Sastra Jawa

1 0
Read Time:8 Minute, 30 Second

Oleh : Hikmah Sita Marshali*

Narbuko roso tentrem angayomi
Toto susilo dadi tepo tulodho
Sababe dhik iku sarawungan kudu
Dadi srono murih guno koyo luwih
Angluri luhuring kabudayan
Tinulat sakehing bongso monco
Rahayu ngrebdho angembang ngremboko

Gita menyanyikan lagu sinden gubahan Ki Nartosabdo berjudul Kudangan dengan sangat apik dalam pagelaran wayang di sebuah gedung pertunjukan seni yang disaksikan oleh ratusan pasang mata.

Setelah Gita menyelesaikan lagu yang ia tembangkan yang menjadi tanda berakhirnya pertunjukan wayang tersebut, riuh tepuk tangan memekakan isi gedung pertunjukan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Gita.

“Git! Git! Bangun woilah!” Suara itu menyadarkan Gita dari alam mimpi yang menurutnya begitu indah

 “Yah, cuma mimpi ternyata,” sesal Gita.

 “Mimpi opo emange Git? Kok tidurnya sampai sambil senyum-senyum,” tanya Mira, teman sebangku Gita. Suara Mira lah yang tadi membangunkannya.

 “Kamu, ih, lagi mimpi indah, malah mbok bangunin. Kan, aku jadi gak tau lanjutan mimpiku gimana.” seloroh Gina.

 “Lho lho lho, kok malah marah. Tuh udah hampir giliran absenmu. Meh ditanyain sama Bu Pita tentang kuliahmu mau lanjut dimana. Masih mending tak bangunin, Git. Kalo ndak, tongkatnya Bu Pita yang bakal bangunin kamu.” balas Mira.

 “Lah iyo po?“

Belum selesai Gita ingin melanjutkan kalimatnya, namanya sudah dipanggil oleh Bu Pita, guru BK yang sedang menanyai siswa siswi kelas 12 tentang dimana mereka akan melanjutkan studinya setelah lulus dari SMA. Ya, ini adalah masa-masa akhir bagi anak-anak kelas 12 menghabiskan waktunya di sekolah dan awal dalam menentukan ke mana masa depannya akan berlabuh.

 “Gita Agistara?” Gita spontan mengankat tangannya dan berkata, “Nggih bu

“Oh, kamu udah daftar SNMPTN, yo. Kamu ambil di mana, Git?” Tanya Bu Pita. Dengan lantang Gita menjawab, “UGM, bu, ambil Sastra Jawa”

“Kok Sastra Jawa, sih, Git? Di UGM banyak jurusan yang bagus bagus, lo. Ibu liat nilai sains kamu bagus bagus, kenapa ndak ambil fisika, biologi, atau kimia? Ibu yakin kamu bisa kok, Git. Daripada Sastra Jawa. Lah wong, kamu aja tinggalnya, yo, di Jawa, kok” cerca Bu Pita.

Gita menghela nafas, dia hanya tersenyum menanggapi Bu Pita. Gita sudah muak dengan tanggapan orang-orang tentang pilihannya. Gita diragukan hanya karena dia memilih jurusan sastra Jawa.

Memang ada yang salah dengan jurusan itu? Apakah karena Gita tinggal di Jawa, maka dia dianggap aneh karena memilih jurusan Sastra Jawa? Padahal, Gita memilihnya karena dia suka, dan berminat. Gita memiliki keinginan untuk melestarikan budaya Jawa yang semakin ke sini malah tergerus oleh canggihnya teknologi, bahkan anak-anak milenial sudah tidak mengenali kebudayaan yang begitu elok untuk dinikmati dan diperkenalkan kepada orang-orang di luar sana. Miris, satu kata yang selalu mengahantui kepala Gita.

“Kan, Gita cita-citanya jadi sinden, bu. Soale suka pake sanggul sama kebaya terus nyanyi lagu lingsir wengi. Hiiih, sereeem” celoteh Budi salah satu teman sekelas Gita diikuti oleh gelak tawa seluruh kelas.

Jujur, Gita geram. Ia sudah tak tahan lagi diremehkan. Gita berdiri dari tempat duduknya dengan mata berkaca-kaca sambal berkata, “Gita bakal buktiin kalau pilihan Gita gak salah,” ucapnya sembari berjalan keluar kelas sambil menyeka air matanya yang menetes.

***

Pengumuman hasil SNMPTN

Degup jantung Gita semakin tidak karuan. Bibirnya tidak henti-henti merapalkan doa-doa berharap dewi keberuntungan berpihak padanya. Sinar biru dari laptop menyorot mata coklat Gita yang terlihat cemas tidak lagi tampak. Tetapi, ia memang sangat cemas. Jari-jarinya diketuk-ketukan di meja menimbulkan suara berisik tanda begitu gelisahnya Gita.

Teng…Teng…Teng…

Suara jam antik sejak zaman simbahnya dulu yang sampai saat ini terpasang di sudut ruang tengah rumah Gita. Teng tiga kali berarti menunjukan pukul tiga, waktu pengumuman SNMPTN. Gita menarik nafas dan menghembuskan nafasnya agar degup jantungya tidak seperti suara musik-musik di tempat disko. Laptopnya sudah membuka laman web LTMPT, jarinya mulai mengetikan username dan password akunnya. Gita ragu-ragu menggerakan kursornya ke arah tulisan “BUKA HASIL SNMPTN”. Setelah menarik nafas dan menghembuskannya, Gita menekannya sambil menutup matanya.

Gita membuka matanya dengan perlahan-lahan.

“Aaaaa!!! Alhamdulilaaahhh, Ibuuk, Gita diterima buuk!” jerit Gita membuat ibunya berlari dari dapur menuju kamar Gita.

“Bu, Gita lolos SNMPTN di UGM, bu”

Sayang, reaksi ibunya tidak sesuai dengan pikiran Gita. Tidak ada sedikit pun raut bahagia yang terlihat di wajah ibunya. Ibu Gita terduduk sayu di tempat tidur milik Gita. Hanya kata ini yang pertama kali keluar dari bibir sang ibu, “Sastra Jawa, Git?” Ucap ibunya dengan suara lirih.

“Ibuk masih ndak yakin sama pilihan, Gita?” Gita beralih dari tempat duduknya beralih ke hadapan sang ibu, menatapnya lekat penuh harap.

“Ibuk itu cuma pengen warisan dari simbah-simbahmu yang terjun di dunia pewayangan cukup berhenti di bapakmu saja. Kamu ndak usah ikut-ikutan belajar sastra Jawa kalau alasannya kamu pengen jadi sinden. Mending kamu jadi guru aja, malah lebih manfaat, to” jelas sang ibu.

Ingatan Gita beralih ke masa lalunya, saat ia menonton pertunjukan wayang di mana yang menjadi dalang adalah Bapaknya. Saat itu usianya baru 7 tahun, namun dia sudah sangat suka dengan wayang. Sekaligus, ia dianugrahi dengan suara yang merdu. Sejak saat itu pula ia tertarik menyinden.

Sempat beberapa kali Gita tampil dalam pertunjukan wayang sebagai sinden cilik. Sebenarnya sang ibu selalu melarang Gita untuk menonton wayang. Tapi, bapaknya selalu bisa meluluhkan hati ibunya agar mengijinkan Gita pergi bersamanya.

Saat bapak Gita mulai sakit-sakitan dan berhenti mendalang, sudah sangat jarang ada pertunjukan wayang. Padahal Gita sangat suka menonton atau menjadi sinden dalam pertunjukan wayang yang diselenggarakan di desanya. Kemudian pada satu waktu, terjadi percakapan antara Gita dan ayahnya.

“Git, kalo bapak udah gak ada, apa wayang juga bakal ikut bapak mati juga ya?” Kata Bapak Gita sembari menyeruput teh hangat buatan Gita. Ia nampak terkejut dengan perkataan sang ayah.

Hush, bapak jangan ngomong gitu, ah. Insyaallah bapak bakal cepet sembuh dan panjang umur. Abis itu kita ngadain pertunjukan wayang lagi, ya, pak, ya,” Hibur Gita.

Lo, umur itu gak ada yang tau. Tapi, bapak punya satu permintaan buat kamu, nduk.”

Wajah sepuh ayahnya dengan jenggot, kumis, dan rambut yang sudah memutih itu terlihat berpikir kemudian menatap wajah putrinya dan melanjutkan kalimatnya yang terpotong.

“Sejak kecil Bapak memang sudah ada di keluarga yang memiliki darah seni terutama pewayangan, Bapak ga akan minta kamu buat harus nerusin bapak di dunia pewayangan. Cuma bapak berharap kamu bisa menjaga budaya yang dimiliki tanah air kita supaya ndak ilang dimakan sama zaman. Bapak pengen budaya budaya tradisional bisa dikenal banyak orang. Bahkan, kalau bisa sampe ke luar negeri. Karena, yo siapa lagi yang bakalan melestarikannya kalau bukan generasi kamu to, Git”

Itulah perkataan almarhum Bapaknya yang menjadi motivasi Gita masuk jurusan Sastra Jawa, bukan sekedar ia ingin menjadi sinden. Tapi harapan orang-orang terdahulu yang tidak ingin budaya-budaya yang dulu sangat populer, seiring perkembangan zaman akan semakin hilang atau bahkan diakui oleh negara lain.

