Gunung Merapi merupakan salah satu ikon yang tidak lepas dari Yogyakarta. Terletak di daerah utara Daerah Istimewa Yogyakarta, Merapi menjulang tinggi dengan gagahnya. Masyarakat Yogya hingga kini menghormati Merapi, begitupula dengan Keraton. Upacara Labuhan Merapi merupakan salah satu contoh penghormatan kepada Merapi. Upacara ini dilakukan setahun sekali setiap bulan Rajab. Labuhan Merapi dipimpin oleh juru kunci Merapi, yaitu Suraksohargo Asihono atau kerap disapa Asih.
Asih menceritakan asal-usul Labuhan Merapi masih bersinggungan dengan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan. Pada saat itu Panembahan Senopati yang berstatus ‘suami’ dari Sang Ratu pamit pulang ke Mataram. Nyi Roro Kidul memberi sebutir telur yang bernama ‘Endog Jagad’. sesampainya di istana, telur itu diserahkan pada tukang kebun istana. Hal yang mencengangkan terjadi, tukang kebun berubah menjadi raksasa atau buto.
Buto tersebut menyerang Panembahan Senopati. Beruntungnya Penembahan Senopati bisa mengalahkan Si Buto. Panembahan Senopati kemudian meminta Buto untuk meninggalkan keraton dan ditugaskan untuk menjaga Gunung Merapi. Kebutuhan Buto akan dikirim setiap tahunnya. Prosesi pengiriman kebutuhan Buto inilah yang akhirnya disebut dengan Labuhan Merapi.
Namun, menurut Rintaiswara, abdi dhalem keraton, sejarah Labuhan Merapi tidak bersinggungan dengan Ratu Selatan. Labuhan Merapi justru merupakan rasa syukur Kerajaan Mataram pada Merapi itu sendiri, karena telah membantu memenangkan perang saat menghadapi Kerajaan Pajang.
Dahulu, Mataram sangat berkembang dan membuat Pajang khawatir. Akhirnya Pajang memutuskan untuk menyerang Mataram. Dalam perjalanan menuju Mataram, tiba-tiba Gunung Merapi Meletus. Abu vulkanik dari Gunung Merapi membuat pasukan Pajang terpisah dan menyebabkan kekalahan di pihak mereka. Sejak itu Mataram mengadakan Labuhan Merapi sebagai wujud rasa syukur. Tanpa adanya bantuan dari Merapi, Mataram pasti akan hancur mengingat pasukan dari Pajang lebih banyak daripada Mataram.
“Sebetulnya inti dari Labuhan Merapi adalah syukuran dan menghanyutkan Uborampe ke tempat-tempat yang ada hubungan historisnya dengan Kerajaan Mataram atau Keraton Ngayogyakarta,” jelas Rintaiswara.
Uborampe yang digunakan dalam prosesi Labuhan memiliki Sembilan jenis diantaranya Selembar Sinjang Cangkring, Selembar Sinjang Kawung Komprang, Selembar Semekan Gadhung Mlathi, Semekan Gadhung, Semekan Bangun Tulak, Selembar Kampuh Poleng, Selembar Destar Daramuluk, Selembar Peningset Udaraga, Lisa Konyah dan Yata Tindih. Kesembilan isi Uborampe ini berbentuk kain yang digunakan dari kepala sampai pergelangan kaki. Makna dari kesembilan Uborampe ini ialah sebagai ungkapan syukur dan tolak bala.
“Uborampe adalah seperangkat alat yang memiliki simbol. Uborampe memiliki perbedaan makna tergantung acaranya, Dalam prosesi Labuhan Merapi, Uborampe yang digunakan adalah barang-barang kebutuhan dari tukang kebun yang berubah menjadi Buto tadi,” tutur Asih.
Labuhan dimulai pada tanggal 2 Rajab. Pada waktu itu, Asih sebagai Juru Kunci akan menerima Uborampe dari Kantor Kec. Cangkringan yang diberikan dari Keraton Ngayogyakarta. Setelah menerima Uborampe, Asih menyemayamkan Uborampe tersebut di petilasan rumah Maridjan, juru kunci sebelumnya, yang berada di Kinahrejo. Selama penyemayaman Uborampe, di sana diadakan acara kenduri yang dipimpin oleh Asih dan dilanjutkan pagelaran wayang kulit.
Keesokan harinya, juru kunci, abdi dhalem dan masyarakat sekitar pergi ke Bangsal Sela Pengantin yang berada di Lereng Merapi untuk prosesi melabuh Uborampe. Di dalam bangsal, Asih akan membakar kemenyan dan membca al-Fatihah diiringi doa-doa lainnya.
Selepas berdoa, semua peralatan di dalam bangsal dibawa keluar dan diletakkan di depan Batu Kembar. Batu kembar ini masih berada dalam Bangsal Pengantin. Setelah itu barulah semua orang kembali ke Dusun Kinahrejo dan upacara Labuhan Merapi telah usai.
Sudah lebih dari satu dasawarsa Asih menjadi juru kunci Merapi. Walaupun ia merupakan anak dari juru kunci sebelumnya yaitu Maridjan, Asih tetap mengikuti ujian yang diadakan keraton.
“Saya jadi Juru Kunci itu bukan karena putrane Mbah Maridjan. Saya harus ujian dulu. Ujiannya itu ya seputar lingkungan Merapi seperti keraifan lokal dan masyaraktnya,” jelas Asih.
Tugas utama yang diemban oleh Asih sebagai Juru Kunci Merapi adalah melestarikan budaya yang telah diturunkan oleh nenek moyang dan menjaga kelestarian alam Merapi. Pelestarian lingkungan dengan cara membersihkan sampah setelah selesai Upacara Labuhan, melakukan reboisasi, dan menambang pasir secukupnya.
“Merapi sudah memberikan tanahnya untuk memberikan kehidupan para masyarakat sekitar. Ketika menebang pohon pilih pohon yang sudah tua dan jangan lupa untuk menanam bibit pohon yang baru,” jelas Asih.
Asih selaku Juru Kunci Merapi menegaskan bahwa Prosesi Labuhan Merapi bukan mengagungkan Gunung Merapi, melainkan mengagungkan kebesaran Allah swt. Dengan adanya Merapi semua warga sekitar bisa mencukupi kebutuhan. Selain itu adanya prosesi Labuhan Merapi adalah sebagai wujud dari melestarikan budaya supaya tidak hilang ditelan masa.
Reporter: Dina Mufida | Editor: Maria Al-Zahra | Ilustrasi: Alifia Maharani