Menjelajah Peninggalan Kesultanan Mataram

2 0
Read Time:4 Minute, 9 Second

Kalijaga.co – Kotagede merupakan salah satu kota dengan cagar budaya yang masih terjaga hingga sekarang. Kota ini terkenal dengan sisa-sisa sejarah peninggalan Kesultanan Mataram yang mulai didirikan abad ke 16. Ditambah kerajinan perak yang dihasilkan penduduk membuat Kotagede semakin kental dengan nuansa kerajaan.

Segudang pengetahuan yang didapat ketika mengunjungi Kotagede, tidak hanya soal wisata saja, tapi juga membuka wawasan tentang sejarah Kesultanan Mataram. Lokasi ini menjadi saksi perkembangan Islam di Indonesia. Terdapat beberapa peninggalan kerajaan  yang kemudian dijaga dan ada yang dimanfaatkan sampai sekarang sebagai wujud nguri-nguri budaya.

  1. Masjid Gede Mataram

Masjid ini didirikan oleh raja mataram pertama yaitu Kanjeng Panembahan Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah. Pendirian masjid ini atas perintah  Sunan Kalijaga untuk mengembangkan agama Islam di daerah pedalaman pulau Jawa.   

“Untuk dakwah agama Islam  perlu satu tempat yang cukup luas,  memang dulu sudah ada surau atau langgar yang dibangun oleh Ki Angeng Pamenahan atau ayahanda

Senopati namun kurang memadai. Kemudian sebagai ajang dakwah maka perlu dibangun Masjid Gedhe” Ujar Tarisman Marbot Masjid.

Selain sebagai pusat peribadatan, masjid ini juga menjadi landasan berdirinya Kerajaan Mataram di Yogyakarta.

2. Bedug Kyai Kedondong

Dalam rangka menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakan adalah bedug. Di Kota Gedhe juga ada bedug yang sudah berdiri sejak zaman Sunan Kalijaga, namanya adalah Bedug Kyai Kedondong. Ketika bedug dipukul pertanda sudah memasuki waktu sholat 5 waktu, tradisi seperti ini sudah turun temurun dilakukan dan diterapkan pada masjid kasultanan.

Ada cerita unik dibalik penamaan Bedug Kyai Kedondong. Saat Sunan Kalijaga jalan ke Kulon Progo tepatnya di desa Kedondong, ia menemukan sebuah pringgit. Setelah diminta dan diterima dari Nyai pemilik pringgit, kayu tersebut dikirim ke Mataram untuk dibuat bedug. Nyai Pringgit dipersilahkan untuk tinggal di Mataram dan di angkat menjadi abdi dalem.

Seringnya masyarakat menggunakan bedug sebagai alat komunikasi, maka kualitas bedug diperbarui. Pertama adalah kualitas kulit bedug. Semula kulit sapi diganti dengan kulit kerbau. Ditepi lingkaran bedug diberi pentolan berupa pasak-pasak untuk menahan kulit agar tidak mudah lepas.

3. Mimbar Masjid

Ada yang berbeda dari mimbar masjid ini dengan mimbar pada umumnya bukan?

Ya, betul.  Semacam kereta kencana. Mimbar tersebut dulunya adalah sebuah tandu  hadiah dari Sultan Mahmud Badarudin Palembang. Setelah melaksanakan ibadah haji dan mampir dikerabatnya, Sultan kemudian memberi hadiah tandu tersebut. Fungsi tandu sebagai tempat duduk  istri raja ketika ikut berburu. Saat ini dimanfaatkan sebagai mimbar masjid. Bagian atas mimbar untuk khotib hari jum’at dan bagian bawah untuk da’i ketika kultum atau pengajian. Mimbar tersebut masih asli dengan warna dan ornament-ornamennya

“Disini apa-apa tidak boleh diperbaiki , disini apa-apa tidak boleh nanti berubah. Dulu Sultan Mahmud Palembang pernah datang kesini tahun 2011 beliau minta di cat emas,  dikasih biayanya, tapi tidak diizinkan, tidak boleh diubah,  jadi itu warna asli” Jelas Warsiman.

Padahal perbaikan dan renovasi untuk setiap cagar budaya diperlukan. Bukan untuk mengubah nilai-nilai filosofi atau mengubah wajah cagar budaya, melainkan untuk menjaga agar dapat dinikmati hinga generasi berikutnya.  

4. Sendang Seliran

Sendang Seliran berasal dari dua kata yaitu Sendang dan Seliran. Sendang berarti sebuah rawa. Seliran dari kata selira atau awake dewe yang artinya diri sendiri. Panembahan Senopati pertama kali membangun sendang ini untuk pemandian keluarga raja. Konon sumber air itu berasal dari tongkat Sunan Kalijaga

 “Sunan kalijogo nancepke (masukin) tongkat terus dadi (jadi) sumber dadi mata air” ujar Mantri, abdi dalem makam Kerajaan Mataram

Selain itu terdapat cerita Lele Rengges. Zaman dulu saat anggota kerajaan makan ikan lele tulangnya langsung dibuang di Sendang dan ikannya dapat hidup kembali.  Tulang itu berubah menjadi ikan hidup tanpa daging. Kyai Rengges untuk sebutan ikan di pemandian laki-laki dan Nyai Rengges sebutan untuk ikan di pemandian wanita. Namun, tidak dipungkiri itu adalah sebuah legenda.

Sendang Seliran saat ini pun sering dikunjungi wisatawan dengan beragam tujuan. Ada yang menjadikannya pemandian yang emngandung berkah, untuk menyembuhkan penyakit, atau hanya sekedar penghilang dahaga dan sebagai oleh-oleh keluarga di rumah.

5. Batu Gilang

Batu ini  menjadi tempat Singgasana Panembahan Senopati untuk beristirahat. Cerita lainnya, batu ini digunakan sebagai senjata membenturkan kepala Ki Ageng Mangir. Ini dapat dilihat dari cekungan terlihat retak yang berada di atas batu seukuran dahi.

 “Ki Ageng Wonoboyo Mangir niku wong sekti nganti nganti Batu Gilang watune legok” Jelas Mantri

(Ki Ageng Wonoboyo Mangir adalah seorang yang sakti, sampai-sampai Batu Gilangnya berlubang)

6. Batu Gateng

Selain Batu Gilang ada juga Batu Gateng  yang dipakai Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati. Batu ini digunakan untuk bermain gatheng atau lempar batu. Selain ganteng juga menggunakan bekel yang berasal dari kuningan atau timbel.

7. Batu Getong

Batu ini berbentuk batu hitam dengan cekungan ditengah yang cukup dalam. Dulu, batu ini  menjadi tempat air wudhu yang dipakai oleh Ki Juru Mertani dan Ki Angeng Giri sebagai penasehat Panembahan Senopati.

Peninggalan – peninggalan benda Kesultanan Mataram masih terjaga hingga sekarang. Penjagaan dan perawatan oleh juru kunci di setiap benda-benda membuat situs peninggalan lebih terjaga dan terurus.

Reporter: Nanik Rahmawati | Editor: Maria Al-Zahra

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
100 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *