Isu kesehatan mental akhir-akhir ini mulai mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Mulai dari orang awam, influencer sosial media, hingga seniman-seniman papan atas tanah air kini mulai melek akan isu ini.
Bisa kita lihat, hari ini banyak sekali seniman tanah air yang mengangkat lagu yang berisi tentang isu kesehatan mental. Sebut saja Rehat dari Kunto Aji, Secukupnya dari Hindia, Taruh dari Nadin Amizah, dan lain-lain.
Di sosial media pun juga tidak kalah ramai pembahasan soal kesehatan mental. Banyak istilah-istilah baru yang muncul di internet untuk melabeli kondisi-kondisi jiwa tertentu, seperti: overthinking, fear of missing out (FOMO), healing, dan sebagainya.
Ramainya pembahasan mengenai kesehatan mental di internet membuat saya penasaran mengenai apa sebenarnya kesehatan mental itu dan apa dampak yang terjadi dari booming-nya isu kesehatan mental tersebut.
Merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan mental atau jiwa adalah kondisi seseorang yang dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Dari definisi itu saya jadi tahu bahwa ternyata tidak sembarang kondisi dapat dikatakan sebagai masalah kesehatan mental seperti yang ramai diperbincangkan di internet. Dari sini juga, saya sadar bahwa tidaklah mudah untuk memberikan diagnosis pada diri sendiri atau orang lain bahwa mereka, misalnya, sedang mengidap bipolar atau masalah kesehatan mental lainnya.
Mendiagnosis diri secara mandiri. Inilah yang menjadi dampak dari banjir informasi mengenai kesehatan mental. Masih ingat film Joker yang rilis pada 2019 lalu? Ngaku deh, pasti ada perasaan “Wah, kayanya gue juga kaya gitu deh”. Kalo iya, selamat! Berarti kamu sedang menerapkan salah satu contoh dari self diagnose kesehatan mental.
Self diagnose atau mendiagnosis secara mandiri terkait kondisi kesehatan pribadi merupakan fenomena yang muncul pada era santer-nya arus teknologi informasi dan komunikasi. Ryan & Wilson dalam penelitian berjudul “Internet Healthcare: Do Self-Diagnose Sites Do More Harm than Good?” telah menjelaskan bahwa pada era internet ini khalayak semakin mudah untuk mendapatkan informasi mengenai ilmu kesehatan.
Di Indonesia sendiri bisa kita temui situs terkait kesehatan seperti halodoc.com, alodokter, dan lain sebagainya. Namun, sebenarnya boleh gak sih kita melakukan diagnosis terhadap diri sendiri dengan bekal pengetahuan yang didapat dari internet?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menemukan artikel berjudul “Analisis Pasien Self-Diagnosis Berdasarkan Internet pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama” yang ditulis oleh Muhammad Faris Akbar dari Prodi Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Dalam tulisannya, ia menyatakan bahwa untuk mendiagnosis seorang pasien, Doktor terlebih dahulu melakukan analisis secara mendalam. Analisis ini dilakukan dengan cara wawancara dan diskusi. Wawancara dan diskusi pun tidak bisa sembarangan dilakukan. Dibutuhkan keterampilan khusus dan strategi di dalamnya.
Seorang dokter akan menggali informasi mengenai keluhan yang dirasakan oleh pasien tersebut. Mulai dari kebiasaan sebelum sakit, gejala-gejala apa saja yang dirasakan, hingga berapa lama telah merasakan gejala tersebut. Dari hasil wawancara dan diskusi inilah nantinya dokter akan memberikan kesimpulan berupa diagnosis dan penanganan-penanganan yang perlu dilakukan.
Gimana? Ternyata untuk mendiagnosis sebuah penyakit tidak semudah yang dibayangkan, kan? Inilah mengapa mendiagnosis suatu penyakit tidak bisa dilakukan secara sembarangan terlebih lagi dilakukan oleh kita yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran.
Okey, anggap saja kita punya trust issue (ciaelah trust issue) sama dokter nih. Gara-gara trust issue, akhirnya kita males buat konsultasi ke dokter. Lantas, apakah self diagnose seberbahaya itu?
Mendiagnosis diri pada dasarnya memiliki nilai positif dan negatif. Self diagnose akan menjadi hal yang positif bila ditempatkan sebagai starter atau awalan yang selanjutnya dikonsultasikan kepada dokter.
Ketika seseorang sedang merasakan suatu keluhan kesehatan mental, misalnya, ia lantas berselancar di internet untuk mengetahui informasi awal mengenai gejala yang dirasakan. Ini adalah langkah yang bagus untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kondisi tubuhnya. Namun, bila seseorang sudah merasa puas dengan diagnosis yang dilakukannya sendiri tanpa melakukan konsultasi lanjut dengan dokter, di sinilah letak bahayanya.
Ada beberapa bahaya yang bisa menerpa orang yang melakukan self diagnose ini. White & Horvits dalam “Cyberchondria: Studies of the Escalation of Medical Concerns in Web Search” menjelaskan bahwa seseorang yang mendiagnosis diri sendiri secara berlebihan berdasarkan informasi yang didapatkan dari internet akan mengalami apa yang dinamakan sebagai cyberchondria atau kecemasan akibat informasi yang didapat dari internet.
Pada nyatanya, tidak mudah untuk mendiagnosis bahwa seseorang sedang mengalami depresi atau masalah kesehatan lainnya. Karena, bisa jadi nantinya, diagnosis dari dokter menyatakan bahwa masalah mental yang diderita tidak separah apa yang dibayangkan. Diagnosis yang salah inilah yang nanti bisa memicu kecemasan atau cyberchondria tadi.
Bahaya lain dari self diagnose adalah kesalahan dalam penanganan penyakit yang nantinya bisa berujung pada hal-hal yang justru dapat membahayakan diri sendiri. Biasanya, pada sebuah penyakit ada kemungkinan ditemukan komorbiditas atau penyakit penyerta pada diri seseorang.
Saat seseorang melakukan self diagnose, risikonya adalah penyakit penyerta tersebut bisa saja luput dari perhatian. Sehingga, yang orang tersebut obati hanya sebatas apa yang diketahui saja. Untuk penyakit penyertanya tidak diobati sama sekali. Ngeri ngeri ngeri…
Melihat dari banyaknya bahaya dari self diagnose apakah masih ragu untuk konsultasi langsung ke dokter?
Selain itu, kita juga perlu menyadari bahwa kemudahan dalam mengakses informasi ilmu kesehatan bukan berarti kita bisa dengan mudah mendiagnosis masalah mental yang sedang kita hadapi. Konsultasi pada ahlinya adalah pilihan yang paling tepat. Karena di situ kita akan mendapatkan pengobatan yang sesuai dan solusi paling tepat.
Penulis: Gandhi Muhammad | Editor: Aji Bintang Nusantara