Kalijaga.co – Acara Nobar (Nonton Bareng) sekaligus Diskusi Film Pendek Laut Bercerita yang diangkat dari salah satu novel karya Leila Salikha Chudori sukses digelar di Gedung Serbaguna Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah pada Kamis, 05/10. Acara yang berlangsung mulai pukul 19.00 hingga 21.00 WIB ini diikuti lebih dari 600 peserta, terdiri dari peserta terdaftar, tidak terdaftar, dan tamu undangan.
Film pendek berdurasi 30 menit ini memiliki tingkat antusiasme yang cukup tinggi. Antusiasme ini tidak hanya terlihat pada generasi muda saja, tetapi juga berasal dari berbagai kalangan umur yang ikut menyemarakkan acara tersebut. Acara ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian acara ulang tahun Komunitas Hysteria yang ke-19, yang telah dibuka pada tanggal 29 September lalu.
Laut Bercerita, yang berawal dari sebuah novel dan kini diangkat dalam sebuah film pendek, menampilkan scene-scene yang sederhana, namun sarat makna, karena pada tujuan awal diproduksi film pendek ini, bukan berfokus pada pembuatan filmnya, hal ini dijelaskan oleh sutradara film pendek Laut Bercerita, Pritagita Arianegara.
Dalam proses pembuatan film pendeknya, Leila Salikha Chudori mengungkapkan bahwa ide tersebut awalnya tidak sepenuhnya berasal dari dirinya. Bahkan, ia menjelaskan bahwa ide pembuatan film pendek ini terbilang sebagai ketidak-sengajaan atau bukan murni dari dirinya, tapi dari Pak Wishnu Darmawan selaku produser film Laut Bercerita.
“Ide awal memang benar dari Pak Wishnu Darmawan, lalu Wishnu memilih Prita”, ucap penulis, Leila Salikha.
Banyak lika-liku yang dihadapi selama proses pembuatan film pendek Laut Bercerita ini. Awalnya, proyek ini terasa tidak niat, namun seiring berjalannya waktu, semakin jelas bahwa mereka ingin memberikan pengalaman mendalam yang dikemas secara pendek, padat, menjiwai, dan penuh emosional. Untuk mencapai ini, mereka menghadirkan aktor dan aktris berbakat yang sudah memiliki pengalaman dalam dunia perfilman. Reza Rahardian memerankan tokoh utama, Biru Laut Wibisana. Sementara itu, Dian Sastrowardoyo berperan sebagai Anjani, kekasih Biru Laut. Selain berakting, Yayasan Dian Sastrowardoyo juga turut berkontribusi dalam pembuatan film ini.
Menciptakan sebuah film pendek berdurasi 30 menit dalam waktu produksi tiga hari menjadi tantangan besar bagi tim produksi. Meskipun terdengar singkat, waktu yang tersedia harus dimanfaatkan dengan penuh kepadatan dan totalitas dalam setiap pernak-perniknya. Namun, dalam kenyataannya, permintaan scene dalam film terus ditambah oleh sutradara.
“Awalnya berniat hanya 10 menit, jadi cuma adegan bawah tanah, bawah air, tapi dari Prita minta nambah terus”, ucap Leila Salikha.
Meskipun film ini tayang selama 30 menit, alat-alat yang digunakan saat shooting juga tidak kalah prepare well, contohnya adalah kamera.
“Kamera yang kita pakai memang khusus untuk layar lebar, jadi bisa sangat mengambil gambar dengan detail”, ucap Pritagita Arianegara.
Scene setting tempat yang menjadi pertanyaan beberapa peserta pada acara ini, juga menjadi pusat perhatian khusus, karena memang penyajian dalam film pendek bisa terbilang totalitas dalam pengambilan gambar, penyesuaian tempat, hingga MUA Wardrobe-nya.
Dalam acara ini, Leila Salikha menyampaikan perasaannya dengan jujur, menyatakan
“Saya itu pengen tahu baunya kaya apa, ukuran ruangannya berapa, suasananya kaya apa, mereka yang diculik bagaimana.” Ucapannya ini memperlihatkan keteguhan dan keinginan kuatnya untuk memahami segala aspek yang terkait dengan cerita yang dibahas.
