Kalijaga.co – Relokasi PKL Malioboro setahun lalu telah membawa banyak perubahan pada masyarakat yang terdampak di dalamnya. Di permukaan, yang terdampak memang PKL. Padahal, ada banyak orang lain yang bukan PKL juga ikut terdampak, pendorong gerobak adalah salah satunya.
Menurut Rakha Ramadhan, pengabdi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam perencanaanya, pemerintah masih tampak belum matang. Saat mendampingi masyarakat terdampak relokasi tersebut, menurut Rakha, pemerintah bahkan awalnya luput dalam melihat para pendorong gerobak.
Baca juga: https://kalijaga.co/2023/08/13/pendorong-gerobak-malioboro-dalam-pusaran-sumbu-filosofi-bagian-1/
Dasar hukum yang melandasi relokasi PKL adalah Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta nomor 13 tahun 2022. Perwal tersebut secara legal menghapus Perwal nomor 37 tahun 2010 tentang penataan pedagang kaki lima kawasan khusus Malioboro – A. Yani. Namun, dalam amatan Rakha, pemerintah kurang melibatkan masyarakat dalam penyusunannya..
Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi langsung kepada masyarakat dalam merencanakan relokasi. Namun, PKL saja tidak mengetahui informasi terkait relokasi tersebut dari pemerintah. Rakha menyebut mereka mendapat informasi justru dari statemen pejabat yang tersebar di media sosial.
“Tapi sosialisasi secara langsung kepada mereka itu belum ada,” katanya.
Hingga saat ini, dalam penilaian Rakha, langkah relokasi ini tidak bisa dikatakan tepat. Sebab ia menilai relokasi belum cukup mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, utamanya PKL. Padahal, dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta nomor 2 tahun 2021 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Yogyakarta tahun 2021-2041 ayat 5d, revitalisasi kawasan cagar budaya seperti Malioboro harus tetap memprioritaskan terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan.
Lebih lanjut, dalam dokumen konvensi untuk perlindungan warisan budaya tak benda Unesco, tak ada aturan yang secara spesifik melarang keberadaan PKL. Dalam amatan LBH Yogyakarta, hal itu berarti kehadiran PKL tidak bertentangan dengan pendaftaran sumbu filosofis sebagai situs warisan budaya dunia.
“Justru kemudian kehadiran PKL yang menguatkan keberadaan dari situs warisan budaya tak benda itu. Misalnya kalau kita lihat siklus budayanya harus menggunakan kebudayaan lokal atau bahasa lokal, secara sederhana dapat kita lihat PKL berjualan menggunakan bahasa Jawa, ” paparnya.
Relokasi tidak hanya terjadi sekali, Januari 2023 lalu, pemerintah juga melakukan hal serupa kepada para pedagang di sepanjang jalan Perwakilan, jalan di antara gedung DPRD DIY dan Malioboro Mall. Menurut Rakha, ini adalah pola yang berulang yang mungkin juga akan terjadi di tempat lain di sepanjang sumbu filosofis.
“Bukan tidak mungkin Ketika kita melihat sumbu filosofi itu sampai ke panggung krapyak, pemerintah akan terus melakukan pola-pola seperti demikian,” katanya.
Kami ingin meminta konfirmasi terkait hal ini kepada UPT Malioboro sebagai pelaksana tugas di sepanjang jalan sumbu filosofis. Namun, hingga tulisan ini dibuat, kami masih belum mendapatkan jawaban.
Penulis: Aji Bintang Nusantara