Oleh : Aulia Zahra Amalia
“Paaak! Bapak yang menghabiskan kue pukis di meja makan ya? Kalau begini ibu jadi harus masak gorengan buat tamu kita,” sembur ibu hingga seisi rumah bisa merasakan ababnya.
Walaupun waktu bersantaiku sedikit terganggu oleh kegaduhan yang ibu ciptakan barusan, aku lebih geram dengan kebiasaan bapak. Jadi, aku bisa memahami uring-uringan ibu. Sejak dahulu aku mengamati bapak, dia selalu bersikap seolah dialah penguasa tunggal di rumah ini karena dia yang menafkahi, mengurus semua birokrasi, dan menjadi “wajah” dari keluarga kecil ini. Memang iya sih. Setiap bapak pulang kerja dan melihat sesaji yang menggoda di meja makan, langsung disikat habis secara diam-diam tanpa memikirkan tiga anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan. Bapak tidak peduli kalau kudapan itu favorit darah dagingnya sendiri atau bukan. Rasanya rumah ini selalu kemalingan. Masalahnya maling itu punya jabatan paling tinggi di rumah ini. Setiap mendapat omelan, bahkan dari anak-anaknya yang mengerti kalau seharusnya kepala keluarga itu memikirkan kepentingan bersama dan selalu berbagi, bapak hanya meringis. Itu pun kalau suasana hatinya sedang baik. Kalau dia ditegur tentang makanan saat sedang kesal, mulailah pidato tak berujung soal jasa-jasa yang sudah dia berikan kepada keluarga ini.
“Alah ya sudah, masak tinggal masak kok!, masih lima belas menit sebelum tamunya datang,” balas bapak membela diri.
Aku bisa melihat Adel melengos kesal melihat kelakuan bapak. Yang aku suka dari Adel adalah kepekaannya terhadap keadaan ibu. Ia langsung mengacungkan jemarinya tinggi-tinggi tanda menawarkan bantuan untuk ibu. Oh, manisnya. Melihat kedewasaan Adel membuatku ingin menyerang bapak. Ughh. Benar-benar membuatku kesal.
“Bu, Ibu! Lihat!”pekik Reno yang ikut menyumbang keributan di siang bolong ini.
“Sebentar, ini lho Ibu baru masak gorengan buat tamu baginda kita. Kalau Ibu tinggal bisa gosong, terus ibu diprotes lagi. Lihat apa tho memangnya?” Sahut ibu, dibumbui dengan sedikit sarkasme untuk bapak yang bebal.
“Ini lho, karya yang mau aku ikutkan lomba seni remaja, temanya kejujuran. Aku pilih sub tema kejujuran dalam melawan budaya korupsi.” Reno membentangkan gulungan hitam itu menghadap punggung ibu dan Adel yang masih fokus melawan serbuan minyak yang memberondong. Mengikuti rasa penasaranku yang tiba-tiba membuncah, sontak aku bangkit dari kursi malasku demi mendapatkan sudut pandang yang pas untuk melihat karya Reno. Di rumah ini, Reno memang anak yang paling dibanggakan. Dia pandai bertutur dan melukis, dibuktikan dengan rentetan medali dan piala juara pidato serta melukisnya. Cocok menjadi humas perusahaan bahkan diplomat di masa depan, atau mungkin seniman.
“Wah, keren! Unik banget ini, Ren,” seru ibu yang sudah berbalik badan karena iba mendengar rengekan Reno yang tak berjeda.
“Alah, biasa aja,” celetuk Adel setelah ikut berbalik. Matanya kentara memancarkan rasa cemburu sekaligus kagum dengan yang ia saksikan di hadapannya.
Wow!. Benar-benar bagus. Rahangku terbuka lebar hingga ludahku hampir menetes. Di luar ekspektasiku, kali ini Reno tidak memamerkan kecakapan melukisnya. Potongan montase foto yang ditata sedemikian rupa, ditambah dengan potongan kata-kata yang mungkin diambil dari majalah usang ibu dan koran-koran lama bapak. Wow! Aku benar-benar terkesima. Aku penasaran apakah Reno kerasukan roh Tristan Tzara dan Hanna Höch semasa mengerjakan karya itu. Ah, aku tidak peduli. Kombinasi warna yang padu, aku melihat semacam lingkaran semu yang dibentuk di sana, ada foto seorang bayi, ada anak sekolah. Oh, ada aku juga. Aku tidak tahu kalau aku bisa terlihat keren dengan jas dan dasi seperti itu. Aku semakin menyukai Reno, ia sangat perhatian padaku, ia menyertakanku dalam karya seninya. Aku berharap semoga Reno dapat memenangkan lomba yang ia ikuti.
“Iri ya, Del,” Reno meledek Adel, “Ada kritik atau saran enggak, Bu?” Reno mengesampingkan Adel dan beralih ke ibu.
“Sebenarnya ibu enggak terlalu paham yang kamu gambarkan di situ. Bagus banget sih kelihatannya. Tapi, memang boleh ya kalau gambarnya enggak jelas atau enggak eksplisit begitu?” Wajah ibu mengernyit. Ibu terlihat khawatir sudah menyinggung perasaan Reno.
“Oh, ini memang dibuat biar kelihatan enggak masuk akal, tapi ada cerita yang disampaikan dari kolase ini. Penanaman kejujuran itu dilakukan dari kecil, disimbolkan sama gambar bayi ini, nantinya tumbuh dewasa. Ini kalau tidak diajarkan kejujuran, besarnya bisa jadi seperti ini, pencopet, koruptor, sama yang lain. Karya yang aku buat itu Dadaisme ala ala Reno,” ujar Reno dengan sangat antusias sembari menunjuk-nunjuk gambar yang ada.
“Aduh, gosong ini nanti gorengannya. Sudah sana, dikumpulkan untuk lomba aja, sudah bagus kok,” sambat ibu sembari mengurus penganan yang masih panas itu layaknya menimang bayi baru lahir.
“Bapak juga mau lihat dong?” Wajah bapak memelas karena merasa diabaikan oleh Reno. Reno pun cekikikan seraya berjalan ke arah bapak dan menunjukkan kolase elok yang sudah siap dikirim kepada juri perlombaan.
***
“Bu! Aku dapat predikat karya terunik.” Reno yang terlihat kusut efek pulang sekolah berusaha terlihat tegar, namun aku bisa melihat kekecewaannya. Ya. Tiga minggu telah berlalu sejak Reno mengajukan karyanya dan aku turut kecewa walau tidak terkejut akan pengumuman Reno. Aliran seni ini memang masih diperdebatkan apakah termasuk golongan seni atau bukan. Jangankan secara adil diapresiasi, tahu menahu perihal Dadaisme saja belum tentu.
“Wah, selamat ya cah ngganteng-ku!” seru ibu yang sedang memotong pepaya.
“Selamat apa? Aku enggak menang kok,” gerutu Reno.
“Loh disyukuri, Ren. Itu aja Ibu sama Bapak sudah bangga. Kenapa tho kok kelihatan kecewa banget? Enggak dapat hadiah?” goda ibu.
“Hadiah sih dapat. Tiket ekshibisi seni sama voucer belanja 50 ribu. Cuma, aku lihat hasil karya juara enam besar ada yang lebih jelek dari punyaku,” keluh Reno.
“Hus, bersyukur. Lagi pula yang menurutmu jelek belum tentu menurut juri jelek juga. Sudahlah, kita rayakan aja usaha kerasmu. Ibu bakal beli cupcakes, boba, sama nasi goreng magelangan. Kamu undang teman mainmu, Ibu whatsapp Tante Ana biar sepupu-sepupumu pada datang.” Tangan ibu mengelus punggung Reno seraya menguraikan rencana pesta kecil-kecilan untuk menghiburnya. Reno yang awalnya bersungut-sungut, air mukanya berubah semringah. Cupcakes, boba, dan magelangan memang favorit Reno.
Jarum jam dinding menunjuk angka empat. Ibu mulai menata kudapan, piring, gelas, dan magelangan di meja makan. Semuanya tampak sangat menggoda, perutku meronta secara tiba-tiba. Aku lihat Bapak yang baru pulang kerja langsung disambut ultimatum Ibu. Bapak tidak boleh menyentuh apa pun di atas meja makan karena itu untuk perayaan Reno yang sedikit kecewa tentang hasil lombanya, kurang lebih begitu peringatan Ibu. Sepertinya, Bapak terlanjur senang melihat potensi makanan yang bisa ia lahap sehingga reaksi dari ultimatum Ibu hanya cengengesan menjengkelkannya.
Teman-teman dan sepupu-sepupu Reno mulai berdatangan. Aku mengamati gerak-gerik mendetail Ibu. Ibu menghitung ulang jumlah makanan dan minuman untuk memastikan tidak kurang. Lima teman Reno, ditambah lima sepupu, dan empat untuk keluarga, totalnya empat belas. Ditambah satu cupcakes saja untuk Fira karena dia tidak suka magelangan ataupun boba. Aku bahkan hafal jumlah suguhannya berkat repetisi merdu ibu yang mengganggu telingaku.
