“Monggo Mas, Mbak, Bapak, Ibu masuk pintu yang kanan lurus langsung ke dapur,” suara pelayan menyambut kedatangan para tamu yang masuk ke warung Mangut Lele Dapur Asli Mbok Marto.
Warung ini kerap menjadi tujuan wisatawan yang bertandang ke Jogja. Ada sensasi khusus yang menjadi daya tarik warung legendaris ini. Pengunjung disuguhkan sensasi seperti kembali ke dapur nenek dikampung halaman. Para pengunjung bisa langsung menuju ke dapur untuk mengambil sendiri menu pilihannya secara prasmanan.
Asap mengepul, udara terasa panas akibat pengasapan aneka ikan yang terjejer di atas wajan dan dandang besar. Seorang pekerja tampak sibuk memindahkan ikan-ikan yang sudah matang satu persatu dari sana. Di sebelahnya, tersedia juga aneka sayur, sate-satean, berserta kuah sebagai pelengkapnya.
Lele adalah sajian utama yang menjadi andalan warung ini. Selain itu, ada juga belut dan kepala ikan manyung berserta 7 menu pelengkap yang dapat diambil secara gratis, seperti nasi, krecek, gudeg, tahu, tempe, lalapan dan oseng daun pepaya. Ada kebebasan yang dimiliki oleh tiap pengunjung untuk meracik sendiri piring makanannya.
Di Mangut Lele Mbok Marto, pengunjung hanya perlu membayar makanan berdasarkan lauknya saja. Rata-rata untuk satu porsinya berkisar di angka Rp30.000,-. Sedangkan untuk minumannya dipatok sama dengan harga Rp5.000,-. Warung ini buka dari pukul 10 pagi – 8 malam setiap hari.
Kini, warung yang kerap dikunjungi wisatawan ini dikelola oleh Ana, salah satu menantu Mbok Marto, si pemilik nama warung tersebut. Ia berkisah, usaha ini sudah dirintis oleh mertuanya tersebut sejak 1960-an. Kala itu, Mbok Marto mengawali usahanya dengan berjualan nasi gudeg dengan berkeliling.
Suaminya kala itu suka mencari ikan, salah satunya ikan lele. Karena tidak memiliki minyak untuk menggoreng, akhirnya ikan hasil tangkapannya itu dibakar atau diasap. Hingga ketika penjual gudeg jogja makin menjamur, Mbok Marto beralih berjualan olahan lelenya tersebut. Itu juga bersamaan dengan masakannya makin disukai banyak orang.
Faktor usia menyebabkan Mbok Marto tak lagi kuat untuk berjualan keliling. Menurut Ana, sampai pada kisaran dekade 1980 – 1990-an, Mbok Marto memutuskan untuk berjualan di rumah. Meski demikian menurutnya hal itu bukan masalah lagi karena orang sudah mulai mengenal masakannya.
“Alhamdulillah, para pelanggan yang dulunya langganan di jalan, mencari simbah datang ke sini,” ujar Ana saat ditemui Kalijaga.co di sela-sela melayani pengunjung, Minggu (8/10).
Sekarang Mbok Marto sudah berusia 93 tahun. Namun, ia masih juga ikut berkecimpung di dapurnya tersebut. Ana bukan satu-satu penerus Mbok Marto. Selain ia, anak-anak Mbok Marto yang lain juga ikut meneruskan usaha ibunya tersebut dengan membuka warung-warung serupa di tempat lain.
“Saya menantu yang nomer 5. Semua anaknya sudah jualan sendiri-sendiri. Ini sebelah dekat masjid, (ada juga) di Kalimantan, Parangtritis. Simbah ikut saya,“ Kata Ana menjelaskan.
Merawat Rasa Masakan
Untuk memenuhi kebutuhan, Ana mengaku ikut memberdayakan tetangga untuk memasok bahan masakannya. Setiap hari, warung ini bisa menghabiskan 50 kg ikan lele. Bahkan, saat hari Minggu atau tanggal merah seperti hari raya dan long weekend, bisa mencapai 80-100 kg.
Menurut Ana, tidak ada spesifikasi bumbu atau resep rahasia yang digunakan. Ia menyebut siapa saja bisa memasak masakan seperti di warungnya tersebut. Namun, salah satu hal yang menurutnya penting dalam memasak adalah menggunakan bumbu yang banyak dan dimasak dengan suasana hati yang senang.
“Orang Jawa kan gitu, orang masak kui gak sayang (bumbu), dengan hati yang senang. Kalau gak senang, walaupun bumbunnya banyak, dienak-enakkan, yo ora enak,” tuturnya.
Ana menjelaskan, rasa pedas dari masakannya adalah cita rasa yang ingin terus dipertahankan dan menjadi ciri khas Mangut Lele Mbok Marto. Sebab, ia ingin memadukan cita rasa orang Jogja yang tidak suka pedas dengan orang luar Jogja yang suka pedas agar bisa dirasakan semua kalangan.
“Jadi, pedes tapi juga ada manisnya. Coba semua dirasakan walaupun pedesnya nampol, tapi tetep masih ada manis-manisnya sedikit,” kata Ana.
Salah seorang pengunjung dari Bali, Ria, menceritakan pengalamannya menikmati hidangan warung ini. Baginya yang baru pertama kali bertandang ke warung ini, rasa pedas, manis, dan gurih dari masakan warung Mangut Lele Mbok Marto ini sesuai dengan ekspektasinya. Ia mengaku mendapatkan informasi terkait warung ini dari media sosial dan sengaja mampir untuk mencoba saat tengah berlibur ke Jogja.
“Kuahnya si enak banget, pedes, manis, gurih. Jujur ngga suka lele, cuman karena memang tertarik,” ujar Ria.
Berbeda dengan Regina yang sudah menjadikan warung ini sebagai tempat makan langganan keluarganya setiap ke Jogja. Sudah lebih dari lima kali ia makan di warung ini. Ia menyebutkan cita rasa yang membedakan dengan yang lain adalah rasa asap dari ikan dan pedas yang pas. Karena bumbunya dipisah, ia menyebut jadi bisa menyesuaikan tingkat kepedasannya.
“Selain itu bumbunya kaya medok dan ngga terlalu pedas makanya di sini pas,” tuturnya.
Cita rasa yang dihasilkan tidak terlepas dari proses masak yang masih manual mulai dari pengasapan ikan, penumbukan bumbu, cara memasak dan penyajiannya. Proses ini dilakukan secara terus menerus dan tidak akan berubah. Jadi, kembali ke tema awal seperti masuk ke dapur rumah nenek.
Harga yang ditawarkan pun, menurut Regina, standar dan tidak terlalu mahal. Maka dari itu, ia sering merekomendasikan kuliner ini kepada keluarga dan teman-temannya.
Hanya saja, ada satu kekurangan warung ini yang dirasakan oleh Regina. Menurutnya, lokasi warung yang berada di dalam gang dan aksesnya yang susah, membuat orang tak mudah menemukan warung ini.
“Kadang kalau orang baru atau mungkin ngga tau, merasa ‘bener gak si warungnya ini?’ gitu,” katanya.
Reporter: Nanik Rahmawati | Ilustrator: Alifia Maharani | Redaktur: Aji Bintang Nusantara