Hal ini mencerminkan keseriusan dalam mengungkapkan cerita yang dihadirkan dalam acara tersebut. Leila Salikha juga telah membuktikan komitmennya terhadap Laut Bercerita dengan menginginkan adanya bukti yang dapat dirasakan oleh penonton maupun pembaca. Dalam acara ini, atmosfer seolah-olah diciptakan oleh Laut sendiri yang bercerita kepada kita.
Laut Bercerita bagi beberapa pembaca yang memang memahami kondisi era reformasi 1998 cukup kontroversial. Memang penulisan novel ini cukup padat dan detail sehingga suasana yang dibangun dalam cerita bisa dirasakan oleh pembaca di masa kini. Meskipun banyak dari pembaca novel Laut Bercerita ini tidak lahir di era reformasi 1998.
“Saat saya berkarya ga mikirin sensitif atau tidaknya, jadi memang tergolong dari tokohnya, jadi saya selalu berangkat dari tokoh, memang yang saya pikirkan adalah The Character”, tegas Leila Salikha.
Disampaikan juga oleh Ketua Prodi Sastra Indonesia UNDIP, bahwa hadirnya novel Laut Bercerita menggugah bagi generasi yang luput dari kejadian era reformasi 1998.
“Kita kan lupa, 98 ada apa, darah mengalir, konflik di tingkat bawah atau antar kelompok, demokratis, negara sangat otoriter, itu semua terjadi, jadi kita lupa dan taunya Indonesia itu udah enak-enak aja. Kalo zaman Pak Harto dulu kamu ngomong (wawancara) kaya gini udah di-blacklist gabisa jadi PNS. Makanya sejarah itu jangan dilupakan”, ucap Kaprodi Sastra Indonesia UNDIP, Sukarjo Waluyo.
Novel “Laut Bercerita” ini bermakna banyak atas terjadinya sejarah yang sudah dilupakan atau bahkan malah belum terselesaikan. Sang penulis novel juga menjelaskan betapa struggle saat Leila Salikha Chudori menyatukan sifatnya dengan cerita “Laut” dalam novelnya. Tidak hanya soal sejarah, novel ini menyimpan banyak pesan moral yang dapat dijadikan perbaikan negara agar menjadi lebih baik.
“Sebenarnya, kalau mereka sudah baca karya-karya saya, semua cerita saya itu bermuara pada kisah keluarga, namun konteks keluarga disini berbeda, yaitu keluarga yang terancam oleh para pemimpin. Cerita yang ga cuma politik aja, tapi vibes keluarganya, dan bagaimana keluarga menghadapi sosok Laut tersebut, ataupun keluarga Indonesia tapi tertindas, karena saya juga 28 tahun di Tempo, dan banyak mengambil latar 1998, sifat saya juga terpengaruh dari Tempo”, tegas Leila Salikha.
Ia juga memberikan pesan yang penting kepada para pembaca novel atau buku di mana pun mereka berada. Dalam pernyataannya, dia menekankan bahwa membaca seharusnya dilakukan atas dasar keinginan pribadi dan minat yang tulus, bukan karena tekanan dari FOMO (Fear Of Missing Out), yaitu rasa takut ketinggalan tren atau apa yang sedang populer saat ini.
Tentunya, banyak pesan yang bisa diambil untuk generasi sekarang, khususnya. Salah satunya adalah bahwa masalah negara belum sepenuhnya diselesaikan dengan baik. Negara belum memberikan treatment tepat kepada masyarakat terkait dengan kejadian atau konflik di masa lalu.
“Kan, novelnya Mba Leila tadi mengabarkan pada kita, ojo lali ojo lali negara belum selesai!!. Orang diculik, bukan tentang perasaannya aja, tapi juga orang tua, keluarganya, jadi negara harus hadir. Pokoknya, jangan lupa sejarah, kalau kita punya pemimpin 32 tahun dan buruk, jangan diulangi lagi, kalau tentara digunakan oleh kelompok tertentu, jangan diulangi lagi”, tegas Sukarjo Waluyo.
Reporter : Hadiyya Qurrata A’yyuun | Editor : Fikri Khairul Lisan