Biennale Jogja 17 resmi dibuka pada (6/10) di Kampung Mataraman, Panggungharjo, Bantul. Biennale Jogja kali ini mengusung konsep Trans-Lokalitas dan Trans-Historisitas. Tema-tema lokalitas, peristiwa sederhana disekitar manusia, kisah-kisah personal diangkat kembali dalam bentuk pameran bernuansa pedesaan.
Wahyudi Anggoro Hadi selaku Lurah Panggungharjo menerangkan peran desa sebagai masa depan dunia. Di dalam desa berkumpul tiga komoditas penting yang menentukan ke mana dunia berjalan, yaitu udara bersih, air bersih, dan pangan sehat. Tak hanya itu, agama dan kebudayaan sebagai dasar nilai yang mengatur relasi antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan penciptanya masih tertanam kuat di masyarakat desa.
Pertumbuhan desa-desa di Yogya juga menjadi prioritas pemerintah daerah.
“Desa merupakan pusat pertumbuhan, tidak saja secara kesejateraan material tapi juga tata nilai kesejahteraan immaterial. Seperti kawasan filosofi Yogyakarta yang diakui UNESCO, salah satunya Pangungharjo ini terbentuk karena banyak nilai-nilai universal di sekelilingnya,” ujar Dian Lakshmi selaku Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta.
Nilai-nilai universal yang ada di pedesaan salah satunya adalah makna kooperatif pada gotong royong.
“Covid kemarin membuktikan bagaimana ketangguhann desa. Covid kemarin mendekonstruksi semua tatanan tanpa revolusi. Bagaimana ekonomi pasar tumbang, sosial ekonomi, ideologi besar yang mendominasi, tapi masih ada satu entitas yang bertahan yaitu desa,” jelas Wahyudi.
Wahyudi berharap perayaan Binnale Yogya kali ini yang diselenggarakan di desa dapat menumbuhkan kesadaran dan semangat bagi warga. Bahwa orang di desa memiliki sesuatu yang berharga.
Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, menyatakan harapannya agar pameran ini bukan hanya sekadar pameran, tapi juga sebuah undangan untuk memahami satu peristiwa hidup yang berbeda. “Kita bertemu dengan kisah-kisah personal dan lokal. Membangun kembali kepercayaan kita terhadap pengetahuan lokal,” ujarnya.
Alia mengajak untuk melihat kembali apa yang selama ini telah dimiliki namun tidak disadari sebagai sebuah pengetahuan dan potensi. “Saya kira ini penting untuk membangun masa depan yang lebih berakar pada apa yang kita punya di lokalitas kita,” pungkasnya.
Reporter: Wimbi Nur Khalimatus | Editor: Maria Al-Zahra