Gus Ulil: Para Kiai Nusantara Miliki Jiwa Social Entrepreneurship

6 0
Read Time:2 Minute, 18 Second

Kalijaga.co – K.H. Ulil Abshar Abdalla, kerap disapa Gus Ulil menjelaskan kiai-kiai yang berada di Indonesia memiliki jiwa Social Entrepreneurship. Penjelasan itu disampaikan dalam acara hari lahir Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama’ (KMNU) UIN SUKA ke-8 di Laboratorium Agama Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada minggu (21/05).

Gus Ulil menjelaskan, Kiai-kiai nusantara itu sebetulnya jiwanya adalah jiwa wiraswastawan. Jiwa yang menciptakan pekerjaan, dan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Lebih dari itu, mereka tidak mematok harga, tidak memungut biaya sepeserpun dalam membangun lembaga pendidikan. Mereka ikhlas mendirikan lembaga pendidikan untuk masyarakat.

“Jadi kiai-kiai kita itu wataknya, etosnya, semangatnya itu semangat wiraswastawan, entrepreneur. Walaupun mereka itu tidak mengenal istilah itu, apalagi dengan istilah Social Entrepreneurship. Mereka melaksanakan itu semuamya karena ikhlas, murni mengerjakan sesuatu karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. tidak mikir yang lain-lain” tutur Gus Ulil.

Sebelum menjadi kiai atau masih jadi santri, itu sama halnya seperti mahasiswa pada umumnya, yaitu sama-sama mencari ilmu. Namun, yang membedakan antara santri dengan mahasiswa adalah masalah pekerjaan. Kalau santri lulus tidak memikirkan pekerjaan, sedangkan mahasiswa lulus memikirkan pekerjaan.

“Santri pulang itu tidak mikir kerja apa, tapi dia menciptakan pekerjaan. Dia tidak mikir ngajar di mana, tapi dia menciptakan sekolah sendiri. Sedangkan kalau mahasiswa  ketika lulus, pada umumnya mikir mencari pekerjaan. Saya harus kerja apa? dan saya kerja dimana?” tutur Gus Ulil.

Lembaga-lembaga pendidikan yang para kiai dirikan tergolong cukup unik. Pesantren atau langgar atau paguyuban yang didirikan oleh para kiai sebagian besar berada di pelosok daerah. Beberapa ada yang di pedalaman dekat dengan Gunung atau pesisir pantai, seperti Kiai Maimun Zubair, Mahrus Ali atau As’ad Samsul Arifin. Tak heran, islam di pedesaan cenderung lebih kuat dibanding di perkotaan.

Walaupun banyak pesantren yang berada di pelosok daerah, para kiai-kiai tetap menimba ilmu hingga ke Tanah HIjaz. Sebagian besar pergi belajar ke Makkah dan Madinah, sebagai pusat studi islam dan tempat pertama disyiarkannya dakwah Islam. Kiai-kiai besar seperti K.H. Hasyim Asy’ari, Syekh Mahfud Termas, Guru Zainuddin Lombok, dan Kiai yang lain

“Jadi Kiai kita generasi awal itu, kiai-kiai yang ilmunya kelas dunia, kelas dunia itu tidak main-main, kalau kalian ini kan kelas nasional, kuliahnya di Jogja.” tutur Gus Ulil kepada para mahasiswa yang hadir.

Ketika pulang ke Indonesia, para kiai tidak memilih tinggal di kota, seperti pada umumnya orang untuk mencari pekerjaan. Mereka pulang ke asal daerahnya, di pelosok desa yang jauh dari pusat kota. Gus Ulil memberikan contoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari yang belajar di Mekah, lalu lulus pulangnya ke Tebuireng, kemudian mendirikan pondok di desa Cukir yang jauh dari keramian perkotaan. Saat ini pondok tersebut  dikenal dengan nama Pondok Pesantren Tebuireng. Pondok tersebut semakin besar dan berkembang sampai mendirikan perguruan tinggi.

Reporter: Aufa Mafaza | Editor: Maria Al-Zahra

Happy
Happy
50 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
50 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *