Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Berawal dari Candaan

2 0
Read Time:2 Minute, 0 Second

Kalijaga.co – Aksi kekerasan seksual bukan sekonyong-konyong terjadi. Peristiwa take tis tersebut kerap diawali dengan kalimat-kalimat candaan yang dibiarkan atau dianggap normal.

Hal itu disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Republik Indonesia Alimatul Qibtiyah kepada kalijaga.co beberapa waktu lalu. Profesor bidang Kajian Gender Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga tersebut mengungkapkan, kasus kekerasan seksual secara verbal atau biasa dikenal Cat Calling seringkali dinormalisasi bagi sebagian besar masyarakat.

“Ini seolah-olah candaan, tapi sebenarnya kasus-kasus perkosaan itu berawal dari candaan-candaan yang itu dianggap dari sesuatu yang normal,” katanya.

Baca juga: https://kalijaga.co/2023/06/15/hantu-kekerasan-seksual-masih-bergentayangan-di-kampus-uin-jogja/

Warga kampus sendiri, lanjut Alim, belum memahami secara menyeluruh tentang kekerasan seksual. Hal itu disebabkan masih ada anggapan kekerasan seksual bersifat pribadi dan suatu hal yang tidak penting.

“Di UIN Sunan Kalijaga sendiri, dalam menerapkan kebijakan kekerasan seksual di lingkungan kampus mengikuti peraturan dari Kementerian Agama (Kemenag) lewat SK Dirjen Pendis 54/94. Peraturan ini, kemudian diturunkan menjadi PMA No.73 Tahun 2022. Namun, lebih detail lagi di KMA No.38 Tahun 2023,” tutur Alim.

Standar Operasional Prosedur (SOP), pedoman, maupun kode etik, kata Alim, harus dijadikan satu agar semakin menguatkan regulasi serta sebagai implementasi mewujudkan kawasan bebas kekerasan seksual di kampus.

Sejak tahun 2018, Komnas Perempuan sudah melakukan kerja sama dengan Kementerian Agama. Output dari kerja sama adalah SK Dirjen Pendis 54/94 yang mengatur PPKS di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Hingga hari inil dari 58 PTKIN terdapat 31 yang telah memiliki Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS).

“Suppurt pimpinan kampus memang sangat penting sekali supaya kemudian tidak terjadi intimidasi terhadap satgas juga korban. Karena kemudian proses reviktimisasi ini membuat banyak korban kemudian mencabut laporannya, tidak meneruskan pelaporannya,” jelasnya.

Baca juga: https://kalijaga.co/2023/06/15/lembaga-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual-tak-terdengar-di-kampus/

Sebetulnya, menurut Alim, proses pelaporan KS sudah cukup dengan menggunakan dua alat bukti, yakni laporan korban atau saksi, dan catatan psikolog forensik yang menyatakan bahwa Si Korban mengalami trauma karena kejadian kekerasan.

Alim berharap civitas akademika kampus bisa mengembangkan potensi lebih optimal dalam belajar dan bekerja tanpa ada kekerasan seksual. “kita perlu mengubah cara berfikir, bahwa kampus yang baik, yang berkah adalah kampus yang mampu menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan baik. Bukan kampus yang mendiamkan bahwa itu tidak mungkin terjadi di kampus kami,” pungkasnya. (.)

Reporter: Tim Investigasi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *