Bulan Ramadhan tinggal menghitung hari, warga masyarakat dusun atas perintah kepala dukuh dan jajarannya segera melakukan gotong royong untuk menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini.
Tepat di hari Minggu pagi, semua sudah siap sedia dengan peralatan dan bagian pekerjaannya masing-masing. Dari yang anak-anak hingga yang lanjut usia pun datang dengan penuh suka cita di halaman masjid. Anak-anak yang sekadar ikut menyapu; remaja yang memasang banner bertuliskan “Marhaban ya Ramadhan”; bapak-bapak yang memperbarui cat masjid; hingga ibu-ibu yang siap dengan gorengan hangatnya.
Semua bersuka cita. Namun, ada seorang pria paruh baya yang hanya duduk di pinggir jalan tak jauh dari halaman masjid, Cak Majnun julukannya. Itu merupakan julukan dari warga kampung karena memang Majnun dianggap nyeleneh. Bahkan ada yang menganggapnya gila.
Kali itu, Cak Majnun mulai membuat ulah. Ia berteriak dengan kencang dan diulang-ulang tulisan “Marhaban ya Ramadhan” yang sedang dipasang oleh remaja masjid. Semua tak menghiraukan Cak Majnun, kecuali Pak Joko, ketua RT setempat.
Mungkin memang ia satu-satunya orang yang paham kondisi Cak Majnun. Ketika Cak Majnun dianggap membuat ulah oleh sebagian orang, Pak RT menganggap sebaliknya. Ia menilai ada sesuatu di balik tingkah Cak Majnun.
Pak Joko mendatangi Cak Majnun dan memulai perbincangan.
“Ada apa, Cak? Kok teriak-teriak”
“Tidak apa-apa, Jok. Aku hanya heran saja dengan tingkah laku semua orang”
“Heran kenapa, Cak?”
“Sekarang aku tanya Jok, kamu memangnya suka berpuasa?”
“Ya, suka lah Cak, kan ini sudah menjadi kebiasaan kita tiap tahun. Sampean ini gimana to, Cak?”
“Bohong kamu, Jok”
“Lah, kok bohong? Sampean ndak percaya lagi, to, sama saya?”
“Bukan nggak percaya, Jok. Sekarang aku tanya lagi, kira-kira kenapa Allah mewajibkan hambanya untuk berpuasa, sholat, zakat?”
“Ya, karena itu sudah menjadi kehendak-Nya, Cak. Sudah menjadi perintah-Nya”
“Bukan begitu, Jok. Allah mewajibkan kita untuk Puasa, Sholat, Zakat itu justru karena kita tidak suka melakukannya. Justru kita tidak suka itulah yang akan membuat derajat kita naik ketika melaksanakannya. Ikhlas melaksanakannya dan ujungnya nanti bukan suka lagi Jok, tapi cinta. Ketika hamba sudah beribadah dengan cinta, tidak ada kalkulasi di dalamnya”
“Oh, gitu ya, Cak”
“Ibadah tanpa cinta itu kosong, Jok. Tanpa cinta puasa hanyalah lapar, sholat hanyalah beban, zakat hanyalah sebatas ikut-ikutan”
“Kalau begitu, saya mau berterus terang sama Allah bahwa saya tidak suka berpuasa, Cak”
“Nah, gitu dong jujur, Jok. Tapi rasa tidak sukamu itu harus mengantarkanmu ke jalan cinta, Jok. Jangan hanya tidak suka tok, tapi tidak ada usaha untuk menuju cinta”
“Siap, Cak. Ngomong-ngomong besuk puasa nggak Cak?
“Puasa nggak puasa itu urusanku, Jok. Kamu nggak usah ikut campur”
“Lah kan Saya kan cuma nanya, Cak. Yasudah, saya tak melanjutkan gotong royongnya, Cak. Tidak usah teriak-teriak lagi, malu dilihat warga, Cak”
Seolah mengabaikan omongan Pak Joko, Cak Majnun tetap berteriak bak orang gila sambil meninggalkan masjid.
Cerita ini diadaptasi dari tulisan Rusdi Mathari yang berjudul “Benarkah kamu Merindukan Ramadhan” dalam buku merasa pintah bodoh saja tak punya.
Penulis: Ahsan Huda Muwafiq* | Editor: Aji Bintang Nusantara
*Penulis adalah ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (HMPS KPI) 2023.