Skripsi Bukan Lagi Syarat Wajib Lulus Perguruan Tinggi? Begini Pendapat Mahasiswa

3 0
Read Time:4 Minute, 15 Second

Kalijaga.co – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Republik Indonesia, Nadiem Makarim, telah mengumumkan perubahan signifikan dalam sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia. Sebuah pengumuman yang menggemparkan dunia akademis dalam sesi seminar Merdeka Belajar pada Selasa, (29/08).  Melalui kanal Youtube Kemendikbudristek, Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa skripsi bukan lagi syarat wajib untuk lulus dari perguruan tinggi di Indonesia.

Menurut Nadiem Makarim, berbagai cara dapat digunakan untuk menentukan syarat kelulusan, tergantung pada program studi dan bidang keahlian. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pimpinan perguruan tinggi masing-masing untuk menentukan standar penyetaraan sebagai pengganti tugas akhir skripsi.

“Tugas akhir bisa berbentuk macam-macam, bisa berbentuk prototipe, bisa berbentuk proyek, bisa berbentuk lainnya, tidak hanya skripsi, tesis atau disertasi. Bukan berarti tidak bisa, keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi,” kata Nadiem Makarim dalam Youtube Kemendikbudristek.

Ketentuan tersebut sudah tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) No 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia.

Reaksi terhadap pengumuman ini sangat beragam. Sebagian mahasiswa mendukung perubahan ini, menyambut peluang untuk lebih fokus pada aspek praktis pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan sesuai dengan program studi. Namun, ada juga yang skeptis terhadap perubahan ini. Mereka berpendapat bahwa skripsi tetap memiliki nilai penting dalam mengembangkan kemampuan analisis, riset, dan pemahaman mendalam terhadap suatu bidang studi.

Bagaimana pendapat mahasiswa dan mahasiswi di Indonesia mengenai hal ini?

Nabila Salma Nareswari (20 tahun) mahasiswi Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) yang baru saja selesai sidang skripsi. Ia menyetujui bahwa skripsi bukan satu-satunya syarat lulus perguruan tinggi.

“Kalo gue si setuju aja ya, soalnya menurut gue nuangin ilmu yang udah kita dapet selama kuliah tuh ga harus melalui applied research,” ujar perempuan yang akrab disapa Salma.

Menurut Salma, jika semuanya dipaksa membuat skripsi malah menyusahkan mahasiswanya, karena tidak semua orang memiliki minat pada penelitian. Ia juga memberi tahu selama ini tugas-tugas kuliahnya selalu project-based seperti membuat product innovation, business idea, business plan, bahkan execute suatu bisnis dan itu semua dikerjakan dalam bentuk kelompok.

“Jadi yaa menurut gue mau gimanapun bentuk tugas akhirnya yang penting tugas akhir itu bisa mengaplikasikan ilmu yang kita udah pelajarin selama kuliah aja sih,” ujar Salma.

Zahra Salsabila (20 tahun), mahasiswi semester lima , jurusan Fisika Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) mengaku mendukung kebijakan Nadiem Makarim soal skripsi bukan lagi hal yang wajib untuk syarat kelulusan.

“Iyalah skripsi bikin stres,” kata Zahra.

Menurut Zahra, ada sisi positif dan negatifnya jika skripsi dijadikan sebagai satu-satunya syarat kelulusan. Ia sering mendengar banyak mahasiswa yang stres saat mengerjakan skripsi dan kadang dibuat pusing oleh dosen pembimbing skripsi yang susah dihubungi.

 “Banyak anak semester akhir itu sering lama lulus yaa karena ga selesai-selesai ngerjain skripsinya,” ujar Zahra.

Meski begitu, Zahra berpendapat, skripsi itu bisa membuat mahasiswa berfikir kritis dan bisa dijadikan sebagai bukti pernah belajar memecahkan masalah secara sistematis. Ia juga mengaku senang saat mendengar kebijakan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim soal tidak diwajibkannya skripsi sebagai syarat kelulusan.

“Gua sih realistis aja, seneng dengernya tapi kan gua juga belum tau bisa jadi nanti pengganti skripsinya malah jauh lebih sulit dari skripsi” ujar Zahra.

Sependapat dengan Muhammad Fachru Al Razy Irham (20 tahun) mahasiswa semester lima , jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN Bandung) menyetujui bahwa skripsi bukan lagi salah satu syarat lulus perguruan tinggi.

“Bener skripsi itu bukan lagi salah satu syarat lulus perguruan tinggi, ada banyak macemnya, misal kita kuliah nih bisa menggunakan cara yang lain seperti Praktik Kerja Lapangan (PKL), itu kan udah sebagai prakteknya mahasiswa,” ujar Fachru.

Meski begitu, menurut Fachru, skripsi juga bisa menjadi salah satu proses perkembangan atau tolak ukur mahasiswa, bagaimana mahasiswa bisa menghasilkan suatu yang kreatif sehingga dapat dimanfaatkan oleh berbagai lembaga dikemudian hari.

“Tapi menurut ane skripsi itu bisa jadi salah satu proses perkembangan juga atau tolak ukur mahasiswa, gimana mahasiswa bisa menciptakan suatu yang kreatif hasil karya mereka sendiri, yang nantinya kalo memang di approve terus memungkinkan dan bisa digunakan, nanti akan digunakan diberbagai sumber atau diberbagai lembaga,” tambahnya.

Berbeda dengan Gandhi Muhammad (21 tahun) mahasiswa semester tujuh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Jogja) justru kurang setuju skripsi dihapuskan. “Aku kurang setuju” kata Gandhi.

Menurut Gandhi, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, keputusan pemerintah terkait pendidikan itu menunjukan ketidaksiapan sistem. Contohnya pada program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang menurutnya membingungkan.

“Nek semisal pemerintah memutuskan bahwa skripsi itu tidak wajib lagi, apakah pemerintah sudah membuat rancangan yang sangat sangat matang untuk keputusan ini?, jangan sampai pemerintah punya terobosan tapi eksekusine masih mentah,” ujar Gandhi.

Dia menanyakan rancangan tentang terobosan ini apakah sudah matang. Karena menurutnya jika pemerintah belum memiliki persiapan yang matang, artinya pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap anak bangsa.

“Merusak generasi kui jenenge. Generasi mudane jadi korban ketidaksiapan sistem pendidikan,” tambahnya.

Gandi berpendapat jika pemerintah mempunyai rancangan yang sangat matang, maka nilai positifnya adalah lulusan perguruan tinggi bisa semakin terampil dibidangnya.

“Semisal pemerintah punya rancangan yang sangat matang (dan harus sangat matang) tentang dibebaskannya mahasiswa untuk lulus tidak dengan skripsi, nilai positifnya adalah lulusan perguruan tinggi bisa semakin terampil dibidangnya,” pungkas Gandi.

Reporter : Fikri Khairul Lisan | Editor : Nanik Rahmawati

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *