Kalijaga.co – Dasar anak nakal!, cah mbolosan, anak bandel, cah gendut, cungkring, dan lain-lain adalah julukan atau label yang akrab dengan telinga kita. Label negatif seperti demikian, tidak tepat diberikan pada anak kita. Karena pada dasarnya tidak ada anak yang nakal. Yang ada adalah anak-anak yang patah hati karena perilaku orang sekitarnya yang tidak bisa menjadi contoh.
Dengan memberikan julukan yang tidak tepat, terlebih melabeli mereka atas dasar fisik yang mereka miliki, pada akhirnya hanya akan menimbulkan sakit hati pada si anak dan memicu timbulnya perilaku buruk yang lebih parah lagi.
Katakanlah saja fenomena perang sarung, balap liar, dan tawuran yang marak akhir-akhir ini. Alih-alih melatih anak untuk sadar bahwa hal tersebut adalah hal yang tidak baik, orang tua justru lebih memilih untuk sebatas memberikan larangan, yang terkadang, kalimat larangan yang muncul adalah kalimat larangan yang tidak solutif. Pokok e ojo metu bengi, ojo mbolos, ojo dolanan sarung!. Atau, orang tua memilih untuk membiarkan tingkah laku tersebut dan lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya terdapat dua opsi yang lumrah dipilih oleh orang tua dalam menanggapi problem kenalakan anak. Yaitu sekedar melarang atau membiarkan.
Dengan melarang, seorang anak akan cenderung secara spontan marah, penasaran, bingung, dan berefek untuk mengambil keputusan penuh emosi. Misalnya, kabur dari rumah dan bergabung dengan komunitas yang tidak tepat. Bahkan, bila larangan tersebut mengandung kekerasan (verbal mapun non verbal), dapat menimbulkan trauma dan takut pada anak. Ending-nya, anak tak segan untuk melawan orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Kemudian, ada juga orang tua yang lebih memilih untuk membiarkan. Acuh pada anak atau hanya sekedar memberikan fasilitas tanpa pendampingan yang baik juga bukan pilihan yang tepat.
Lalu apa solusinya ?
Salah satu langkah yang paling tepat untuk menyelesaikan problem ini adalah dengan memunculkan kesadaran. Dari kesadaran ini nantinya anak akan mengerti bahwa rasa tanggung jawab dan menghargai diri sendiri juga orang lain dengan tanpa paksaan adalah suatu hal yang penting. Namun, bagaimana caranya?
Disiplin Positif. Pendekatan yang dikenalkan oleh Rudolf Dreikurs ini bertujuan untuk memampukan seseorang menyadari apa yang dilakukan, bertanggung jawab, dan mampu menghargai diri sendiri juga orang lain. Titik berat pendekatannya adalah melalui komunikasi dan dialog. Selain itu, hukuman dan hadiah tidak berlaku pada pendekatan ini. Karena, hadiah yang tidak bermakna dan dimaknai dengan baik hanya akan melalaikan anak.
Pendekatan disiplin positif secara praktik memiliki dua kunci. Yaitu pertanyaan menuntun dan komitmen bersama. Kedua hal ini harus dibangun dengan kepercayaan dari orang tua bahwa anak mampu menyelesaikan masalahnya. Melalui cara ini, sejatinya orang tua juga sedang memuliakan anak dalam komunikasi yang dibangun. Intinya pendekatan ini mendewasakan anak dengan komitmen yang dipilihnya sendiri.
Contohnya, jika anak terlambat sekolah, cukup ditanyakan apa yang membuat kamu terlambat? Apa dampaknya jika kamu terlambat? Kira-kira apa yang bisa kamu lakukan agar tidak terlambat lagi? Dari semua alternatif yang kamu pilih, mana yang bisa kamu lakukan agar tidak terlambat lagi?
Dengan catatan, pada saat mengajukan pertanyaan, jangan dilakukan dengan rasa marah. Lakukanlah dengan mata yang setara, penuh kasih sayang, juga kepercayaan penuh pada anak.
Setelah anak menyepakati dan berkomitmen dengan keputusannnya, berilah dorongan dan penguatan. Seperti dengan perkataan “Bagus nak, saya yakin kedepan kamu bisa jauh lebih baik”. Hargai progresnya bukan hasilnya. Inilah Disiplin Positif. Pendidikan yang bukan hanya berdasarkan pendiktean, pendampingan belajar, dan penghakiman dalam pembelajaran. Melainkan pendidikan yang berdasarkan perasaan, saling percaya, setara, dan penuh unsur pengasuhan. Dengan cara ini, akan terbentuk suasana belajar yang merdeka dan menyenangkan. Sehingga, membuat tumbuh kembang anak menjadi bagus.
Pendidikan semacam ini selaras dengan apa yang diajarkan oleh bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. “Semua adalah guru, semua adalah murid dan semua tempat adalah sekolah”. Dalam Islam, kita diingatkan untuk memperbagus akhlak anak-anak kita dengan cara-cara yang mulia. Bukan dengan kekerasan ataupun memanjakannya. “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaguslah akhlak mereka” (HR. Ibnu Majah).
Penulis: Mochamad Sinung Restendy | Editor: Gandhi Muhammad
*Penulis adalah dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam | Sumber foto: Dok Polresta Bogor Kota