“Magelangan, pas empat belas. Boba, … lho kok cuma tiga belas. Aduh, gimana ini?,” ibu panik “lho cupcakes-nya kok cuma dua belas? Seharusnya ada lima belas cupcakes,” Saking paniknya, ibu berbicara sendiri dengan lantang. Bapak datang tergesa karena khawatir pada ibu.
“Kenapa, Bu?” Tanya bapak.
“Bapak makan tiga cupcakes sama minum segelas boba, ya?” Tuduh ibu dengan liar. Bapak membalas dengan membelalakkan mata tanpa bicara seakan tak percaya.
“Iya? Bapak makan benaran?” Emosi ibu mulai naik hingga terdengar dari nada bicaranya.
“Enggak, Ibu yang penyabar,” goda bapak demi menenangkan ibu.
Usaha itu tak berhasil. Ibu mulai mengaduk-aduk seisi meja makan dan secara intens menghitung ulang. Adel yang baru datang bersama Fira pun terciprat tumpahan emosi ibu. Adel merajuk karena dituduh, padahal ia tidak tahu menahu. Fira menangis karena bingung kenapa ibu murka. Reno yang sebelumnya di ruang tamu mengondisikan para kawan dan sepupu memasuki dapur dengan polos. Ibu menekankan kembali bahwa saat pertama kali makanan dan minuman datang, jumlahnya sesuai pesanan. Bapak yang terus dituduh oleh Ibu dan Adel pun ikut berang. Bapak mulai menuduh ibu telah salah hitung. Isakkan Fira berubah menjadi amukan. Tiga minggu lalu, Fira beruntung. Anak ragil ibu ini sedang tertidur pulas di kamar saat keributan yang serupa sedang terjadi. Sekarang semuanya kacau. Entah kebisingan apa saja yang bisa tertangkap kuping para tamu.
“Ibu itu sudah benar tadi perhitungannya waktu menerima kiriman pesanan. Masa, makanan itu hilang sendiri?” Ibu masih mempertahankan posisinya.
“Lebay banget sih kalian semua. Cupcakes sama bobanya kumakan tadi,” celetuk Reno tanpa rasa bersalah. Wajah ibu merah merona saat menanyakan kenapa kudapan pesta ia makan sebelum acara dimulai dengan dadanya yang naik turun tidak karuan.
“Ini kan perayaan buat aku. Jadi, terserah dong aku mau ambil berapa,” tutur Reno tak acuh.
“Padahal kamu tahu jumlahnya pas, kenapa tetap kamu ambil? Lagian, kok enggak jawab waktu Ibu tanya siapa yang ambil tadi?” Kekesalan Adel sudah klimaks.
“Karya yang kamu bikin untuk lomba juga mengkampanyekan kejujuran sama antikorupsi. Kenapa kamu sendiri enggak mengamalkan hal itu?” Bapak menyalak.
“Itu sih cuma lomba, tinggal buat sesuatu yang didukung publik aja. Lagian, aku enggak bohong kok, aku cuma enggak bilang aja. Bapak biasanya pulang kerja merasa berhak menguras semua makanan di meja. Aku kan hanya meneladan kepala keluarga terhormat kita. Kali ini aku juga berhak dong. Ini pesta apresiasi untukku ‘kan?” Jawab Reno.
Aku bisa melihat jelas kegamangan dalam mata bapak. Ibu dan bapak saling bertatapan sangat dalam seakan saling berbicara. “Mampus, kita membesarkan calon koruptor, ini semua gara-gara Bapak!” Kira-kira begitulah sudut pandang ibu. Aku pun terlarut dalam situasi pelik ini. Emosiku telanjur memuncak, aku sudah gondok dengan teladan busuk bapak. Aku harus memberi bapak pelajaran. Reno juga. Serang!
“Tikuuus! Awaas! Aaaaa…Itu tikusnya nongol dari kitchen set atas,” jerit Adel yang disusul kepanikan seluruh keluarga aneh ini kala melihatku berniat menegur bapak dan Reno. Aku bingung, aku hanyalah seekor tikus penikmat seni yang berintegritas dan antikorupsi.
Penulis : Aulia Zahra Amalia* | Editor : Nanik Rahmawati
Penulis adalah mahasiswa aktif program studi komunikasi dan penyiaran islam. saat ini, ia aktif berkegiatan di kalijaga.co