Antara Culture Shock Dan Berdamai Dengan Diri Sendiri Sebagai Mahasiswa Student Exchange

0 0
Read Time:4 Minute, 30 Second

Oleh: Amin Wahyudi*

Pertukaran pelajar adalah salah satu program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Kemendikbud. Sesuai namanya, dalam program ini, dilakukan pertukaran pelajar ke Universitas lain dengan tujuan untuk mendapat ilmu di Kampus tujuan. Dalam kesempatan ini, saya, Amin Wahyudi, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (UNTAG) yang terpilih sebagai mahasiswa pertukaran pelajar ke Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SUKA) ingin menceritakan pengalaman selama mengikuti program ini.

Bagi saya, program MBKM pertukaran pelajar ini adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dicoba. Saya pikir, lewat program ini saya bisa belajar hal-hal yang baru, menemui suasana baru, memperbanyak ikatan baru, membuat memori baru, serta menangisi kesedihan-kesedihan baru. Untuk itu, saya mengikuti program ini.

Awal mula keikutsertaan saya pada program ini bermula pada awal Agustus 2022.  Saya menerima info dari akun resmi Instagram kampus saya. Saat itu, UNTAG tercinta membuka beberapa slot untuk belajar di kampus lain. Ada beberapa pilihan kampus: Universitas Trunojoyo Madura, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Brawijaya Malang, dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pada akhirnya, saya memilih mendaftar program ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Singkat cerita, setelah mendaftar, mencantumkan portofolio, dan mengikuti seleksi, saya diterima.

Beberapa kawan bertanya, “Kenapa lebih memilih UIN Jogja?”. Menurut saya, Jogja adalah kota yang istimewa. Banyak budaya-budaya lokal yang masih lestari di kota ini. Bahkan, kerajaannya (baca: keraton) pun masih ada di tengah-tengah kota kecil ini. Itulah yang membuat saya tertarik untuk pergi ke Jogja.

Namun, dalam Prosesnya saya menemukan beberapa culture shock di Jogja. Yang cukup terasa adalah makanannya. Makanan Jogja menurut saya aneh. Sebab, makanan di sini dibuat terasa amat sangat manis, contohnya saja Gudeg. Jujur sampai sekarang, saya tidak bisa memakan Gudeg. Kali terakhir saya menyantap Gudeg, saya muntah di tempat.

Bukan hanya culture shock dengan Jogja saja, saya juga mengalami culture shock di lingkungan kampus UIN SUKA. Berikut adalah yang saya rasakan.

  • Para Dosen Mempunyai Kosakata Luas Serta Kalimat Efektif

Dalam sudut pandang saya yang subjektif, kebanyakan dosen UIN SUKA mempunyai perbendaharaan kata yang luas, setidaknya begitulah yang saya temui selama di sini. Menurut saya, kemampuan ini merupakan teknik pengajaran yang tepat untuk menjelaskan suatu penjelasan yang efektif untuk para mahasiswa.

Saya berdiskusi dengan salah satu dosen mengenai hal ‘kosakata’ ini. Ia beranggapan bahwa tidak hanya dosen saja yang memiliki kosakata yang luas, tetapi memang kebanyakan ‘orang’ Jogja juga memiliki skill ini. Karena “kebiasaan membaca adalah suatu kultur di sini,” begitu katanya.

  • Budaya membaca buku yang tidak satu dua orang

“Buku adalah jendela dunia” itu yang diyakini para individu yang jenius. Tetapi menurut para mahasiswa UIN SUKA “buku adalah alat untuk mendapat nilai yang maksimal serta menjadi media yang mewujudkan kelulusan menjadi lebih cepat”. Di tempat tinggal saya di Surabaya, budaya membaca buku sangat minim. Sebab, ada anggapan “pembaca buku adalah pribadi yang kurang asik, tidak keren, dan aneh”.

Saat pertama kali saya masuk ruang kelas di UIN SUKA, saya melihat seorang mahasiswa membaa novel secara terang-terangan. Terlintas di kepala saya, “Wah, itu keren banget”. Esoknya, saya juga mendapati sekelompok mahasiswa sedang membaca buku di kelas sebagai bacaan untuk mengerjakan tugas. Menurut saya itu adalah budaya yang menarik untuk ditiru.

  • Merokok di Area Kampus

Bagi saya yang bukan perokok, fenomena ini adalah fenomena yang aneh. Di kampus saya, UNTAG Surabaya, merokok sangat tidak diperbolehkan. Apabila dilanggar, maka akan dikenai sanksi. Sedangkan di sini, siapapun bebas merokok asalkan tidak di dalam kelas.

Bahkan ada kejadian menarik beberapa waktu lepas. Kala itu, saya dan seorang teman dari UIN makan di Kantin. Kebiasaan perokok setelah makan ia akan menyalakan rokoknya untuk pelengkap dari hidangan yang sudah ia makan. Nah, pada waktu itu ia lupa membawa pemantik. Akhirnya, dia pinjam kepada seseorang yang ada di sebelah bangku kami. Yang membuat saya terkejut, setelah ia selesai dengan rokoknya, dia mengatakan bahwa orang yang tadi meminjami korek adalah dosennya saat semester 2. Aneh sekali, “kenapa sangat slow sekali”.

Berdamai Dengan Diri Sendiri

Setelah 4 bulan di Jogja, secara tak sengaja, saya bertemu dengan konsep toto titi tentrem kerto raharjo. Saya bertemu konsep ini melalui srawung –diskusi untuk mencari suatu jawaban atas suatu masalah – dengan teman-teman Jogja saya.

Pembaca mungkin bertanya ‘apasih toto titi tentrem kerto raharjo’? sebenernya makna toto, titi, tentrem, kerto raharjo cukup variatif, tetapi makna otentiknya adalah toto (tertata), titi/setiti (selalu berhati-hati), tentrem/ayem (tentram), dan kerto raharjo (seimbang lahir batin). Pada intinya arti dari konsep ini adalah ‘suatu kehidupan harus memiliki tujuan yang tertata tidak lupa juga berhati-hati pada tindakan-tindakannya sehingga memiliki kehidupan yang tentram lahir maupun batin’.

Bagi saya yang mempunyai kehidupan keluarga broken, konsep ini bisa menjadi kunci untuk ‘berdamai dengan diri sendiri’. Menurut saya, orang-orang dengan masalah yang sama juga bisa menerapkan konsep toto titi tentrem kerto raharjo ini. Saya menemukan konsep ini di Jogja. Menurut saya konsep ini harus diketahui dan diimplementasikan oleh semua orang, khususnya anak muda Jogja.

Itulah hal berharga yang saya dapatkan di Jogja berkat mengikuti program pertukaran pelajar MBKM. Saya sangat bersyukur dapat diterima pertukaran di Kampus UIN SUKA Yogyakarta. Hal-hal di atas merupakan experience pribadi saya. Tidak ada maksud untuk menggiring opini apapun.

Pada akhirnya, saya ucapkan terima kasih untuk teman teman yang sudah membantu dari awal sampai akhir.

We will be okay, maybe not today but someday

* Penulis adalah mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya yang tengah mengikuti program pertukaran mahasiswa MBKM di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. | Editor: Aji Bintang Nusantara

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
100 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *