Kalijaga.co – Affandi Koesoema, atau yang akrab disapa Affandi, adalah seorang maestro lukis yang namanya terkenal tak hanya di Indonesia, tapi juga di kancah internasional. Pelukis yang beraliran ekspresionisme ini terkenal berkat produktifitasnya yang telah menghasilkan lebih dari 2.000 lukisan. Lukisan-lukisan itu yang kemudian menceritakan kepada generasi saat ini tentang sosok Affandi beserta gagasan-gagasannya.
Keinginan Affandi dalam melukis sudah berkecambah sedari ia masih remaja. Baginya, melukis bukan hanya ketika musim pameran saja, melainkan ia menganggap melukis ibarat kebutuhan yang harus terus dipenuhi.
Dedi Sutama, seorang karyawan Museum Affandi yang sudah bekerja disana sejak 1970, menjelaskan bahwa dalam melukis, Affandi lebih memprioritaskan ranjau emosi dan nalurinya. Ia berusaha mengekspersikan perasaannya dalam setiap goresan cat lukis.
“Kayak orang seneng makan, kalau gak makan pasti ngerasa laper. Dia juga gitu, kalau gak ngelukis itu rasanya gimana gitu. Jadi kalau ada kejadian-kejadian itu dia curahkan emosinya di dalam karya lukisannya,” ujar Dedi.
Affandi menggelari dirinya sebagai “pelukis kerbau” dalam aspek teknik melukis, karena merasa dirinya sebagai pelukis yang membutakan aturan dan teori-teori yang ada. Sehingga, ia merasa bodoh seperti kerbau. Cara melukisnya pun terbilang unik, yaitu dengan menumpahkan secara langsung cairan cat dari tube-nya, kemudian menyapu cat-cat tersebut dengan jarinya. Walaupun sebelumnya ia juga pernah melukis dengan penggunaan sketsa dan kuas.
Cerita-cerita yang dibawa dalam lukisan-lukisan Affandi mayoritas adalah tentang realitas kehidupan. Menurut M. Agus Burhan dalam Seni Lukis Indonesia Masa Jepang Sampai Lekra (2013), kecenderungan realisme itu mulai jadi arus utama pada masa pendudukan Jepang. Suasana kehidupan yang penuh derita dan kekerasan mengilhami karya-karya Affandi. Ia banyak menghasilkan lukisan keluarga, potret diri, dan aktivitas kehidupan sosial.
Di antara sekian banyak lukisan Affandi, saya coba mengulik kisah beberapa lukisannya yang terpajang di Museum. Dedi kemudian menjelaskan kisah dari beberapa karya Affandi. Melalui kisah-kisah itu, saya menemukan proses perenungan, penghayatan, dan proses kreatif yang dialami oleh Affandi dalam memproduksi lukisannya.
Burung Gereja Mati di Tangan
Menurut cerita Dedi, pagi itu, seperti biasa Affandi duduk di depan rumah sembari nyeruput kopi buatan sang istri ditemani cerutu kesukaannya. Biasanya, kicauan burung akan menjadi backsound yang menenangkan paginya, tapi kali itu tak terdengar.
Saat ia masih bertanya-tanya ke mana perginya para burung, seekor burung terjatuh di dekatnya. Ketika ia perhatikan, sayap si burung patah, dan akhirnya si burung mati dalam genggaman tangannya. Keprihatinan Affandi terhadap nasib si burung kemudian ia curahkan ke dalam lukisannya yang berjudul “Burung Gereja Mati di Tangan”.
Dalam lukisan ini, Dedi menjelaskan, Affandi coba memotret kejahatan manusia yang hanya mementingkan kepuasan pribadi, tanpa memikirkan nasib pihak lain.
“Dia (Affandi) bilang ini kejahatan manusia, kenapa kok burung ditembak? Coba biarkan aja. Apa kamu ingin dibilangin pinter, burung sekecil itu kamu bisa nembak. Tapi penderitaan si burung yang kena tembak itu gak pernah diperhatikan,” katanya.
Adu Ayam
Kritik Affandi terhadap kebiadaban manusia juga tergambar dalam lukisannya berjudul “Adu Ayam”. Lukisan ini menggambarkan pertarungan sengit, antara ayam jago berwarna putih keemasan dan ayam jago berwarna hitam keemasan. Menurut Dedi itu merupakan simbol pertarungan antara kejahatan dan kebenaran.
Di dalam kehidupan, manusia akan dihadapkan antara dua pilihan baik dan buruk. Selalu terjadi pertentangan antara keduanya. Ada kalanya kebenaran harus tersingkirkan atau kejahatan yang harus dihapuskan.
Adu Ayam juga menggambarkan salah satu tradisi khususnya masyarakat Jawa yang menjadi hiburan sekaligus ajang pertaruhan. Hanya ayam-ayam terkuat yang masuk dalam arena pertarungan ini, dan ayam terbaik yang akan menjadi sang jawara. Dua ayam dalam lukisan ini adalah ayam-ayam terbaik yang bertarung hidup dan mati untuk menentukan siapa sang juara sejati.
“Di sini dia juga mengkritik manusia, mencari uang kok ayam diadu. Ini bentuk kebiadaban manusia, dia gak suka, mbok jadi tukang becak atau kuli bangunan saja, itu kan jelas halal dan juga menghasilkan,” tutur Dedi menjelaskan.
Boeng Ajoe Boeng
Ketika ditanyakan tentang sejarah pembuatan poster Boeng Ajoe Boeng, Dedi menjelaskan bahwa poster itu adalah hasil kolaborasi dari beberapa seniman, diantaranya S. Sudjojono, Affandi, dan Chairil Anwar.
“Waktu itu Bung karno menyuruh Sudjojono, minta tolong di buatkan gimana supaya pemuda Indonesia berontak melawan penjajah Jepang. Lalu Sudjojono mendelegasikan titah Soekarno kepada Affandi. Akhirnya dibuatin Boeng Ajoe Boeng. Affandi yg buat lukisannya, kata-katanya dari Chairil Anwar.” katanya.
Dalam lukisan ini, terdapat seseorang dengan kedua tangan yang terlepas dari rantai, yang bermakna bahwa masyarakat Indonesia telah terbebas dari belenggu penjajahan. Kalimat “boeng ajoe boeng” mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk beranjak dari keterpurukan dan bersama-sama menapaki era revolusi. Lukisan ini juga menggambarkan bahwa revolusi tak hanya bermodal bedil dan senjata tajam, tapi juga bisa melalui banyak hal, salah satunya dengan sentuhan seni.
Reporter: Ilham Dwi Rahman | Editor: Aji Bintang Nusantara