Mengais Pendar Kasih Lelaki: Kisah Pendek Dewi Nurmalisa*

2 0
Read Time:3 Minute, 44 Second

TERUNTUK LELAKI YANG KUSEBUT AYAH

Aku dilahirkan dari keluarga utuh namun dibesarkan dengan kehancuran. Jika saja boleh memilih, tentu aku lebih pilih bersama keluarga harmonis. Namun, Tuhan menyebut ini sebagai takdir. Baik atau buruknya kembali pada caraku ambil sikap.

Singkatnya, dari iklim keluarga yang seperti ini, aku harus tetap berjuang untuk bertahan hidup. Mencari kesenangan adalah caraku untuk memulihkan semua luka yang pernah kualami. Ibuku memberi nama indah yang konon artinya: Sang Pemilik Kekuatan—Dewandra. Orang sekitar terbiasa memanggil dengan Andra. 

Kisahku berawal ketika duduk di bangku sekolah dasar, saat itu aku mendengar suara keributan di balik pintu kamar kedua orang tuaku. Aku mendengar mereka berteriak, sebagai bentuk ungkapan marah dan emosi. Aku tak paham pembicaraan mereka, namun sedikit yang kudengar begini,

“Urus aja anakmu. Aku mau kita pisah, jangan cari dan hubungi aku lagi” ucap Ibuku, matanya basah.

Aku mematung meilhatnya -tidak- melihat pertikaian ayah dan ibuku. Aku berbalik menjauhi bilik menuju kamar dan menangis. Apa yang sudah terjadi hingga membuat mereka seperti ini? 

Dalam percakapan yang kudengar, keduanya saling melempar hak asuh seperti tak sudi merawatku karena dianggap sebagai penyebab kemelaratan dan beban bagi mereka. Hal itu cukup membuatku terpukul hingga aku tertidur dalam luka yang mengaga. Dibesarkan tanpa rasa kasih sayang orang tua sangatlah berat. Sempat terbesit dibenakku,

Kenapa aku dilahirkan jika ujungnya harus berakhir begini?” 

Bulan demi bulan, tahun ke tahun berlalu. hidupku terombang-ambing tak tentu arah. Jika rumah saja tak membuat nyaman, lantas kemana raga ini mencari ketenangan? Perseteruan itu membuatku memilih tinggal bersama Ayah. Tapi ayah sama sekali tidak berbicara kepadaku. Jangankan bertegur sapa, melihat saja tidak.

Ayah selalu pulang larut malam dan berangkat sebelum matahari muncul. Lambat laun aku menyadari bahwa Aku harus bisa hidup mandiri tanpa bantuan ayah. Perjalanan itu dimulai. Di umur yang terbilang masih anak-anak, aku berusaha mencari pekerjaan untuk kebutuhan dan biaya sekolah. Kegiatan ini aku lakukan sehabis pulang sekolah, kala anak-anak lain pulang dengan orang tua masing-masing. Lain halnya aku yang perlu sigap berganti pakaian dan siap-siap bergelut dengan lampu merah dan macetnya jalan sebagai pedagang asongan. Dewasa sebelum waktunya. Ya, itu kata-kata yang pantas untuk diriku saat ini. 

Ketika hari mulai gelap, aku pulang kerumah. Sesampainya di rumah, aku melihat Ayah membaca koran di ruang tamu. Ku beranikan diri berbicara dengannya. Gemetar dan rasa takut menguasai tubuhku,

“Yah, bentar lagi aku akan masuk SMP. Apakah besok ayah mau menemaniku untuk melihat sekolah baru?” 

Mendengar lontaran itu dari bibirku, air mukanya seketika dipenuhi emosi dan berkata

“Urus aja urusanmu, jangan mengaitkanku dengan sekolahmu. Aku tidak ada hubungannya denganmu”.

Suaranya lantang bahkan sampai memekakkan telingaku. Hatiku perih, tanpa sadar air mataku sudah membendung di pelupuk, bersiap untuk tumpah. Aku terhenyak mendengar tuturnya. Aku pergi meninggalkan Ayah ke kamar dan menutup pintu. Menangis dalam keheningan.

Esoknya, aku bersiap-siap untuk melihat sekolah baru tanpa dampingan orang tua. Ku pejamkan mataku guna membuang segala pikiran negatif dalam diri hingga ada seseorang yang memanggil namaku. Aku membuka mata dan menoleh ke sumber suara itu. Ah, ternyata temanku, Ilham.

“Mana Ayahmu, kok nggak ikut” tanyanya celingak-celinguk mencari keberadaan Ayahku.

Aku tersenyum getir dan membalas seadanya

“Ayahku lagi ada kerjaan, jadi nggak bisa ikut”

Ia mengajakku masuk ke gedung itu. Aku melangkahkan kaki menuju ruang pertemuan bersamanya. Semua yang ada di dalam ruangan itu adalah wali siswa. Tak disangka semua mata tertuju ke arahku. Malu dan takut seketika menguasai tubuhku. Namun dengan cepat ku tepis rasa itu dan duduk di bangku paling belakang. Tak lama setelah itu salah seorang guru memberikan arahan kepada kami. Ia memberikan arahan bahwa setiap siswa diperbolehkan untuk kerja sampingan dan diberikan keringanan dalam membayar SPP. 

Dari arahan yang disampaikan guru, aku tersadar bahwa uang bisa dicari. Aku bisa bekerja apapun untuk tetap sekolah sampai perguruan tinggi. Menjadi pedagang asongan adalah salah satu pekerjaan halal untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Selain itu, aku juga bekerja di sekolah sebagai pengganti biaya sekolah. Ikhtiar, kesabaran dan semangat adalah landasanku dalam menjalani hidup tanpa arahan orang tua, karena hanya itu yang bisa kulakukan. Kini terbesit di hatiku adalah pendidikan nomor satu. Akan ku buktikan pada mereka bahwa aku bukanlah sebagai beban, melainkan anak yang sedang tumbuh ditengah kerasnya kehidupan yang ditakdirkan untukku. 

Ayah, Ibu, lihatlah! Aku adalah seorang anak yang telah engkau kecewakan dan kau buat menangis setiap harinya. Kini, menjadi superhero yang tidak takut dengan segala hal. Dia akan berjanji suatu saat akan melebihimu dalam bidang apapun.

*Dewi Nurmalisa merupakan mahasiswi Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

One thought on “Mengais Pendar Kasih Lelaki: Kisah Pendek Dewi Nurmalisa*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *