa sampai 90%,” kata Sabar.
Untuk proses distribusi atau pemasaran biasanya konsumen langsung mendatangi rumah produksi untuk membeli produk ciu Bekonang. Selain itu, minuman ini juga dipasarkan melalui toko daring. Tak hanya itu, mereka juga sudah memiliki pelanggan tetap yang siap menampung hasil produksi ciu bekonang.
“Kalau yang beli banyak, biasanya juga kita ada yang nampung. Tapi penghasilan kita juga tak menentu, kan yang beli juga gak pasti tiap hari berapa. Tapi kalau sebulan mungkin 8 juta ada”
Besarnya angka penghasilan itu membuat bisnis ciu Bekonang juga makin diminati oleh masyarakat sekitar. Suyekti misalnya. Ia memilih memproduksi ciu karena laku di pasaran. Ia mampu memproduksi ciu sekitar 30 liter hingga 40 liter per hari.
Ciu buatannya itu dijual Rp8.000,- per liter. Sehingga dalam sebulan, ia bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp9,6 juta. Ia juga mengaku sudah merasakah hasil dari penjualan ciu yaitu bisa menyekolahkan anak-anaknya dan membangun rumah.
“Kalau dibuat alkohol murni atau yang kadarnya 90 persen, saya kesulitan menjualnya. Kalau dibuat ciu begini lebih mudah dijual,” kata dia ketika sedang melakukan penyulingan di rumahnya.
Menjamurnya pengrajin ciu di Sukoharjo, selain mendatangkan banyak keuntungan, ternyata juga menghadirkan masalah. Diperkirakan, ada 147 produsen rumahan ciu Bekonang yang membuang limbah cair hitam pekat mencapai 114,6 meter kubik per hari ke Kali Samin, anak Sungai Bengawan Solo di Sukoharjo.
Meski begitu, menurut Sabar, di daerahnya sudah ada pengolahan limbah produksi ciu menjadi pupuk cair. Hal itu sudah dilakukan sejak tahun 2012 dengan bantuan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo.
“Di Mojolaban limbahnya ditampung di suatu tempat namanya IPAL. IPAL itu instalasi pembuangan air limbah. Nanti dari situ diolah jadi pupuk organik cair. Untuk perbaikan struktur tanah atau pembenah tanah. Tapi kayaknya di kecamatan lain, warga yang mengolah minuman beralkohol ini tak mungkin merogoh kocek sendiri untuk mengolahnya, karena biayanya mahal,” ujarnya.
Sabaryono berharap Ciu Bekonang yang sudah menjadi warisan budaya dari para leluhur mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Mulai soal biaya pengolahan limbah sampai pada alat-alat produksi yang sudah mulai dimakan usia. Sehingga nantinya hal-hal yang merugikan seperti pencemaran lingkungan bisa dihindari.
Untuk yang membutuhkan cheat game online kunjungi :
https://youtu.be/iHplOqDIDUI
Reporter: Ilham Dwi Rahman | Editor: Aji Bintang Nusantara