“Al-Qur’an adalah kehidupanku, dan ku rasa aku dan tilawah sudah menyatu”
Selepas dosen menyelesaikan pelajarannya, kelas riuh dengan suara-suara mahasiswa yang sibuk membereskan barangnya. Satu persatu meninggalkan kelas, begitu juga mahasiswa yang bernama Fanza, dengan suara tongkat yang di ketukkan ke lantai, dia jalan perlahan untuk menuju pintu keluar.
Tidak banyak mahasiswa tunanetra di kampus ini, hanya ada beberapa saja, diantara yaitu Fanza Fauzan atau yang kerap di sapa Fanza. Ia salah satu mahasiswa Semester 3 di jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga.
Fanza tidak terlahir buta.
Kecelakaan bersama ayahnya saat ia berumur 4 tahun, masih memberikan efek walau sudah 10 tahun lamanya. Luka jahit di dahi juga di punggung telapak tangannya menjadi saksi atas kecelakaan itu. Tidak ada tanda-tanda yang diberikan oleh dokter tentang gumpalan darah di area mata, tetapi di tahun 2016 tepatnya sewaktu duduk di kelas 2 SMP dia divonis menderita glokuma.
Ia memutuskan untuk menunda pendidikannya selama satu tahun untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Orang tua fanza berinisiatif membacakan Al-Qur’an kepada anak tercintanya itu, “Waktu itu aku belum bisa membaca Al-Qur’an Breille, tapi orang tuaku berinisiatif membantuku, mereka menalqinkan dan juga mentalaqqikan ku dari juz 30 sampai juz 1,” papar Fanza.
Fanza lalu memilih melanjutkan pendidikannya ke pondok disabilitas. Di lingkungan, juga teman yang serba baru, mimpinya masih sama dan kian kukuh yaitu menjadi hafidz dan qori Al-Qur’an.
Banyak perhargaan yang ia raih semasa sekolah di pondoknya. Beberapa diantaranya Juara 1 tingkat sekolah, juara 1 tingkat provinsi, dan juara 3 dan 5 tingkat nasional dalam semua perlombaan Musabaqoh Tilawah Qur’an (MTQ).
Selepas lulus, fanza melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dia memilih UIN Sunan Kalijaga yang berada jauh dari kota asalnya yaitu Cianjur.
“Aku orangnya kalau diam di satu tempat itu bosenan, jadi perlu tempat dan suasana yang baru, kenapa milih jogja? Selain karena biaya hidupnya yang murah juga karena kata pimpinan pondokku kalau UIN Jogja yang paling accestable untuk disabilitas.”
Lingkungan kampus yang bebas sempat membuatnya kesulitan untuk bisa menjaga hafalannya, setelah beberapa saat kemudian dia dibantu oleh dosen, dengan setoran rutin setengah juz seminggu sekali.
Optimisme dan semangat belajar Fanza hingga saat ini sudah membawanya meraih banyak penghargaan di ranah kampus dan luar kampus. “Al-Qur’an bagiku adalah kehidupanku. Aku dan tilawah seperti sudah menyatu. jadi mau tidak mau, setiap hari itu aku harus bertilawah,” pungkas Fanza.
Fotografer dan Penulis: Ryamizar Hutasuhut | Editor: Maria Al-Zahra