Kalijaga.co – Kisah orang yang baru memeluk agama Islam alias mualaf menjadi salah satu tema yang kerap dipakai sineas film dalam meracik sinema religi di Indonesia. Meledaknya Ayat-Ayat Cinta (2008) secara tidak langsung telah menetapkan standar serta unsur-unsur apa saja yang lazim muncul dari sebuah film yang dianggap Islami. Salah satu unsur tersebut adalah kisah tokoh-tokoh yang mencari nilai spiritualitas yang kemudian menuntun mereka untuk menjadi seorang mualaf.
Sebagai trendsetter, Ayat-Ayat Cinta menampilkan penggambaran mualaf bernama Maria Kirgiz (Carissa Putri), seorang perempuan warga Mesir beragama Kristen, yang memeluk Islam karena menaruh hati pada seorang pelajar muslim Indonesia, Fahri bin Abdullah Shiddiq (Fedi Nuril). Kisah konversi keyakinan menjadi Islam ini kemudian banyak diduplikasi oleh film-film religi berikutnya, seperti La Tahzan (2013), Assalamualaikum Beijing (2014), Ajari Aku Islam (2019), hingga Merindu Cahaya de Amstel (2022).
Terdapat satu buah kesamaan yang sangat menonjol dari film-film tersebut, yakni penggunaan aktor dan aktris berwajah asing untuk memerankan orang luar negeri yang berproses menjadi mualaf. Dalam La Tahzan, sosok Yamada (Joe Taslim) ditampilkan sebagai seorang warga Jepang yang bersedia untuk memeluk Islam karena akan menikahi seorang pelajar asal Indonesia bernama Viona (Atiqah Hasiholan). Sedangkan dalam Assalamualaikum Beijing, Zhong Wen (Morgan Oey) merupakan seorang tour guide di Kota Beijing Tiongkok yang menemukan hidayah pasca pertemuannya dengan seorang muslimah Indonesia yang bernama Asma (Revalina S. Temat).
Penokohan berbeda sempat diterapkan pada Ajari Aku Islam, di mana mualaf dari luar negeri kini digantikan dengan warga lokal peranakan Tionghoa bernama Kenny Huang/Aliang (Roger Danuarta) yang tertarik mendalami Islam pasca bertemu dengan gadis Melayu bernama Fidya (Cut Meyriska). Akan tetapi, formula lama kembali diulang pada Merindu Cahaya de Amstel yang kini menampilkan lagi sosok bule berkewarganegaraan Belanda bernama Nicholas van Dijk (Bryan Domani) yang memilih masuk Islam karena pertemuannya yang tidak sengaja dengan Khadija Veenhoven (Amanda Rawles) yang sudah menjadi mualaf sejak awal film.
Selain kesamaan tokoh yang berparas luar negeri, terdapat kesamaan lain bahwa motivasi mereka untuk memutuskan menjadi mualaf selalu diawali dari rasa ketertarikan terhadap sang lawan jenis. Mempelajari Islam bagi para bule ini tak lebih dari sebuah syarat agar cintanya diterima oleh sang pujaan hati. Meski di dalam penceritaannya ditampilkan pula proses belajar dan pendalaman keyakinan, akan tetapi kisah-kisah ketertarikan untuk menjadi seorang muslim tersebut selalu dipantik oleh perasaan suka terhadap seseorang.
Fenomena orang asing menjadi mualaf pernah disampaikan oleh M. A. Kevin Brice dalam artikel ilmiahnya yang berjudul Si Bule Masuk Islam: Western Converts to Islam in Indonesia – more than just Converts of Convenience?. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa terdapat dua alasan utama warga asing memeluk Islam di Indonesia, yakni karena alasan formalitas yang mewajibkan pernikahan dalam satu agama; atau karena alasan keyakinan kuat yang diperoleh dari proses intelektual, emosional, maupun spiritual.
Dalam konteks sinema Indonesia, ketertarikan audiens terhadap kisah-kisah konversi kepercayaan ini masih didominasi oleh alasan formal percintaan dua insan manusia. Proses pencarian nilai spiritualitas melalui pengalaman batin personal yang mendalam seolah tidak menarik bagi produser untuk memfilmkannya maupun penonton film Indonesia secara umum untuk menyaksikannya.
Kisah percintaan beda keyakinan yang berujung pada pernikahan yang sah seolah menjadi resolusi yang paling dinanti oleh para penonton sebagai sebuah penutup cerita yang membuat lega dan bahagia. Pemasangan simbol-simbol religi seperti peci atau kerudung pun tak luput untuk disisipkan untuk memperkuat penceritaan secara visual bahwa sosok asing yang berbeda keyakinan tersebut telah berhasil masuk dan bergabung ke dalam kelompok yang sama dengan audiens dominan, yakni Islam.
Namun, mengapa selalu sosok berwajah bule yang kerap dikisahkan secara inspiratif untuk masuk ke dalam Islam? Mengapa bukan wajah-wajah lokal? Atau, jika masih menggunakan sosok orang asing, mengapa hanya terbatas pada paras barat dan oriental saja? Apakah pola pikir masyarakat kita masih terkungkung pada pembagian kelas sosial warisan era kolonial?
Dalam bukunya yang berjudul The Emergence of the Modern Indonesian Elite, Robert van Niel menyebutkan bahwa terdapat pembagian tiga kelas sosial yang ada di Indonesia ketika masa penjajahan Belanda. Posisi paling atas diisi oleh golongan Eropa; kemudian komunitas Timur (Oriental, Arab, dan India) berada pada posisi kedua; dan di posisi terbawah baru ditempati oleh pribumi Indonesia asli.
Melalui pembagian kelas sosial tersebut, praktik glorifikasi terhadap orang asing yang disampaikan melalui film-film religi ternyata masih belum bisa dipisahkan dari perilaku serta mindset masyarakat Indonesia. Kisah pemelukan Islam oleh para bule ini seolah menyiratkan tentang pesan eskapisme bahwa penaklukan sosok-sosok superior melalui masuknya mereka ke dalam Islam kemudian patut untuk dirayakan.
Jika memang kisah inspiratif para mualaf masih menjadi primadona dalam sinema Indonesia, lalu kapan sosok warga lokal, atau proses mualaf tanpa plot utama cinta, dapat untuk diangkat menjadi sinema? Selain itu, pertanyaan lain yang tak kalah menggelitik juga pernah dilontarkan oleh Intan Paramaditha dalam tulisannya yang berjudul Passing and Conversion Narratives: Ayat-Ayat Cinta and Muslim Performativity in Contemporary Indonesia:“Jika nanti ada film (religi) lain yang menggambarkan hal yang sebaliknya—misal seorang Muslim masuk agama Buddha—apakah pilihan tersebut aman bagi sang pembuatnya?”
Penulis: M. Luthfi Habibi (Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)