Mata Gita mulai berkaca-kaca, kemudian ia berucap,

“Buk, Gita ini darah daging dari almarhum Bapak. Darah seni yang bapak punya itu ngalir di tubuh Gita. Dan Gita milih jurusan Sastra Jawa bukan karena pengen jadi sinden, ada banyak hal yang bakal tak pelajarin kok buk. Percaya sama Gita, ya. Gita janji bakal ngebanggain Ibuk. Ibuk cukup doain dan dukung Gita supaya bisa mewujudkan impian, Buk.” Jelas Gita kemudian memeluk ibunya. Sang ibu diam dalam pelukan Gita, sang ibu mulai berpikir begitu egoisnya apabila menghalangi mimpi putrinya. Walau dengan berat hati sang ibu harus bisa menerima pilihan putri kesayangannya itu.

“Ibuk ga bisa berbuat apa-apa lagi kecuali doain kamu, nduk. Ibuk percaya sama kamu, Ibuk restuin kamu kuliah ambil sastra jawa, nduk.” Kata Ibu Gita sambil meneteskan air mata.

Gita mempererat pelukannya pada sang Ibu.  “Makasih, Buk. Makasih udah percaya sama Gita. Gita gak akan ngecewain Ibuk. Gita sayang Ibuk” Momen haru itu yang akan ia kenang dalam waktu-waktu berikutnya.

***

Hembusan angin menerpa tubuh gadis berjilbab hitam yang sedang duduk di bangku koridor. Mata coklatnya memandangi secarik kertas berisi not-not dan lirik lagu berbahasa Jawa.

“Git, yuk udah ditunggu buat latihan, tuh” Suara itu menyadarkan Gita setelah berhasil menghafalkan lirik-lirik di dalam kertas yang dipegangnya.

“Oh iya, aku ke sana sekarang” Gita beranjak dari duduknya.

Tak terasa, Gita sudah menjalani hampir 3 tahun perkuliahan. Ia sangat menikmati apa yang ia pelajari, seperti mata kuliah Pengantar Bahasa Jawa Kuno, Morfosintaksis Jawa Kuno, Tembang Macapat, Paleografi, dan masih banyak lagi yang Gita pelajari di jurusan Sastra Jawa ini.

Dan kabar baiknya, saat ini ia sedang menjalani latihan untuk persiapan pagelaran wayang yang akan diselenggarakan di London. Iya, di London. Tak pernah ada di bayangan Gita akan pergi ke luar negeri untuk menampilkan salah satu budaya Jawa kepada banyak orang luar negri. Bangga, tentu saja. Ibunya tak henti-hentinya menelepon Gita mengingatkan agar selalu menjaga kesehata dan mengirimi Gita olahan kencur untuk menjaga suaranya agar tidak parau.

Hingga, hari itu datang. Gita sudah mendarat di London dengan selamat bersama rombongan yang akan tampi nanti. Di sebuah Ballroom yang begitu megah bersama tamu-tamu yang terlihat rapi dan elegan membuat Gita sedikit gugup. Namun teman-teman Gita saling menyemangati satu sama lain karena ini penampilan perdana mereka di luar negeri. Pasti mereka menginginkan agar semuanya berjalan lancar.

Ketika giliran wayang yang akan ditampilkan, riuh tepuk tangan menyambut wayang-wayang yang sudah disusun rapi. Para penampil yang sudah mengenakan pakaian khas jawa serta alat musik gamelan yang mulai memainkan nada-nada yang beriringan disambut oleh suara merdu Gita membuka cerita wayang yang akan dibawakan oleh dalang. Berhasil, Gita dan kawan-kawan berhasil menampilkan penampilan terbaik mereka. Para tamu di Ballroom itu terkagum-kagum menyaksikan pertunjukan mereka.

Berita tentang pagelaran wayang di luar negri menggegerkan media sosial di Indonesia. Sebagian teman, tetangga, dan keluarga Gita yang menyaksikan Gita tampil di luar negri sangat bangga terhadap pencapaian Gita dan timnya. Gita bahagia dapat membuktikan bahwa apa yang ia pilih tidaklah salah, bahkan sangat tepat. Ia dapat menjalankan apa yang digemarinya sekaligus mewujudkan mimpi ayahnya.

Dibalik semua itu, Gita ingin membuktikan kepada teman-teman dan ibunya jika mengambil jurusan sastra jawa adalah hal yang benar, Gita juga ingin menjadi salah satu orang yang dapat berkontribusi dalam pelestarian budaya Jawa. Khusunya dengan menyalurkan potensi yang ada dalam dirinya yakni bernyanyi. “Jagalah apa yang seharusnya kita jaga, dan lanjutkan perjuangan para leluhur untuk melestarikan budaya di Bumi Nusantara”

*Hikmah Sita Marshali adalah mahasiswa aktif program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam. Saat ini, ia aktif berkegiatan di kalijaga.co.

Editor: Aji Bintang Nusantara | Gambar: wikipedia.org

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *